06 November 2011

NEW SKETCH!!!



DECEMBER 26TH (Chapter 6/Part 1)


CHAPTER 6
-Lonely-

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui jendela maupun celah ventilasi. Aria memutar cangkir tehnya di depanku. Suasana terasa tenang. Tidak ada satupun kalimat yang terlontar keluar dari mulut kami, kecuali Bibi Rosetta yang asyik dengan nyanyiannya dan kicauan para burung di luar rumah.
“ Ron, Aria, bibi pergi kerja dulu. Tolong jaga rumah dan hati-hati. Jangan melakukan tindakan ceroboh lagi.” kata bibi memperingatkan. Kuperhatikan dirinya pergi menuju pintu depan dan meninggalkan kami berdua. Aku terdiam––masih berkutat dengan tiga buah roti yang sedari tadi kumakan. Dapat kurasakan tatapan Aria tertuju padaku. Diam-diam aku juga memperhatikannya. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya tertangkap jelas oleh penglihatanku.
“ Kau demam?” tanyaku singkat.
“ Ah, tidak! Aku tidak apa. Sungguh, jangan khawatir.”
Kami kembali terdiam. Tidak ada sepatah kata pun keluar setelah itu. Kuusap bibirku dengan jari jemariku untuk menghilangkan sisa makanan yang masih menempel. Dihirupnya aroma teh hangat buatanku, meminumnya, dan diletakkan kembali cangkir itu diatas meja. Sedikit rasa gerah kurasakan pada tubuhku dan sepertinya aku harus mandi sekarang.
Begitu kembali ke kamar, aku mandi berlama-lama di bawah pancuran air, dan itu membuat tubuhku rileks. Tapi, ketika mengeringkan badan dengan handuk, kudapati begitu banyak memar menghiasi tubuhku. Mungkin memar ini tidak sebanding dengan yang Aria peroleh. Kulit putih mulusnya tertanam oleh begitu banyak goresan kaca. Dengan kesal kupulkan kepalan tanganku ke tembok. Aku sangat menyesal tidak bisa menolongnya waktu itu. Aku menggeram dan kuremas rambutku yang masih basah. Kurasakan emosiku perlahan-lahan bergejolak. Rasanya sangat panas dan perih. Sedikit rintihan kecil keluar dari mulutku demi menahan rasa sakitnya. Kutekan dadaku kuat dan terasa dengan jelas debaran jantungku begitu hebat. “Apakah kekuatanku akan keluar?” pikirku dalam hati.
Tak butuh waktu lama, kubalut segera tubuhku dengan handuk. Aku menghela nafas sambil menyandarkan punggunggku sejenak di tembok kamar mandi. Aku keluar, dan mengaduk-aduk lemari untuk mengambil pakaian. Kukenakan kaus putih lengan panjang berlapis jaket hijau lumut dan celana jeans.
Terdengar suara ketukan di balik pintu. Kupandangi pintu itu dan membukanya––mendapati sosok Aria, si pelaku ketukan. Kugaruk sedikit kepala walau tak terasa gatal sambil memandangi wajah gugupnya. Ia terlihat manis dengan baju terusan soft pink berlengan panjang dan celana jeans hitam milik bibi. Tubuhnya kecil dan begitu kurus. Sedikit kumajukan langkah, menggerakkan tanganku keatas menuju rambutnya hingga turun ke bahu. Dan––
“ Maukah kau pergi bersamaku?” tanpa sadar pertanyaan konyol itulah yang terucap keluar dari mulut. Dalam hati kubertanya, sebaiknya aku harus pergi kemana dengannya?
****
Semilir angin begitu menggelitik. Hangatnya sinar mentari tak mampu menandingi dinginnya alam hutan pinus. Aku duduk bersandar pada pohon. Kuluruskan kedua kakiku dan menyusupkan kedua tanganku di kantung jaket. Aria berdiri tak jauh dari tempatku. Dieratkan pelukan tubuhnya yang berbalut sweater tebal. Ujung rambutnya tergerak akibat hembusan angin. Setiap  kali menghembuskan nafas, bibirnya yang memucat ikut bergetar. Aku pun berdiri melepaskan jaket yang kukenakan dan mendekatinya. Kulingkarkan lengan jaket itu di tubuhnya dan sedikit membungkuk untuk menyibakkan poni yang menutupi matanya. Kombinasi antara warna zamrud pada mata dan coklat karamel pada rambutnya begitu indah. Terkesan hidup, hangat, dan berwarna––sangat kontras denganku.
“ Warna bola matamu indah.”
Aku terduiam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Masih dalam keadaan membungkuk dan pandanganku tetap lurus padanya. Kurasa ini hanyalah sebuah lelucon saja. Ia mencoba menghiburku dengan ejekannya. “ Aku suka warna rambut dan matamu. Hitam mengilat. Seperti sosok pemberani––
“ Namun, begitu menyeramkan. Betul? Kau berusaha menghiburku dengan ejekanmu, kan?"
“ Tidak, kok. Aku benar-benar serius.”
Dia melihat padaku dengan pandangan yang tegas. Semburat merah perlahan menghiasi wajahnya. Ia merona. Kikuk ia menggengam ujung jaket dan membenarkan letaknya. Aku menegakkan tubuhku dan termundur. Kutatap langit biru cerah, burung gereja berterbangan mengelompok tanpa tentu arah. Mereka semua berkicau demi meramaikan suasana yang begitu kaku. Terpaan angin yang begitu sejuk menambah kesan indah hutan pinus sekarang. Sejuk dan sangat dingin. Aku begitu menyukainya.
Aku mulai mengangkat bicara dan mengajaknya jalan jauh lebih ke dalam. Ia mengikutiku dari belakang dengan sedikit terburu-buru. Pernah sekali ia tersandung oleh akar pohon yang timbul dari tanah. Alhasil, tubuhnya bertubrukan dengan punggungku. Kutahan keseimbanganku agar kami tak terjatuh mencium tanah. Sebelum mengucapkan maaf, kukatakan bahwa aku tidak apa padanya. Tersirat rasa cemas dari wajahnya––namun sebenarnya yang harus dicemaskan adalah dirinya. Pergelangan kaki kanannya tergores menyebabkan darah segar keluar mengalir. Sekarang ia yang mengatakan tidak apa padaku, tapi pada kenyataannya itu salah. Untungnya kami sekarang berada di pinggiran sungai. Aria duduk bersandar di pohon atas perintahku. Kukeluarkan sapu tangan biru tua dari saku celana, sedikit membasahinya dan mengusapkannya pada pergelangan kakinya. Ia merintih kesakitan dan berkata bahwa ini sangat perih. Tetap dalam keadaan tenang, kuikat sapu tangan itu pada pergelangan kakinya demi menghentikan pendarahannya. Kemudian, aku pun bertanya, “ Jika kau terluka seperti ini, siapa yang akan menolongmu?”
“ Tentunya aku sendiri yang harus mengobatinya. Tidak ada satupun yang dapat menolongku, apalagi sebelum kau datang menempati rumah barumu. Aku sendiri, semua hal harus kulakukan sendiri.”
“ Sejak kapan kau sudah hidup sendiri?”
“ Tidak begitu lama. Setelah nenekku meninggal, aku sudah mulai hidup mandiri. Demi mencukupi hidupku, aku berhenti dari sekolah dan lebih memilih bekerja. Aku tidak punya tempat lain dan tidak mau merepotkan orang lain.” Ia menunduk. Menekuk kedua lututnya dan memeluknya. “ Kau berhenti sekolah? Terlalu muda untuk berhenti mencari ilmu. Bukankah umurmu masih enam belas tahun?”
“ Darimana kau tahu? Aku tidak pernah menceritakan hal ini pada orang lain.”
“ Hanya dugaanku saja. Ternyata memang benar, kau lebih muda dua tahun dariku. Kenapa kau tidak kembali saja pada keluargamu yang lain? Disana kau pasti bisa mendapatkan kecukupan dan tidak perlu berhenti sekolah. Dan mungkin kau tidak akan sekurus ini jika bersama mereka.”
“ Aku tidak ingat. Aku tidak tahu kalau aku punya keluarga selain kakek dan nenek. Aku juga tidak pernah melihat wajah orang tuaku seperti apa. Mereka hanya mengatakan padaku kalau orang tuaku sudah meninggal ketika aku bayi. Namun––tidak ada satu foto yang kudapatkan darinya. Akan tetapi, tanpa mereka pun aku sudah hidup tenang bersama kakek dan nenek.”
Ini begitu ganjil. Aria sama sekali tidak mengetahui rupa wajah kedua orang tuanya. Ia cukup tegar walau sekarang sudah ditinggalkan kakek dan neneknya. Dalam usia yang sangat belia ia bisa hidup mandiri dan mencari penghasilan untuk dirinya sendiri. Wanita yang tidak mudah putus asa pikirku. Sebelum aku bersama Bibi Rosetta datang ke daerah ini, ia sudah berani tinggal dalam rumah putih bertingkat seorang diri. Jujur, kesepian itu rasanya sangat tidak enak. Manusia bukanlah mahluk Tuhan yang diciptakan seorang diri. Setiap manusia pasti membutuhkan bantuan dari manusia yang lain. Jarang sekali aku melihatnya mengeluh hanya karena hal ini. Ia terus tersenyum walau sebenarnya dapat kusadari bahwa senyumannya itu untuk menutupi rasa sepi dan sedihnya. Tubuhnya yang mungil sangat bertolak belakang dengan sifatnya yang dewasa. Mungkin ia lebih dewasa dariku. Sering sekali aku melukainya dan mengacuhkannya. Di rumah, rumah sakit, bahkan di sekolah sekali pun. “ Aku begitu simpati padamu.”
“ Tidak perlu. Aku tak butuh rasa kasihan dari orang lain. Sekarang aku sangat bahagia, Tuhan begitu penyayang. Ia memberikan tetangga yang begitu baik seperti bibi Rosetta dan Ron. Aku tidak sebatang kara sekarang. Kalian berdua sudah seperti keluargaku.”
Aku tersenyum akan perkataannya, begitu juga dengan dirinya. Ia sangat manis jika tersenyum. Parasnya begitu cantik dan menggoda. Kami pun berdiri untuk melanjutkan perjalanan. Ia berjalan sedikit tertatih akibat tersandung. Tangannya memegang lenganku demi menahan keseimbangan. Tak tega melihatnya, tanganku bergerak mengambil tangannya dan menggenggamnya. Ucapan terima kasih terlontar dari mulutnya. Aku hanya mengangguk menanggapinya.
Tanpa sadar, sebenarnya ada yang terus mengikutimu dari awal.
Aku terdiam. Lagi-lagi perasaan ini muncul di saat yang tak tepat. Ketakutan, ketakutan yang mencekam itu datang. Angin berhembus begitu kuat. Ini sangat mengerikan. Cahaya matahari tiada menerangi dan berganti posisi dengan gumpalan awan. Langit terlihat muram. Suasana berubah sepi tanpa kicauan burung. Tangan yang sekarang kugenggam bergetar hebat. Aria begitu ketakutan dan mempererat genggamannya. Tenggorokannya seperti tersekat, sangat susah untuk mengucapkan ucapan takutnya padaku. Tenanglah, hanya kata-kata itu yang dapat kuberikan padanya. Sebuah genggaman berubah menjadi sebuah pelukan. Petir hebat menyambar dan kilat pun bergemuruh. Aku berusaha membawanya lari dari hutan ini––namun, semuanya terlambat. Kami diperlihatkan oleh pemandangan buruk. Tiga serigala hitam sudah mengepung kami. Aria menangis dalam pelukanku. Aku cemas dan takut. Tidak ada yang dapat menolong kami sekarang. Apakah ini perbuatan Azura lagi? Aku tak tahu.
Mereka terlihat sangat kelaparan, seperti ingin melahap kami dengan segera. Liurnya menetes dari sela-sela taringnya. Aku membelalak, teringat akan masa lalu yang pernah menimpaku. Aku tak ingin mengulang peristiwa buruk seperti ini untuk kedua kalinya. Gigi taring yang menancap membuat luka yang masih membekas di lenganku hingga sekarang. Kekuatanku tak dapat keluar secara terencana. Itu hanya spontanitas saja. Sekarang. Apa yang harus aku lakukan?
****

12 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 5/Part 2)


Suara teriakannya begitu keras memekakkan telinga. Sudah lebih dari tiga kali lemparan pada tubuhnya yang ia rasakan. Sekali lagi kaca kembali retak––hancur menjadi serpihan-serpihan. Aku berteriak memperingatkannya untuk menghindari Azura. Aku tidak tega melihatnya terluka demi diriku. Kulit putih mulusnya ternodai oleh begitu banyak cairan merah kental. Azura terkekeh, ia termakan oleh nafsu pembunuh yang ia ciptakan. Hatiku gelisah, entah apa yang akan dilakukannya kembali pada Aria. Aria terus tersenyum, ia sangat berani dan tidak terlihat darinya rasa ketakutan pada Azura. “Aku tidak peduli kau mau membunuhku atau tidak––tapi, tolong lepaskan Ron sekarang juga.” sedikit tawa ejekan dari Aria.
“ Kau tidak sepantasnya memerintahku."
Azura kembali berkutik dan menerjang tubuh Aria––membuatnya jatuh tersungkur di lantai dengan serpihan-serpihan kaca bertaburan di sekitar. Kukunya yang panjang menggores lehernya. Aria berteriak, dan berusaha meloloskan diri dari tubuh yang menimpanya. Aria hanya manusia biasa dan kekuatannya tidak dapat menandingi Azura. Aku memberontak untuk melepaskan diri dari rantai yang mencekal kedua pergelangan tangan. “ Aku ingin menolongnya,” batinku berkata. Terdengar suara geraman milik Azura. Mata merahnya begitu bercahaya bagaikan vampir. Senyumnya melebar menciptakan sebuah cengiran. Dikeluarkannya pisau kecil dibalik jubah hitamnya. Dan aku tahu apa yang akan dilakukannya setelah itu.
“ Hentikan Azura!” teriakku memerintah.
Untunglah lebih cepat beberapa detik sebelum pisau itu menancap di jantung Aria. Pandangannya berbalik dan tertuju padaku. Matanya kembali normal tak bercahaya. Ia mengangkat tubuhnya dan berjalan mendekatiku, sementara Aria membetulkan posisinya, duduk dengan punggung bersandar pada tembok. Jantungku berdegup kencang dang keringat tak hentinya keluar melalui pelipis. Sekarang ia dihadapanku, terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya. Dipegangnya kedua pipiku dan tatapannya begitu sendu. Ia menunduk. Isak tangisnya dapat tertangkap dengan jelas oleh pendengaranku, dan tubuhnya bergetar begitu hebat.
“ Kenapa tiba-tiba kau menangis?”
Ia menggeleng. “ Aku tidak tahu. Aku tak mengerti apa yang baru saja kulakukan. Maafkan aku, sepertinya aku begitu mengecewakanmu. Hampir saja aku membunuh temanmu. Aku memang liar.”
Untuk pertama kalinya aku dapat mendengar suara lembut darinya. Tangannya berjalan di sekitar leherku dan memelukku erat. Ia menangis dan itu tidak dapat membuatku menolak dirinya. Ia benamkan wajahnya dan dapat kurasakan air matanya menggelitik tengkukku. Aku terdiam––tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku hanya bisa memikirkan ide gila agar dia tenang, karena inilah satu-satunya cara agar ia tidak melukai seseorang yang sangat dekat denganku, seperti Aria. “ Tidak ada gunanya kau menangis. Tenanglah, aku sudah membulatkan pikiranku. Aku akan menerimamu, Azura.” bisikku tepat di telinganya.
“ Benarkah? Kau serius?” ia menarik diri dari pelukannya, memegang kedua pipiku kembali dan menatapku lekat-lekat untuk mendapatkan sebuah kepastian. “ Aku serius. Dengan begini kau tidak perlu sedih. Aku terima kau apa adanya. Namun, ada hal yang harus kau terima dariku.”
“ Apa itu?”
“ Tolong, jangan lukai orang-orang yang sangat berharga bagiku untuk kedua kalinya. Aku tidak tega melihatnya. Aku kasihan. Karena itu, terimalah persyaratanku ini.” Sekali lagi ia memelukku erat. Tangisannya berubah menjadi tawa kecil. “ Aku senang kau menerimaku. Baiklah, dengan persyaratanmu itu, aku tidak akan melukai orang yang dekat denganmu sekali lagi.”
Perlahan-lahan rantai di kedua pergelangan tanganku memudar dan menghilang––begitu juga dengan dirinya. Sebelumnya, kepalaku sedikit tertarik oleh tangan mungilnya dan dikecupnya bibirku dengan lembut. Ia tersenyum tulus seperti gadis umumnya. Suasana kembali hening dan aku tetap diam. Tak lama aku tersadar, aku telah melupakan sesuatu yaitu Aria. Dengan cepat kubergegas keluar toilet dan berlari kecil ke tempat dimana dirinya terduduk. Aku meraih dan meremas tangannya yang begitu dingin bagaikan es. Kusapukan jariku ke telapak tangannya, mencoba memberinya kehangatan. Serpihan kaca––yang begitu banyak merobek kulitnya––bertaburan disekitarnya. Semuanya ternodai oleh darah yang mungkin itu adalah darah Aria. Ia begitu terluka.
Hatiku menyerah. Aku kembali meremas kedua tangannya. Sedikit kutundukkan kepalaku agar aku dapat melihat jelas warna matanya. Hijau seperti batu zambrud. Kulepaskan jaketku untuk menyelimuti dirinya dan menariknya ke dalam pelukanku. Ia tetap diam, tidak ada satupun kata yang keluar mengalir dari mulutnya. Nafasnya sedikit terputus dan dapat kurasakan degupan jantungnya yang seakan-akan memukul dada. “ Kalau kau berpikir untuk melakukan hal bodoh seperti ini lagi, aku pasti akan menemukanmu, Ron.”
“ Aku tidak akan melarikan diri lagi. Maafkan aku.”
Ia diam––tidak membalasnya. Aku mengerti bahwa hatinya masih terasa sakit atas perlakuan Azura padanya. Sambil menyusupkan jari-jemariku ke rambut coklatnya yang lembut, kukecup keningnya dengan penuh perasaan. Entah apa yang telah kulakukan padanya sekarang. Aku tak mengerti, ini semua berada di luar jangkauan pikiranku. Aku memperlakukannya sebagai seorang adik––atau sebagai kekasih?
****
Pukul dua pagi. Masih dalam keadaan terbaring di sofa ruang keluarga. Rasa kantuk tak kunjung datang menemuiku. Ingin sekali aku tidur, namun selalu saja ada satu pikiran yang muncul menggangguku. Aku masih memikirkan Azura, memikirkan pelukan darinya, bahkan ciumannya. Kutepis bayangan wajahnya yang seakan-akan muncul tepat di depan wajah untuk menciumku kembali. Bibi Rosetta turun dari tangga bersama seorang dokter wanita––yang juga merupakan sahabatnya. Mendadak aku berdiri, merapikan sedikit pakaianku yang terlihat kusut. Dokter itu mengalihkan perhatiannya dan berjalan ke arahku. “ Tenanglah, Ron. Pacarmu sudah tertidur pulas di kamar. Dia harus istirahat total. Serpihan kacanya juga sudah kuambil dari kulitnya.”
“ Maaf, dia bukan pacarku.”
“ Wah, anak muda zaman sekarang nggak mau mengakui orang yang disayanginya, ya. Betul kan, Rose?”
Mereka berdua tertawa melihat tampangku yang mendadak berubah seperti anak kecil. Aku sedikit marah karena itu semua memanglah faktanya. Aria bukanlah pacarku, dia hanyalah teman. Dokter itu kemudian pamit kepada kami dan pergi menuju pintu depan yang disusul oleh bibi. Diam-diam aku pergi menaiki tangga, memasuki kamarku. Kudapati Aria yang masih tertidur di kasur empuk dengan pulasnya. Aku terduduk di pinggiran kasur, mengamati balutan perban yang membungkus lengan putihnya. Lehernya tertutupi plester kecil sama sepertiku. Sedikit goresan kecil membekas di sekitar pipi dan pelipisnya. Aku menunduk. Merasakan rasa salahku pada dirinya karena semua luka itu ia peroleh demi melindungi diriku.
Tiba-tiba dapat kurasakan sentuhan lembut mengenai lenganku. Aku sedikit tersentak saat tahu bahwa Aria-lah yang menyentuhku. Senyumannya yang lembut membuatku sedikit tersanjung. Ia sangat cantik saat tersenyum. Sedikit remasan darinya membuatku tertawa geli akan sikap manjanya. “ Jangan sedih ya, Ron. Ini bukan salahmu, aku tidak apa.”
“ Kau baca pikiranku?” tanyaku sedikit tertawa.
“ Tidak. Aku dapat mengetahuinya dari tampangmu. Aku barusan tidak tidur. Aku hanya merilekskan pikiranku sejenak sambil memejamkan mata. Saat ada bunyi berisik terdengar, aku langsung membuka mata dan ternyata itu adalah kau.”
Warna kulitnya yang terang membuat rona merah terlihat jelas saat menjalar di pipinya. Aku tidak mengerti kenapa ia begitu malu menatapku.
“ Maafkan aku yang sudah dua kali menyakitimu. Awalnya aku tak sengaja mendorongmu saat di rumah sakit. Kedua aku tidak bisa menolongmu beberapa jam yang lalu. Aku tahu hatimu begitu terluka. Pasti sakit sekali rasanya.”
“ Berhentilah untuk merasa bersalah. Ini semua bukan salahmu––“
“ Ini salahku.” kataku tegas. “ Maafkan aku. Aku tau kata maaf tidak bisa merubah masa lalu, tapi mungkin bisa memperindah masa depan. Aku memang bodoh. Aku selalu bertindak seenaknya dan tidak berpikir lebih dewasa. Aku hanya ingin kau jujur. Mungkin kau sekarang sudah membenciku.”
Ia kembali meremas lenganku. Ia tetap tersenyum walau rona merah terlihat jelas masih menjalar di pipinya, “ Aku tidak membencimu. Itu kejujuran dariku.”
Mendengar perkataannya seakan-akan menembus jantungku. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kubalas padanya. Ini sangat menyenangkan sampai-sampai aku tidak dapat menyangkal emosiku. Tangannya berjalan menyusuri tanganku dan berhenti tepat di telapak tangan. Digenggamnya jari jemariku erat dan itu membuatku ikut mengeratkannya. Dapat kurasakan rasa kasih sayang darinya padaku. “ Aku ingin tanya, sebenarnya siapa wanita yang menyerangku waktu itu?”
Refleks, tatapanku kembali datar. “ Tenanglah. Dia bukan siapa-siapa.”
“ Namun kenapa dia begitu menginginkanmu?”
Kulepaskan genggamanku dari genggamannya, dan berusaha tersenyum padanya. “ Dia hanya temanku. Mungkin dia cemburu karena kau datang menolongku. Sebaiknya sekarang istirahatlah. Besok pagi kita bicarakan lebih rinci. Ini hanya rahasia diantara kita.”
Ia mengangguk, “ Selamat tidur, Ron.”
“ Selamat tidur, Aria.”
****

09 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 5/Part 1)

CHAPTER 5
-Found You-

“ Bibi, istirahatlah. Hari sudah semakin larut. Mungkin Ron sedang berada di rumah temannya.”
“ Aku tidak akan tidur sebelum Ron menghubungiku.”
Aria menghela nafas. Sudah satu jam ia membujuk Bibi Rosetta, tapi  usahanya tidak berhasil. Coklat hangat buatannya ia taruh di atas meja. Muka Bibi Rosetta memucat––masih memikirkan keponakannya. Kegelisahan terus saja menyelimuti suasana. Perasaan sedih, khawatir, dan marah bercampur menjadi satu. Aria terus membelai punggung wanita di sebelahnya. Ia rasakan dinginnya kulit putih susu milik wanita tersebut. Ia eratkan selimut tebal padanya.
“ Bibi, kumohon bersabarlah. Ron pasti pulang. Kalau bibi tidak istirahat, aku yakin ia pasti sedih melihatmu begini terus.”
“ Tapi, tetap saja aku tidak bisa tenang––“
“ Baiklah, aku akan mencarinya.”
Matanya melebar. Bibi terkejut mendengar pernyataan Aria. Kegelisahan pada dirinya semakin menjadi-jadi. Aria berdiri, dikenakannya sepatu sandal kulit dan pergi menuju pintu depan. Malam semakin larut. Dinginnya suasana seakan-akan menusuk tulang. Hangatnya cahaya rembulan tak dapat menandingi dinginnya malam. Satu hal telah dilupakan oleh Aria. Tanpa sadar ia hanya mengenakan pakaian terusan selutut. Ingin sekali berbalik kembali ke rumah untuk mengambil baju hangat––namun, ditepisnya keinginan tersebut. Ia terus berlari ke tempat Ron berada. Ia dapat merasakan keberadaan pemuda tersebut, pemuda yang sangat disayanginya––walaupun pemuda tersebut pernah menyakiti hatinya.
“ Aku tidak peduli dengan dinginnya malam ini. Aku akan tetap pergi untuk menemuimu. Tunggu aku, Ron.”
****
Masih terperangkap dalam jurang ilusi––merasakan pedihnya siksaan yang melampaui batas kemanusiaan. Kurasakan tajamnya pedang menembus perut. Cairan merah kental terus mengalir. Kugenggam erat masing-masing rantai di tangan guna menahan perihnya luka ini. Aku tahu, ini tidak kenyataan. Ini hanyalah permainan ilusi buatan Azura. Ditarik pedangnya dari perutku dan melemparnya ke belakang. Suara teriakan dariku menggema dalam ruangan ilusi. Sakit sekali rasanya. Ia melangkah maju, dicondongkan badannya ke hadapanku yang masih terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya. Pandangan kami bertemu. Matanya bagaikan gumpalan darah, begitu indah namun juga menakutkan. Tangannya kembali menyentuh pipiku. Sedikit tarikan darinya membuatku mendongak ke atas.
“ Ternyata aku tidak salah memilih. Kau sangat tampan. Rambut hitammu sama sepertiku. Kulitmu putih dan matamu hitam mengkilat. Aku suka memandangmu. Kau adalah pangeran yang kuimpikan selama ini. Aku terus mengejarmu dan akhirnya aku bisa mendapatkanmu. Senang rasanya bisa menyentuhmu.”
“ Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Kekuatankah atau––
“ Aku menginginkan semuanya darimu.” biskinya. Dahi kami saling bersentuhan. Ia menyapukan bibirnya pada bibirku dan itu membuatku terkejut. Jantungku berdetak tak menentu. Aku ingin melepaskan dan mendorongnya. Namun, pergerakanku terhambat oleh rantai ini––yang sengaja dibuatnya untuk menahan kekuatanku. Nafasku sengal, dan emosiku ikut bergejolak. Begitu panas dan perih.
Dapat kurasakan ruangan ilusi perlahan menghilang––bagaikan cat hitam yang meluntur. Azura menarik diri melepaskanku dari ciumannya. Ia gemetar dan memeluk dirinya sendiri. Aku terdiam dan menunduk. Sakit kepala yang kurasakan sepuluh kali lebih parah daripada ketika aku emosi tadi. Ingin kuusap pelipisku, tapi tanganku masih tercekal oleh rantai ini. Rupanya rantai ini bukanlah ilusi.
Seperti suara derap langkah kaki seseorang menuju tempat kami. Azura membalikkan badannya ke arah pintu. Ia merasa was-was dengan langkah misterius itu. Baru kali ini aku dapat melihat ekspresi ketakutan dari wajahnya. Dan tak lama, pintu itu terbuka––menampakkan sosok gadis mungil bermata hijau. Tak kusangka itu adalah Aria.
“ Ron? Kaukah itu?”
“Aria.”
Terdengar nada cemas dari suaranya. Aku mendongak untuk memusatkan perhatianku pada gadis itu. Malam semakin dingin, tapi kenapa ia hanya menggunakan pakaian terusan selutut? Bibirnya sedikit memucat akibat dinginnya cuaca. Sedaritadi aku terus memberontak––berusaha lepas dari rantai yang masih mecekalku. Ingin sekali kuhangatkan dirinya dengan jaket yang kukenakan. Azura menatap kami satu per satu hingga tatapannya berhenti pada Aria. Aria sedikit tersentak begitu melihat warna merah darah dari matanya. Langkahnya maju menuju Aria yang masih diam berdiri di ambang pintu. Pikiranku mulai tak menentu. Aku merasa takut bila terjadi sesuatu diantara mereka––terutama Aria.
“ Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa membuka pintu ini? Kau tahu, aku sudah memberi mantra pada pintu ini agar orang lain tidak dapat membukanya.” tanyanya pada Aria.
“ Mantra apa maksudmu? Aku Aria, teman Ron. Aku ingin menjemputnya. Ia sama sekali tidak menghubungi bibi yang begitu mencemaskannya, karena itu aku nekat menjemputnya seorang diri untuk bibinya.”
Azura tersenyum lebar dan berubah menjadi ledakan tawa. Ia tetap memeluk dirinya sendiri. Kami berdua terkejut, entah apa yang ada di pikiran gilanya sekarang. Diusapnya sedikit air yang mengumpul di matanya. Tatapannya kembali tegas tertuju pada Aria. “ Berani juga mau menjemputnya sendirian––tapi, kau salah. Ia tidak akan bisa lepas dariku.”
Entah darimana asalnya, angin bertiup kencang menyapu seisi ruangan––membuat rambut hitamnya berkibar. Ia membelakangiku namun aku dapat merasakan gejolak emosi dirinya. “ Hasrat membunuh,” begitulah pikirku. Tubuhku dijalari getaran hebat. Detak jantungku memukul dadaku begitu kuat, sampai-sampai aku tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Ingin kuteriakkan pada Aria untuk menghindarinya, tapi bibirku seperti terkunci.
“ Tamatlah riwayatmu gadis kecil.”
****

02 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 4/Part 2)

Tepat di samping tengkukku. Suaranya begitu menggelitik dan bulu kudukku ikut berdiri. Ini begitu menakutkan, sama sekali tidak menyenangkan. Aku menggenggam tanganku erat dan berbalik untuk menatap si pemilik suara. Keringat dingin tiada hentinya mengalir melalui pelipis dan membasahi wajah. Tidak terlalu jelas, namun samar-samar aku dapat melihatnya. Terdengar derap langkah mundur dari sepatunya. Ia tertawa kecil sambil menyilangkan kedua tangannya. Perlahan-lahan ia tegakkan kepalanya dan tampaklah sepasang mata merah bercahaya.
Kilauan cahaya bulan bersinar menembus jendela. Sedikit rasa syukur terlintas di pikiranku karena aku dapat melihat sosok misterius tersebut. Kuhilangkan rasa takut di pikiranku dan fokus padanya. Aku ingin tahu lebih jelas sosoknya. Ia seorang perempuan––dapat kuketahui dari kakinya yang mungil. Rambutnya hitam mengilat melebihi pinggul. Dikenakannya jubah hitam panjang berbahan kulit. Kulitnya putih bersih––tak ada satupun luka yang tampak dari tubuhnya. Dan tak lupa pada mata merahnya yang bercahaya. Sosoknya bagaikan seorang vampir.
“ Siapa kau?” tanyaku. Meski dihantui rasa takut––namun rasa penasaran juga terlintas dalam pikiranku.
“ Ternyata kau melupakanku. Dasar Tega.”
“ Tega? Huh? Aku tidak mengerti. Lagipula, selama ini aku tidak pernah bertemu denganmu. Mungkin kau salah––”
Suara hantaman keras memotong pembicaraanku. Tangan mungilnya bergerak menghancurkan wastafel. Aku terdiam. Satu langkah, dua langkah, dan tiga langkah––ia berdiri tepat di depanku. Tangannya bergerak, menari-nari di depan mata. Tak lama gerakannya terhenti. Dipegangnya daguku––membuatku  mendongak ke atas––mengamati langit-langit ruangan. Tangan lainnya ia gunakan untuk memegang leherku. Kurasakan tajam  kukunya menyentuh luka. Apa yang ingin dia lakukan?
“ Padahal dulu kita pernah bertemu. Namaku, Azura. Kau pasti heran ‘kan saat melihat ke luar? Aku-lah yang telah mempercepat waktu. Apa kau tidak menyadari keberadaanku selama ini? Kemanapun kau pergi, aku selalu mengikutimu. Lagipula, kau-lah yang pertama menyapaku. Rasanya begitu romantis ketika kau menyapaku.”
“ Hei! Jangan bodoh. Aku sama sekali tidak pernah bertemu, apalagi bertatap muka denganmu. Untuk apa aku menyapamu? Kurasa kau salah orang––argh!”
Kuku jarinya dengan pelan merobek luka lama di leher. Sangat berperasaan namun juga terasa sangat sakit. Anehnya, aku sama sekali tidak bisa bergerak––seperti terkenai mantra olehnya. Dapat sedikit kulihat raut wajahnya, ia tetap tenang seakan tidak ada dosa yang datang setelah merobeknya. Aku mengerang––bahkan berteriak keras merasakan pedihnya luka ini. Emosiku bergejolak namun masih bisa terkendali. Rasanya begitu panas ketika darah begitu banyak mengalir dari pembuluhnya. Ia tertawa. Kedua tangannya berpindah menyentuh pipiku.
“ Suaramu kalau berteriak merdu juga. Aku suka mendengarnya. Kuberitahu saja. Akulah burung gagak bermata merah itu. Kau takut padaku kan? Aku dapat mengetahuinya dari sorot matamu. Menyedihkan. Kau pengecut.”
“ Jangan seenaknya––,”
“ Itu kenyataan,” bisiknya. “ aku senang kau mengecup keningku dan membelai sayapku untuk pertama kalinya. Begitu romantis. Tapi, aku sedih saat kau menghindariku. Sebegitu menakutkan-kah diriku ini? Dan aku juga ada pada saat kau di rumah sakit kemarin––dan kau berkelahi di sekolah. Kau lihat, kan? Waktu itu aku mengepakkan sayapku tepat di depanmu. Saat itu juga angin tiba-tiba berhembus, dan hujan pun mulai turun. Apa kau sadar? Itu semua berasal dari kekuatanmu sendiri.”
“ Kekuatanku? Tidak masuk akal. Aku bukan anak kecil yang gampang dibohongi.”
“ Aku tidak bohong. Itu semua memang di luar jangkauan manusia. Namun kau sendiri yang membuktikannya. Itu kekuatanmu, bukan kekuatanku. Aku sangat tahu itu. Jika emosimu bergejolak, pasti kekuatanmu itu akan keluar. Itu juga berasal dari keinginanmu. Hasrat membunuhmu sangat kuat––seperti pyscho saja. Sayangnya, kekuatan yang ada padamu hanyalah kegelapan. Kita berdua ini sama––sama-sama memiliki hati yang sudah ternodai oleh kegelapan. Aku tahu dirimu sejak kau masih berusia dua belas tahun. Gempa dahsyat waktu itu juga ulahmu. Kau merusak bahkan melenyapkan semuanya.”
“ Jadi, sampai selama itu kau mengikutiku?” nada bicaraku berubah. Getaran menjalar di tubuhku, aku menggeram kesal. Segala emosi bercampur aduk menjadi satu. Aku sama sekali tidak suka hal ini. Perkataannya membuatku bernostalgia akan buruknya pada masa itu. Seperti sebuah layar yang besar––dimana dapat kulihat diriku yang tak berdaya. Darah membanjiri sekeliling. Bayangan anjing hitam besar menghampiri dan menggigitku, serta sosok wanita paruh baya––meneriaki dengan perkataan pedas. Keseimbanganku hilang, aku terduduk dengan lutut bertumpu pada lantai. Dapat kurasakan secara perlahan bayangan itu memburam, dan menghilang. Mataku terbelalak. Ternyata yang tadi itu hanyalah ilusi buatan Azura.
“ Sudah kukatakan, daridulu aku telah mengikutimu. Aku turut simpati atas kejadian itu.”
“ Aku tak butuh belas kasihan darimu.”
“ Kau butuh puluhan ya? Hm?” aku diam, tidak menanggapinya. “ Aku punya satu permintaan darimu. Aku ingin sekali di dekatmu, bersamamu,  serta melayanimu. Jika kau menerimaku, aku tidak akan keras padamu.” sorot matanya tetap tenang. Tidak berubah. Sang merah bertemu pandang dengan sang hitam. Kami diam, tak berkutik. Ia mendudukkan dirinya untuk menyajarkanku. Kembali dipegangnya kedua pipi ini. Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku merasakan lututku lemas. Tangannya bergerak dengan anggun dan luwes, hingga menyentuh bibirku. Aku terkejut. Ingin sekali menarik diri––namun, tetap tidak bisa. Bisa kutebak apa yang akan ia lakukan setelah ini.
Badannya condong ke depan. Kelopak matanya tertutup menyembunyikan sang merah. Tangannya tetap bertahan di pipi. Dapat sedikit kurasakan nafasnya mengenai hidungku. Jarak kami semakin merapat. Aku kesal, aku tidak ingin hal ini terjadi. Niat buruk muncul di pikiranku. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk mendorongnya. Keseimbangannya menghilang dan akhirnya tersungkur. Aku memang tega karena ini semua menyangkut dengan harga diriku. Aku tidak ingin melakukan ciuman pertama terhadap orang yang tidak kusayang––bahkan yang tidak kukenal sama sekali. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Namun, sepintas dapat kulihat cengiran dari bibirnya.
“ Berani juga kau terhadapku. Tapi, kau salah memilih lawan.”
Entah berasal darimana, aku terkunci oleh empat buah rantai. Rantai itu menahan kedua tangan dan kedua kaki. Aku memberontak dan ia pun tertawa. Aku terjebak dalam jurang ilusi. Sekelilingku berwarna hitam berhias cairan darah. Azura berdiri dan melangkah maju ke depan. Rambutnya yang berantakan tidak mampu menghilangkan kharismanya. Dapat kurasakan emosinya meledak,  membajiri pikiranku bagaikan ribuan paku yang menghantam tubuh. Aku tidak memiliki kekuatan empati, tapi aku dapat merasakannya.
“ Lancang sekali terhadap seorang wanita. Aku akan tunjukkan sesuatu yang bagus untukmu––sebagai pembalasan atas perlakuanmu tadi.”
Apa yang sebenarnya ingin dia lakukan padaku?
****

01 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 4/Part 1)

CHAPTER 4
-Azura-

Dua hari kemudian, kubuka gulungan perban yang melilit di dahiku. Kupandangi lekat-lekat cermin lemari, goresan panjang tampak jelas di pelipis kanan. Aku nyengir, mencoba menahan tawa. Kulempar perban kotor tersebut ke tempat sampah. Merasa sedikit pusing, kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk. Sedikit rasa lega kurasakan karena bisa kembali ke rumah. Aku mengubah posisi tidurku, berusaha mencari posisi yang lebih baik agar dapat tertidur dengan pulas.  Kurasakan bunyi handpone-ku berdering––aku teriak kesal.
“ Halo,”
“ Hei, apa kabar? Sudah keluar dari rumah sakit?”
“ Ya, begitulah. Terima kasih sudah mau membawaku ke rumah sakit, Ed.” suara tawanya dibalik handpone terdengar keras seakan-akan mencoba memukul gendang telingaku. Begitulah Edward. Reaksinya selalu saja berlebihan.
“ Tidak apa. Awalnya, aku bingung saat sadar aku sudah terbaring di atas tanah. Begitu juga kau. Sebenarnya apa yang terjadi dua hari yang lalu? Aku tanya kepada para siswa tentang penyebab kami terbaring, namun mereka tidak tahu.”
Sedikit terkejut mendengar perkataannya. Dia sama sekali tidak ingat kejadian dua hari lalu. Matt yang berusaha membunuhku, dan Edward yang terpukul––terbaring tak berdaya. Kenapa hanya aku saja yang dapat mengingatnya? Kenapa dia tidak? Dalam hati kuberharap ini semua hanya mimpi. Termasuk burung gagak bermata merah––dan wanita itu. Wanita yang mencekik leherku. Begitu menyeramkan, terutama aura kegelapan dari dirinya. Aku menggeram, kuremas celana jeans selutut milikku. Gara-gara kejadian itu, Aria––
“ Kenapa diam? Kau tidak menjawab pertanyaanku.”
“ Ah, maaf. Aku butuh waktu istirahat sekarang.”
“ Wah, baiklah. Semoga cepat sembuh, Ron!”


Keesokan paginya aku terbangun dengan kelelahan. Tidak seperti biasanya, keadaan di rumah sangat tenang dan ketika aku memeriksa jamku, aku sadar aku bangun kesiangan. Bibi mungkin sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kami berdua.
Aku mandi dan mengenakan celana jeans serta kaus putih berbalut kemeja merah. Setelah memasukkan buku pelajaran ke dalam ransel hitam, kuamati bayanganku di cermin. Mataku berwarna hitam mengilat. Aku teringat dengan perkataan Aria ketika menatap mataku. Begitu tenang namun juga menakutkan. Bekas luka di pelipis dan leher membekas di kulit. Seperti anak berandalan saja pikirku dalam hati.
Sambil meraih jaket, aku menuju lantai bawah dan berjalan pelan ke dalam ruang keluarga. Dan tepat dugaanku, ternyata Bibi sudah menyiapkan dua piring sandwich untuk sarapan.
“ Kau tidak sarapan?”
“ Tidak, Bi. Aku sudah terlambat. Jika aku terlalu lama, aku pasti akan dimarahi guru piket. Aku pergi dulu.”
Ia tersenyum. Kusandang ransel hitamku di pundak dan pergi menuju pintu depan. Saat aku menuruni tangga depan, perasaan dingin menyapuku. Entah perasaan apa lagi ini. Aku mematung, merasakan perasaan yang begitu mengancam. Tidak menyenangkan. Apakah wanita misterius itu akan datang lagi padaku? Aku menatap berkeliling. Mencoba mencari bayangan dirinya. Namun apa yang kulihat sama sekali tidak ada. Hanya gerakan dedaunan yang melayang dan pohon yang melambai tersapu oleh angin yang dapat kulihat. Oh Tuhan, kurasa ini hanya halusinasiku.
“ Kurasa kau akan terlambat ke sekolah, Mr. Ron.”
Kepalaku refleks bergerak ke arah kanan––mencari sumber suara yang sangat familiar bagiku. Rupanya itu Aria. Ia berdiri di trotoar yang mengapit jalan, berjalan melangkah mendekatiku. Ia tidak mau menatapku––tapi, aku dapat melihat dengan jelas tatapannya. Sangat sendu. Tidak seceria yang biasanya. Sepertinya Aria masih sedikit enggan berbicara kepadaku. Mungkinkah ia masih kecewa dengan perlakuanku padanya beberapa hari lalu?
“ Aku pergi kerja dulu. Sampai nanti.”ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkanku. Hanya punggungnyalah dapat kulihat saat ini.
****
“ Kenapa kau datang terlambat, Mr. Ron? Ini sudah jam berapa, huh?”
“ Well––aku bangun kesiangan.”
Aku merutuki diriku sendiri. Kutundukkan sedikit kepalaku demi menahan rasa malu. Cekikikan tawa para siswa siswi tertangkap jelas oleh pendengaranku. Suara pukulan kecil dari tongkat yang dipegang Nyonya Britanny––guru piket yang sekarang menghukumku––membuat keringat dingin mengalir dan degupan jantung berdetak tak teratur. Ia arahkan tongkatnya dan tepat mengenai betisku. Aku sedikit merintih. Mencoba menahan rasa sakit.
“ Itu hukumanmu karena sudah terlambat lebih dari tiga jam. Ini sudah kelewatan Tapi, tidak hanya itu saja. Sepulang sekolah kau harus bersihkan toilet laki-laki yang ada di lantai dua. Paham! Aku tidak suka murid yang tidak disiplin.” perintahnya sebelum pergi meninggalkanku. Nyonya Britanny memang dijuluki guru paling killer oleh siswa siswi di sekolah. Aku jengkel. Kuhentakkan kaki kananku ke lantai––hanya dapat menghasilkan bunyi hentakkan kecil dan membuat sedikit kepuasan muncul dalam benakku. Aku tau ini bukan salahnya. Tapi kenapa harus ia yang bertugas menghukumku?
Waktu pun berlalu. Tiba saatnya diriku untuk bertempur. Setelah pelajaran usai, kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju toilet laki-laki. Kuputar gagangnya lalu kubuka perlahan. Rupanya, ini sangat gampang. Toiletnya tidak terlalu kotor, membuat beban di dalam pikiranku sedikit berkurang. Kuletakkan ransel hitam yang sedaritadi kusandang ke lantai. Kuambil kain basah dan pel, serta mengisi air ke dalam ember. Sambil menunggu penuh––
“ Brak!”
Aku terkejut, membuat bahuku sedikit ikut terangkat. Aku penasaran dan berbalik menghadap pintu. Pintunya tertutup. Aku berlari kecil––memutar gagangnya––mendorongnya, bahkan mendobrak pintunya. Kukerahkan seluruh tenaga, namun tidak ada rekasi sama sekali. Pintu itu tetap saja tertutup rapat. Lagi-lagi perasaan ini muncul. Perasaan yang seakan mengancamku. Begitu menakutkan. Sama seperti sebelumnya. Aku berteriak untuk meminta tolong dan mencoba memukul pintunya. Namun sama sekali tidak dapat mengalihkan perhatian orang lain.
Entah kenapa rasanya, perlahan-lahan cahaya yang masuk semakin meredup––menjadi gelap. Kuberbalik menghadap tempat semula. Langit tampak begitu gelap dari balik jendela yang juga tertutup rapat. Hanya sinar lampu jalan yang sedikit menyinari dan sedikit memperjelas penglihatanku. Astaga, kenapa ini bisa terjadi? Ini masih jam 2 siang. Baru beberapa menit aku berada, namun kenapa hari sudah malam?
“Akhirnya aku berhasil menemukanmu, Ron. Kau terjebak dalam perangkapku.”
****