06 November 2011

NEW SKETCH!!!



DECEMBER 26TH (Chapter 6/Part 1)


CHAPTER 6
-Lonely-

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui jendela maupun celah ventilasi. Aria memutar cangkir tehnya di depanku. Suasana terasa tenang. Tidak ada satupun kalimat yang terlontar keluar dari mulut kami, kecuali Bibi Rosetta yang asyik dengan nyanyiannya dan kicauan para burung di luar rumah.
“ Ron, Aria, bibi pergi kerja dulu. Tolong jaga rumah dan hati-hati. Jangan melakukan tindakan ceroboh lagi.” kata bibi memperingatkan. Kuperhatikan dirinya pergi menuju pintu depan dan meninggalkan kami berdua. Aku terdiam––masih berkutat dengan tiga buah roti yang sedari tadi kumakan. Dapat kurasakan tatapan Aria tertuju padaku. Diam-diam aku juga memperhatikannya. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya tertangkap jelas oleh penglihatanku.
“ Kau demam?” tanyaku singkat.
“ Ah, tidak! Aku tidak apa. Sungguh, jangan khawatir.”
Kami kembali terdiam. Tidak ada sepatah kata pun keluar setelah itu. Kuusap bibirku dengan jari jemariku untuk menghilangkan sisa makanan yang masih menempel. Dihirupnya aroma teh hangat buatanku, meminumnya, dan diletakkan kembali cangkir itu diatas meja. Sedikit rasa gerah kurasakan pada tubuhku dan sepertinya aku harus mandi sekarang.
Begitu kembali ke kamar, aku mandi berlama-lama di bawah pancuran air, dan itu membuat tubuhku rileks. Tapi, ketika mengeringkan badan dengan handuk, kudapati begitu banyak memar menghiasi tubuhku. Mungkin memar ini tidak sebanding dengan yang Aria peroleh. Kulit putih mulusnya tertanam oleh begitu banyak goresan kaca. Dengan kesal kupulkan kepalan tanganku ke tembok. Aku sangat menyesal tidak bisa menolongnya waktu itu. Aku menggeram dan kuremas rambutku yang masih basah. Kurasakan emosiku perlahan-lahan bergejolak. Rasanya sangat panas dan perih. Sedikit rintihan kecil keluar dari mulutku demi menahan rasa sakitnya. Kutekan dadaku kuat dan terasa dengan jelas debaran jantungku begitu hebat. “Apakah kekuatanku akan keluar?” pikirku dalam hati.
Tak butuh waktu lama, kubalut segera tubuhku dengan handuk. Aku menghela nafas sambil menyandarkan punggunggku sejenak di tembok kamar mandi. Aku keluar, dan mengaduk-aduk lemari untuk mengambil pakaian. Kukenakan kaus putih lengan panjang berlapis jaket hijau lumut dan celana jeans.
Terdengar suara ketukan di balik pintu. Kupandangi pintu itu dan membukanya––mendapati sosok Aria, si pelaku ketukan. Kugaruk sedikit kepala walau tak terasa gatal sambil memandangi wajah gugupnya. Ia terlihat manis dengan baju terusan soft pink berlengan panjang dan celana jeans hitam milik bibi. Tubuhnya kecil dan begitu kurus. Sedikit kumajukan langkah, menggerakkan tanganku keatas menuju rambutnya hingga turun ke bahu. Dan––
“ Maukah kau pergi bersamaku?” tanpa sadar pertanyaan konyol itulah yang terucap keluar dari mulut. Dalam hati kubertanya, sebaiknya aku harus pergi kemana dengannya?
****
Semilir angin begitu menggelitik. Hangatnya sinar mentari tak mampu menandingi dinginnya alam hutan pinus. Aku duduk bersandar pada pohon. Kuluruskan kedua kakiku dan menyusupkan kedua tanganku di kantung jaket. Aria berdiri tak jauh dari tempatku. Dieratkan pelukan tubuhnya yang berbalut sweater tebal. Ujung rambutnya tergerak akibat hembusan angin. Setiap  kali menghembuskan nafas, bibirnya yang memucat ikut bergetar. Aku pun berdiri melepaskan jaket yang kukenakan dan mendekatinya. Kulingkarkan lengan jaket itu di tubuhnya dan sedikit membungkuk untuk menyibakkan poni yang menutupi matanya. Kombinasi antara warna zamrud pada mata dan coklat karamel pada rambutnya begitu indah. Terkesan hidup, hangat, dan berwarna––sangat kontras denganku.
“ Warna bola matamu indah.”
Aku terduiam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Masih dalam keadaan membungkuk dan pandanganku tetap lurus padanya. Kurasa ini hanyalah sebuah lelucon saja. Ia mencoba menghiburku dengan ejekannya. “ Aku suka warna rambut dan matamu. Hitam mengilat. Seperti sosok pemberani––
“ Namun, begitu menyeramkan. Betul? Kau berusaha menghiburku dengan ejekanmu, kan?"
“ Tidak, kok. Aku benar-benar serius.”
Dia melihat padaku dengan pandangan yang tegas. Semburat merah perlahan menghiasi wajahnya. Ia merona. Kikuk ia menggengam ujung jaket dan membenarkan letaknya. Aku menegakkan tubuhku dan termundur. Kutatap langit biru cerah, burung gereja berterbangan mengelompok tanpa tentu arah. Mereka semua berkicau demi meramaikan suasana yang begitu kaku. Terpaan angin yang begitu sejuk menambah kesan indah hutan pinus sekarang. Sejuk dan sangat dingin. Aku begitu menyukainya.
Aku mulai mengangkat bicara dan mengajaknya jalan jauh lebih ke dalam. Ia mengikutiku dari belakang dengan sedikit terburu-buru. Pernah sekali ia tersandung oleh akar pohon yang timbul dari tanah. Alhasil, tubuhnya bertubrukan dengan punggungku. Kutahan keseimbanganku agar kami tak terjatuh mencium tanah. Sebelum mengucapkan maaf, kukatakan bahwa aku tidak apa padanya. Tersirat rasa cemas dari wajahnya––namun sebenarnya yang harus dicemaskan adalah dirinya. Pergelangan kaki kanannya tergores menyebabkan darah segar keluar mengalir. Sekarang ia yang mengatakan tidak apa padaku, tapi pada kenyataannya itu salah. Untungnya kami sekarang berada di pinggiran sungai. Aria duduk bersandar di pohon atas perintahku. Kukeluarkan sapu tangan biru tua dari saku celana, sedikit membasahinya dan mengusapkannya pada pergelangan kakinya. Ia merintih kesakitan dan berkata bahwa ini sangat perih. Tetap dalam keadaan tenang, kuikat sapu tangan itu pada pergelangan kakinya demi menghentikan pendarahannya. Kemudian, aku pun bertanya, “ Jika kau terluka seperti ini, siapa yang akan menolongmu?”
“ Tentunya aku sendiri yang harus mengobatinya. Tidak ada satupun yang dapat menolongku, apalagi sebelum kau datang menempati rumah barumu. Aku sendiri, semua hal harus kulakukan sendiri.”
“ Sejak kapan kau sudah hidup sendiri?”
“ Tidak begitu lama. Setelah nenekku meninggal, aku sudah mulai hidup mandiri. Demi mencukupi hidupku, aku berhenti dari sekolah dan lebih memilih bekerja. Aku tidak punya tempat lain dan tidak mau merepotkan orang lain.” Ia menunduk. Menekuk kedua lututnya dan memeluknya. “ Kau berhenti sekolah? Terlalu muda untuk berhenti mencari ilmu. Bukankah umurmu masih enam belas tahun?”
“ Darimana kau tahu? Aku tidak pernah menceritakan hal ini pada orang lain.”
“ Hanya dugaanku saja. Ternyata memang benar, kau lebih muda dua tahun dariku. Kenapa kau tidak kembali saja pada keluargamu yang lain? Disana kau pasti bisa mendapatkan kecukupan dan tidak perlu berhenti sekolah. Dan mungkin kau tidak akan sekurus ini jika bersama mereka.”
“ Aku tidak ingat. Aku tidak tahu kalau aku punya keluarga selain kakek dan nenek. Aku juga tidak pernah melihat wajah orang tuaku seperti apa. Mereka hanya mengatakan padaku kalau orang tuaku sudah meninggal ketika aku bayi. Namun––tidak ada satu foto yang kudapatkan darinya. Akan tetapi, tanpa mereka pun aku sudah hidup tenang bersama kakek dan nenek.”
Ini begitu ganjil. Aria sama sekali tidak mengetahui rupa wajah kedua orang tuanya. Ia cukup tegar walau sekarang sudah ditinggalkan kakek dan neneknya. Dalam usia yang sangat belia ia bisa hidup mandiri dan mencari penghasilan untuk dirinya sendiri. Wanita yang tidak mudah putus asa pikirku. Sebelum aku bersama Bibi Rosetta datang ke daerah ini, ia sudah berani tinggal dalam rumah putih bertingkat seorang diri. Jujur, kesepian itu rasanya sangat tidak enak. Manusia bukanlah mahluk Tuhan yang diciptakan seorang diri. Setiap manusia pasti membutuhkan bantuan dari manusia yang lain. Jarang sekali aku melihatnya mengeluh hanya karena hal ini. Ia terus tersenyum walau sebenarnya dapat kusadari bahwa senyumannya itu untuk menutupi rasa sepi dan sedihnya. Tubuhnya yang mungil sangat bertolak belakang dengan sifatnya yang dewasa. Mungkin ia lebih dewasa dariku. Sering sekali aku melukainya dan mengacuhkannya. Di rumah, rumah sakit, bahkan di sekolah sekali pun. “ Aku begitu simpati padamu.”
“ Tidak perlu. Aku tak butuh rasa kasihan dari orang lain. Sekarang aku sangat bahagia, Tuhan begitu penyayang. Ia memberikan tetangga yang begitu baik seperti bibi Rosetta dan Ron. Aku tidak sebatang kara sekarang. Kalian berdua sudah seperti keluargaku.”
Aku tersenyum akan perkataannya, begitu juga dengan dirinya. Ia sangat manis jika tersenyum. Parasnya begitu cantik dan menggoda. Kami pun berdiri untuk melanjutkan perjalanan. Ia berjalan sedikit tertatih akibat tersandung. Tangannya memegang lenganku demi menahan keseimbangan. Tak tega melihatnya, tanganku bergerak mengambil tangannya dan menggenggamnya. Ucapan terima kasih terlontar dari mulutnya. Aku hanya mengangguk menanggapinya.
Tanpa sadar, sebenarnya ada yang terus mengikutimu dari awal.
Aku terdiam. Lagi-lagi perasaan ini muncul di saat yang tak tepat. Ketakutan, ketakutan yang mencekam itu datang. Angin berhembus begitu kuat. Ini sangat mengerikan. Cahaya matahari tiada menerangi dan berganti posisi dengan gumpalan awan. Langit terlihat muram. Suasana berubah sepi tanpa kicauan burung. Tangan yang sekarang kugenggam bergetar hebat. Aria begitu ketakutan dan mempererat genggamannya. Tenggorokannya seperti tersekat, sangat susah untuk mengucapkan ucapan takutnya padaku. Tenanglah, hanya kata-kata itu yang dapat kuberikan padanya. Sebuah genggaman berubah menjadi sebuah pelukan. Petir hebat menyambar dan kilat pun bergemuruh. Aku berusaha membawanya lari dari hutan ini––namun, semuanya terlambat. Kami diperlihatkan oleh pemandangan buruk. Tiga serigala hitam sudah mengepung kami. Aria menangis dalam pelukanku. Aku cemas dan takut. Tidak ada yang dapat menolong kami sekarang. Apakah ini perbuatan Azura lagi? Aku tak tahu.
Mereka terlihat sangat kelaparan, seperti ingin melahap kami dengan segera. Liurnya menetes dari sela-sela taringnya. Aku membelalak, teringat akan masa lalu yang pernah menimpaku. Aku tak ingin mengulang peristiwa buruk seperti ini untuk kedua kalinya. Gigi taring yang menancap membuat luka yang masih membekas di lenganku hingga sekarang. Kekuatanku tak dapat keluar secara terencana. Itu hanya spontanitas saja. Sekarang. Apa yang harus aku lakukan?
****