08 Desember 2012

DECEMBER 26TH (Chapter 7/Part 2)

Matahari mulai menampakkan wujudnya. Sinarnya yang hangat masuk menerobos jendela, dan alarm jam weker pun berbunyi pertanda hari sudah pagi. Suaranya yang begitu memekakkan telinga––selalu saja mengusik mimpi indahku. Mimpi indah dimana  aku dapat merasakan sebuah kelegaan tanpa ada pengganggu sedikit pun. Aku dapat tinggal di tempat yang tenang, tiada serigala-serigala hitam, burung gagak, dan lainnya.
Kuperjapkan sepasang mataku, dan mengusapnya perlahan hingga aku pun terduduk. Bunyi jam weker yang terasa “sedikit” mengganggu di telinga itu kemudian dimatikan. Aku meraihnya dan memandangnya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam pagi. “Untunglah aku tidak terlambat.”
Aku pun pergi ke tempat dimana aku bisa menyegarkan diri di bawah pancuran air. Rasa takut akan kejadian kemarin seakan hilang terbawa oleh air yang mengalir dari rambut hingga ke ujung kaki. Begitu segar dan menenangkan, namun aku tak perlu mandi berlama-lama. Kusudahi kegiatan ini dengan mengeringkan badan menggunakan handuk, dan melingkarkannya dari bawah pusar hingga lutut. Langkah kaki ini kemudian berjalan menuju depan cermin, dimana aku dapat melihat pantulan bayangan diriku serta bekas goresan luka yang dibuat oleh Matt dan Azura di leher ini. Azura pernah mengatakan kalau bekas luka ini tidak akan bisa hilang karena perbuatannya. Apakah bekas ini menjadi sebuah penanda bagi dirinya? Aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya yang aneh. Aku juga masih tidak mengerti tujuannya mengincarku, selalu mengikutiku, bahkan dirinya yang sempat––menciumku? Mendadak pikiranku sakit karena kembali memikirkannya. Memikirkan sebuah adegan dimana saat itu bibir kami saling bersentuhan. Sentuhan yang sengaja dibuatnya paksa. Itu sangat memuakkan bagiku. Pikiranku terus bertanya dalam hati, apakah dia menyukaiku? Padahal kita baru saja bertemu––belum dalam waktu yang lama.
Kukenakan dalaman putih tanpa lengan berlapis kaos hitam polos berkerah, dengan celana jeans hitam panjang. Setelah mempersiapkan diri dengan membawa alat-alat yang akan dibawa, aku pun keluar kamar, menuruni tiap-tiap anak tangga hingga tatapanku mendadak bertemu dengan sosok Aria yang berdiri membelakangiku. Dirinya selalu tampil feminim dengan baju terusan krem selutut berhias garis-garis hitam pada bajunya, dan rambut panjangnya yang dikuncir sebagian ke belakang.
“Lebih baik kau jangan menyiapkan sarapan.” Sapaku yang berdiri tepat di belakangnya.
“Aku memang belum menyiapkan sarapan, ini baru saja kubuatkan minuman hangat untukmu, tapi––apa tidak apa jika aku tidak menyiapkannya? Maaf aku telah membongkar lemari dapurmu.” Katanya sembari memberikan secangkir teh hangat untukku. Tak butuh waktu lama, minuman itu kuhirup dan kuteguk.
Well––pagi ini aku harus pergi menemani sahabatku, Ed. Jarang sekali dia mau mengajakku sarapan bersama di kafe. Mungkin sebentar lagi dia akan datang menjemput, tapi..”
“Tapi?”
“Aku akan mengajakmu untuk ikut bersama. Mungkin kau masih trauma dengan kejadian kemarin. Mungkin kau takut untuk ditinggal sendirian. Bukankah begitu? Lagipula tempat ini sangat sepi dan aku tidak akan mungkin meninggalkan seorang wanita sendirian di rumah ini. Aku tidak ingin makhluk-makhluk itu muncul lagi datang me––”
“Bukannya aku tidak mau, tapi aku sedikit sungkan untuk ikut dengan kalian apalagi aku sama sekali tidak kenal dengan sahabatmu––”
“Ting Tong!”
Bel berbunyi memutuskan pembicaraan di antara kami berdua. Kakiku melangkah cepat untuk segera membukakan pintu ruang tamu. Ed yang sedari tadi berdiri di balik pintu, menampakkan cengiran khasnya sambil melambaikan tangan padaku. Ekspresiku tetap datar, alhasil mendapat pukulan kecil darinya tepat di bahu. Seperti biasa, ia selalu tampil dengan pakaian yang––mungkin bisa dibilang pakaian untuk ukuran orang kelas atas. Tak lupa pula dengan mobil Ferrari merah kesayangannya yang selalu dibawa pergi bahkan untuk ke rumahku saat ini.
“Apa kau siap untuk menemaniku, princess?”
“Maaf, mungkin kau salah rumah.” Jika pintu ini tidak langsung di tahan oleh kedua tangannya, mungkin benda ini sudah hancur. “Hei, tenanglah! Aku hanya bercanda. Candaanku jangan terus kau anggap serius. Aku lagi ingin menghibur diriku di pagi ini.”
“Keegoisanmu membuatku muak.”
“Oke, aku minta maaf. Lupakan sapaanku barusan. Nah, apa kau sudah siap? Kalau sudah, ayo kita pergi sekarang menemaniku sarapan.”
“Bolehkah aku mengajak seseorang?”
“Siapa?” Langkahku kembali memasuki ruang keluarga––menemui Aria, menggenggam tangannya dan mengajaknya untuk menemui Ed. “Gadis ini. Aku bermaksud untuk mengajaknya. Bolehkah? Aku tak akan mungkin meninggalkannya sendirian di rumah ini. Bibiku juga lagi pergi sekarang.” Aku tahu pasti apa reaksi Ed setelah melihat gadis mungil ini. Mengetahui bahwa Ed begitu maniak ketika melihat gadis-gadis cantik dan manis, pasti dia akan berkomentar setelah melihat gadis mungil ini.
Oh My! She’s very cute with her small body! Who is she? Your friend? Sister? Cousin? But I kbnow that you don’t have any sister or brother, or–– is she your girlfriend? Maybe––your wife?
Of course, Not. Dia tetangga sebelah. Kebetulan karena dia sedang sendirian, lebih baik kuajak jalan bersama. Kasihan jika kutinggalkan gadis ini, mengingat tempat ini begitu sepi dan bibi sedang tidak ada di rumah.”
“Baiklah. Aku rela untuk mengajaknya sarapan bersama. Kebetulan dia gadis mungil yang sangat manis. Setidaknya aku bahagia tidak jalan berdua bersama cowok. Aku lebih suka jika ada manusia dengan jenis kelamin yang berbeda juga menemaniku jalan bersama. Tenanglah, Aria! Aku akan menjagamu dari laki-laki jahat termasuk tetanggamu yang badannya terlalu tinggi ini!”
Aku hanya mendengus, malas untuk membalas kata-katanya. Seperti biasa Ed memberikan kunci mobilnya padaku. Ia lebih suka jika aku yang mengendarai mobilnya bila pergi bersama. Seperti menjadi seorang supir saja, pikirku. Setelah mengunci pintu rumah, dirinya duduk di sebelah kanan depan dan Aria di belakang kami berdua. Perjalanan menuju Red Rose Cafe kira-kira membutuhkan waktu dua puluh menit. Ed sedari tadi asyik dengan iPad kesayangannya, dan Aria––kuperhatikan dirinya dari cermin depan, mendapati dirinya duduk tenang memandang keluar jendela. Ia tersenyum, menampakkan serangkaian gigi dari balik mulut tipisnya. Tatapanku kembali fokus ke depan. Sinar matahari yang menyilaukan menembus masuk melewati kaca mobil, membuat sepasang bola mata ini sedikit menyipit akibat tidak mampu menangkap intensitas cahaya yang terlalu besar. Ed yang mengetahui hal ini, mengambil sebuah kacamata hitam dari dasbor dan memberikannya kepadaku.
Thanks.”
****
Milk shake chocolate di kafe ini memang tiada tandingannya!”
“Pagi-pagi begini lebih baik minum minuman yang hangat. Nggak bagus buat perutmu.”
“Terima kasih sudah pengertian kepadaku. Aku tahu memang minuman hangat lebih baik untuk pagi hari, tapi dengan minuman dingin ini sedikit-sedikit kejenuhanku seakan hilang dari pikiranku.”
“Kau lagi ada masalah?”
Nope. Aku juga sebenarnya nggak mengerti entah kenapa perasaanku begitu tidak menyenangkan dari kemarin. Makanya aku mengajakmu untuk pergi bersamaku. Menemaniku siapa tahu dengan berbicara bersamamu diriku sedikit lebih enak. We’re best friend, right?
I dunno.”
“Dasar!”
Ed kembali menyeruput milk shake miliknya dan menghabiskannya. Untuk yang keempat kali dirinya memesan minuman dengan jenis yang sama kepada seorang pelayan. Ada apa dengan dirinya saat ini? Tidak seperti biasanya dia memesan minuman dingin sebanyak ini tanpa ada makanan yang masuk ke dalam perutnya sedikit pun. Aku memandangnya heran, sambil terus melahap salad yang merupakan makanan favoritku. Aria yang duduk di sebelahku, hanya bisa tersenyum sambil memakan sup jagung miliknya. Ia masih sungkan––mungkin lebih tepatnya masih malu untuk berbicara dengan Ed. Saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu, Ed langsung mengajaknya berbicara, bertanya-tanya tentang dirinya seperti hobi, makanan dan minuman kesukaan, jenis musik, dan berbagai macam pertanyaan lainnya.
“Ron, sepertinya aku sakit perut.”
“Sudah kuberitahu, kau tidak mengerti. Minuman dingin tidak baik untuk pagi hari.”
“Sepertinya aku butuh toilet sekarang!”
Ed pergi meninggalkan kami berdua. Aku kembali menghabiskan salad yang masih tersisa. Kami terdiam, masing-masing dari kami hanya menatap makanan di atas meja. Aria mengaduk sup jagungnya tanpa dimasukkan lagi ke dalam mulutnya.
“Kapan awal kalian bertemu?”
“Sejak sekolah menengah pertama. Saat aku pindah ke kota ini dan aku masih menjadi murid baru, dia memperkenalkan dirinya sebagai ketua kelas di kelas baruku. Ia  mengajakku keliling sekolah dan memberitahuku berbagai hal di sana. Mungkin itu awalnya.”
“Jadi, Ron bukan asli dari kota ini?”
“Bukan.”
“Bagaimana rasanya menjadi anak baru? Pasti kau cukup populer––”
“––awalnya dia sangat membenciku.”
Pandangannya berbelok ke arahku. Antara rasa percaya dan tidak percaya terlintas dalam pikirannya. Aku tetap datar memandang mangkuk salad yang sudah tidak ada isinya. Awalnya, aku tidak akan memberitahukan hal ini, tapi––tanpa sengaja perkataan-perkataan itu keluar dari mulutku. Aku membalas tatapannya, dan hanya tatapan kebingungan yang bisa kudapat darinya.
“Kau kenapa?”
“Aku heran, kenapa dia bisa membencimu? Aku kira dari persahabatan kalian, rasanya aneh sekali jika ada suatu hal yang tidak mengenakkan seperti itu muncul.”
“Setiap persahabatan tidak selalu berjalan mulus. Persahabatan itu memang menyenangkan, namun juga tidak. Kadang kala kita dapat membenci sahabat kita sendiri hingga tidak memaafkannya, dan kadang kita dapat mengorbankan apa yang bisa kita korbankan kepada sahabat kita, menyedihkan. Lagipula, awal dia membenciku adalah awal dari kita untuk memulai persahabatan.”
Ia terdiam, bingung akibat mendengarkan penjelasanku. Aku memfokuskan pandanganku ke depan sambil menunggu kedatangan Ed. Kuubah posisi kedua tanganku dengan menyembunyikannya di saku celana.
Hawa tajam nan menusuk kembali datang menghampiriku. Panas, dingin, semuanya bercampur menjadi satu. Aku dapat merasakannya––begitu menakutkan. Entah berasal dari mana, perasaan ini mengingatkanku akan kejadian di saat diriku akan bertemu dengan Azura, tapi––ini jauh lebih menakutkan. Pandanganku kabur, sekelilingku buram. Hanya beberapa siluet tertangkap oleh penglihatanku. Perlahan semuanya menghitam, kelam, dan gelap gulita. Aku terduduk sambil memperhatikan sekelilingku. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku seorang diri disini. Dimana Aria yang semula duduk di sebelahku? Dimana Ed? Dimana yang lainnya? Aku berdiri, dan berlari untuk terus mencari siapa pun yang ada di ruang hitam ini. Berlari dan terus berlari tanpa peduli dengan keringat yang membasahiku. Ruangan ini tidak ada batasnya dan begitu menyulitkanku. Apakah ini ruang ilusi buatan Azura? Entahlah. Dengan jarak yang tidak jauh dariku, aku dapat mendengar derap langkah kaki seseorang mendekatiku. Ia dibelakangku dan membuatku berbalik menghadapnya. Seberkas cahaya tampak dari lampu minyak yang dibawanya––sedikit menjelaskan pandanganku untuk melihat sosok yang sekarang berhadapan denganku.
   “Azura?”
Azura, ia tidak menjawab sapaanku. Aku terus memanggilnya, dan berjalan mendekatinya yang berdiri di depanku dengan lampu minyak yang dibawanya. Tatapannya kosong. Warna darah dari matanya terus menatapku. Ia bagaikan boneka, tidak bergerak sedikit pun. Kusentuh dahinya dengan jariku hingga dapat kurasakan sebuah cairan mengenai telunjukku.
“Cairan apa ini?”
Cairan merah, dengan bau anyir yang menusuk hidungku. Ini darah. Aku terkejut dan refleks memundurkan langkahku. Dapat kulihat dari ujung kepalanya perlahan mengeluarkan cairan merah itu. Begitu derasnya hingga membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya yang pucat ternodai oleh warna darah. Rasa takut ini terus menghantuiku. Tanpa kusadari lantai yang kupijakkan penuh oleh darahnya. Semuanya merah. Aku sedikit berteriak akan keterkejutanku. Aku terus memandangnya, memandang tatapan kosong yang dimilikinya. Ia tetap tidak bergeming.
“Azura! Ada apa dengan semua ini! Jawab pertanyaanku!”
Tak ada respon darinya. Dapat kurasakan sebuah tangan  merangkul leherku dari belakang secara tiba-tiba. Begitu kuat hingga membuat leher ini tercekik. Nafasku terputus––susah sekali untuk berteriak. Aku takut, Azura tetap tak bergerak, dan seorang lagi yang ingin membunuhku dari belakang. Orang itu menutup mulutku dan menarik sebagian kerah bajuku ke bawah. Tenaganya yang begitu kuat membuatku susah untuk melawannya. Bulu kudukku berdiri, tubuhku bergetar, dan keringat dingin terus membasahi sekujur tubuhku akibat perasaan takut yang tak kunjung padam.
Tak kusangka kau selemah ini, Ron.
Ia tahu namaku. Siapa dia? Dari suaranya dapat kuketahui bahwa dia seorang pria. Aku tak dapat melihat dengan jelas wajahnya di ruang gelap ini, yang dapat kurasakan hanyalah sepasang tangan yang menutupi mulut dan memegang kerah bajuku. Rambut-rambut lengan dan jari-jari kukunya perlahan memanjang. Ukuran tangan yang semula mirip dengan ukuran tanganku, perlahan ikut membesar. Sekujur tubuhnya dibaluti oleh rambut, ia mengaum tepat di samping telingaku. Apakah dia manusia yang bisa berubah jadi seekor hewan? Apakah dia serigala? Hanya pertanyaan itu yang tertanam di pikiranku.
Di saat itu juga beberapa taringnya masuk menancap leherku. Mataku melebar, kaget akan hal ini. Darahku mencuat keluar membasahi leher bahkan mengenai wajahku. Alirannya begitu deras dan sangat hebat. Aku tak dapat memberontak akibat merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aku hanya dapat memegang lengannya. Aku tahu ia bukan vampir––dengan sekujur tubuhnya yang berbalut rambut-rambut panjang. Akan tetapi, ia juga menginginkan darah atau––ia hanya ingin membunuhku? Jantungku terus berpacu, ini berdetak begitu hebat. Kurasakan aliran darahku ditarik oleh mulutnya. Kurasakan aliran darahku mengalir pada masing-masing pembuluh. Taringnya yang menembus dagingku membuatku teringat akan tragedi beberapa tahun lalu––tragedi ulang tahunku.  Azura tetap terdiam memandangku, hingga aku menyadari suatu hal aneh dari diri wanita itu. Perlahan sosok wanita itu berubah menjadi sosok yang sangat familiar bagiku. Ia begitu mungil dengan warna karamel pada rambutnya.
“Aria? Kenapa kau––?” tanyaku dalam hati.
“Maafkan aku, Ron.”
Ia menangis. Seluruh anggota tubuhnya tiba-tiba terputus, mengeluarkan darah. Mataku semakin melebar, adreanlinku memuncak, semuanya penuh dengan darah––begitu juga dengan tubuhku yang masih tergigit. Semuanya bermandikan oleh caira merah itu. Aku ingin berteriak, aku ingin bebas dari tempat ini. Semua ini membuatku takut, semuanya mengingatkanku akan tragedi itu. Tuhan, ibu, ayah, bibi Rosetta, kalian semua dimana? Aku membutuhkan pertolongan kalian. Aku tidak ingin di sini sendiri, aku tidak ingin melihat gadis mungil itu mati di depanku. Gadis itu––Aria––
“ARIA!”
“Ron! Kenapa?”
Sentuhan tangan yang lembut mengenai bahuku. Sentuhan ini dan suara itu? Apakah suara itu Aria? Aku membenarkan posisi dudukku. Sepasang tanganku tetap memegang sisi samping kepala. Ini membuatku bingung, setelah kuperhatikan sekelilingku semuanya tidak berubah. Aku masih berada di Red Rose Cafe, masih terduduk di sebelah Aria. Tidak ada ruang hitam dan genangan darah di sekelilingku, tidak ada seorang pria yang menancapkan taringnya dari belakangku. Apakah tadi hanyalah halusinasiku? Atau sebuah ilusi yang dibuat oleh seseorang untukku? Kupegang leherku––sama sekali tidak ada bekas tusukan taring. Sekujur tubuhku bersih tidak ternodai oleh darah sedikit pun. Pandanganku berbelok ke Aria, ia tetap utuh dengan anggota tubuhnya yang lengkap. Tidak ada cairan merah yang keluar dari tubuhnya. Ia menatapku heran dan terus bertanya apa yang terjadi padaku.
“Kenapa memanggilku, Ron? Apa barusan kau bermimpi? Apa mimpi buruk datang menghampirimu? Wajahmu sedikit pucat, kau sakit?”
“Aku––”
Refleks aku langsung memeluknya. Begitu erat dan membuatku tak ingin melepasnya. Syukurlah dia masih hidup, syukurlah dia tidak seperti dalam bayanganku sebelumnya. Aku tidak ingin melihatnya mati seperti itu. Aku tidak ingin warna karamel pada rambut dan sepasang zamrud yang ia miliki harus ternodai oleh warna merah. Itu begitu menakutkanku. Aku tak melepaskan pelukanku, semakin mengeratkannya dan itu membuatnya sedikit merintih. Kupegang rambutnya yang wangi dan lembut, untunglah aku masih dapat merasakannya. Aku tahu ia pasti sangat malu saat ini. Dapat kurasakan degupan jantungnya yang bergerak cepat. Ia terus memanggil namaku untuk melepaskannya namun––aku tidak mempedulikannya. Aku tidak menyadari bahwa orang-orang di sekelilingku memperhatikan kami berdua, hingga seseorang menyadarkanku dengan tegurannya.
“Ehm, mau sampai kapan tuan memeluk gadis itu? Lihat! Mukanya bagaikan warna tomat saat ini. Mungkin panas dan perasaan malu itu bercampur mejadi satu pada dirinya. Kau tahu? Dari tadi sekelilingmu terus memperhatikan tingkahmu. Jadi kalian memanfaatkan kesempatan selagi aku nggak ada? Benar begitu, Ron?” Edward nyengir. Ia sedikit memajukan wajahnya untuk mengetahui pengakuanku. Aku tahu dia sedang bercanda, tapi––ini juga membuatku malu. Aku melepaskan pelukanku pada Aria. Ia menunduk dan menutup mulutnya, mukanya memerah––persis dengan apa yang dikatakan Ed.
“Barusan aku sudah membayar sarapan untuk pagi ini. Tadi kuperhatikan dari jauh, ada seseorang berdiri tak jauh di belakangmu. Apa itu temanmu?”
“Teman?”
“Kau tidak merasakannya? Aku memperhatikannya dari jauh. Ia menggunakan jaket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia juga mengenakan topi hitam dan celana jeans. Ia berdiri menghadapmu.”
“Menghadapku? Aku tidak tahu, dan waktu itu aku tidak berbalik untuk melihatnya.”
“Kau tidak melihatnya juga Aria? Kau tidak merasakannya? Saat dia berbalik membelakangi kalian, kulihat pada kantung jaketnya ada sebuah kacamata yang tergantung disitu.”
“Aku juga tidak melihatnya.”
“Benarkah? Padahal aku dari tadi memperhatikannya. Apa aku salah lihat? Tidak mungkin, tapi––aku juga tidak terlalu jelas melihat rupa wajahnya.”
“Mungkin kau melihat hantu atau kau salah liat, Ed.”
“Hahaha, mungkin juga, Ron. Sudahlah, aku jadi takut untuk membahasnya. Ayo kita pulang.”
Seseorang yang memperhatikanku? Ia berdiri tidak jauh dari belakangku? Hanya Ed yang dapat melihatnya, sedangkan Aku dan Aria––kami sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Apakah dia pelaku pembuat ilusi barusan? Entahlah, semoga apa yang dikatakan Ed itu tidak benar.
****

04 Desember 2012

BROKEN

Gambar ini rusak, dan mengharuskanku untuk membuangnya. aku menindihnya ketika sedang tidur. hiks. sungguh, ini membuatku sangat menyesal. untungnya masih tersimpan hasil scanner dari gmbr ini walau wrn rambut dan bayangan pada badannya blum terpenuhi, maafkan aku ron.

30 November 2012

A Knight and His Princess


http://khansadk.deviantart.com/#/d5mp0tx

BONUS :

Gambar ini kudapatkan dari deviantart. Wanitanya sangat cantik dan membuatku berimajinasi "Apakah Aria akan seperti ini? Dan rambut karamelnya yang lumayan mendukung" Hahahaha, it's just my imagination.





Satu lagi gambar yang kudapatkan dari deviantart. aku kembali berimajinasi "Apakah Azura akan seperti ini? Namun rambutnya kurang panjang" hahaha. i love these pics




24 November 2012

Characters Sketch

These are the main character (Ron) and his bestfriend (Ed/Edward). I hope you like it. Thank you.


22 November 2012

Rencana Chapter Awal

Ini masih sebuah rencana, tapi entahalah ini bisa terjadi apa tidak. Mungkin, aku akan merenovasi cerita December26th pada chapter awal. Mengingat sebenarnya cerita pada chapter awal itu ialah untuk tugas bahasa Indonesia kelas sepuluh, dan kurasa mungkin tidak terlalu nyambung dengan cerita yang sekarang (jika kulanjutkan ke chapter-chapter berikutnya yang lebih mendalam). Jika ada waktu luang, aku akan mengubahnya (khusus untuk bagian awal).

Sebenarnya juga ada rencana untuk membuat komiknya, tapi.. Entah kenapa aku lebih suka membuat ilustrasinya ketimbang komiknya, hehehe. Kuharap, jika ada waktu lebih sedikit demi sedikit aku dapat membuatnya. Di lain itu, aku masih perlu mengembangkan teknik gambarku.
Mungkin nanti di blog ini, aku akan membuat entri baru tentang gambar disertai biodata tokoh (versi baru).
Sorry and Thank You ^_^.

30 Oktober 2012

DECEMBER 26TH (Chapter 7/Part 1)


CHAPTER 7
-The Black-

Begitu panas namun juga dingin. Hawa dingin bersaing dengan panasnya sebuah rasa yang dirasakan sekarang. Perbedaan yang begitu kontras antara luar dan dari dalam badan ini. Tenggorokan terasa kering, mata yang tiada henti-hentinya mengeluarkan cairan beningnya. Bulir-bulir keringat yang merupakan hasil ekskresi kulit terus muncul dan mengalir dari area pelipis. Tangan dingin yang mencengkram area di sekitarnya demi menahan rasa sakit. Ingin rasanya berteriak namun tidak bisa. Debaran jantung yang begitu hebat, perkataan-perkataan yang tak sanggup untuk dikeluarkan––bagaikan leher yang tercekik. Bagaikan suatu roh yang masuk dalam tubuh namun sebenarnya tidak sama sekali. Derita inilah yang sekarang dirasakan oleh gadis mungil yang sedang terbaring di kasur, Aria.
Perlahan-lahan dirinya membuka mata, rintihan suaranya sedikit demi sedikit terdengar jelas. Aku mencoba menenangkan dengan menggenggam tangan mungilnya. Pandangan awalnya yang tertuju ke langit-langit kamar, berpindah kepadaku. Ia menatapku dan mengeluh, “Rasanya panas, sangat panas”. Deritanya inilah kemungkinan besar efek dari ramuan pemberian Azura. Ramuan itu kucampurkan pada minuman hangat sebelum diberikan kepada Aria. Aku sejenak teringat akan perkataan wanita itu, Ramuan ini sangat cepat reaksinya, namun mungkin awalnya kau bisa melihat sesuatu yang tidak enak.
Rupanya memang benar. Aria begitu gelisah, menderita menahan rasa sakit yang dirasakan badannya. Nafasnya yang sediki terputus, dengan warna merah muda menghiasi kedua pipinya. Genggamanku perlahan mengendur, memberikan ruang bagi tangannya agar dapat bergerak bebas. Ekspresiku tetap datar memandangnya walau dalam hati terus bertanya akan kemanjuran dari efek ramuan tersebut. Entah ramuan itu dapat dipercaya atau tidak, tapi aku terus bersabar melihat perkembangan kesehatan Aria. Kubersihkan dahinya menggunakan sapu tangan. Mencoba mengetahui kondisinya dengan menempelkan punggung tangan ini pada dahi, turun ke pipi hingga leher putihnya. Panasnya tidak seperti sebelumnya. Nafasnya yang mulanya sedikit terputus, perlahan-lahan dapat berhembus teratur. Syukurlah, kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya.
Kembali dipejamkan sepasang matanya yang terbuka. Kepalanya bergerak menghadapku yang duduk di sebelah kasurnya. Ia tak mengucapkan kata-kata lagi  setelah mengeluh. Mungkinkah dia tidur kembali? Mungkin saja pikirku. Aku sedikit membenarkan posisi tidurnya serta selimut yang semula berantakan akibat kegelisahan darinya. Akan tetapi, muncul sebuah niat dariku––entahlah ini niat buruk atau tidak namun aku hanya sekedar ingin tahu kondisi kakinya setelah digigit serigala hitam itu. Selimut yang menutupnya perlahan kubuka, celana panjang yang membungkus kaki sedikit kutarik ke atas. “Untunglah bajunya sudah diganti Azura sebelum ia pergi meninggalkan kami”.
Bekas taring yang menancap betis kanannya terlihat jelas. Aku hanya dapat berdecih kesal. Seandainya saat itu aku tak melepas genggamannya, mungkin dia tidak akan mengalami ini. Dirinya selalu saja terluka jika di sampingku. Aku tak dapat melindunginya––mungkin, belum bisa.
****
“Apa? Bibi tidak pulang hari ini?”
“Ya, begitulah. Bibi ada urusan dengan teman bibi. Jadi, bibi terpaksa menginap di rumahnya selama satu hari. Jaga rumah baik-baik. Jangan lupa untuk selalu mengunci pintu rapat-rapat. Jika ada tamu yang tidak dikenal, lebih baik jangan dibuka karena bibi tidak ada di rumah. Jangan lupa membuat makan malam untukmu dan Aria. Jaga kebersihan rumah––dan yang terakhir..”
“Terakhir?”
“Sebelum menikah, jangan mengambil kesempatan untuk menodai Aria selagi bibi tidak ada.”
Telepon pun terputus. Mendengar perkataan bibi barusan, membuatku tak dapat berkomentar apa-apa. Aku tetap diam dan menaruh telepon itu pada tempatnya. Bukannya aku tidak peduli dengan perkataan bibi––hanya saja, aku bisa menjaga diriku dan aku tidak akan melakukan hal-hal yang sangat mempermalukan diriku sebagai seorang lelaki.
Dentangan jam telah menandakan pukul delapan malam. Hawa sejuk yang berasal dari luar masuk menyelimuti suasana rumah. Sedari tadi Aria tidak beranjak meninggalkan kamarnya––yang sebenarnya merupakan kamar bibi Rosetta. Aku tetap menunggunya di meja makan. Makanan hangat yang sebelumnya telah kusiapkan untuk berdua perlahan menjadi dingin. Suasana begitu sepi, hanya terdengar bunyi dentangan jam dinding. Tiada bibi Rosetta membuat suasana rumah seakan mati apalagi dengan hawa dingin yang begitu mendukung. Aku bertopang sambil memperhatikan putaran jarum panjang yang menunjukkan menit. Sudah menit yang kelima, tapi tetap saja tidak ada bunyi pintu terbuka dari tempat gadis mungil itu berada. Apakah dirinya masih tertidur? Entahlah. Kugaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Berdiri dari kursi yang telah kududuki, dan pergi beranjak meninggalkan meja makan. Tujuanku sekarang adalah ke kamarnya sekaligus ingin mengetahui perkembangan kesehatannya. Apakah dia masih sakit? Semoga saja tidak pikirku. Kuketuk dinding pintu kamarnya beberapa kali, namun tak ada respon yang kudapat dari dirinya. Perlahan kudorong gagang pintunya, mendapati sosok Aria terduduk di tempat tidur––membelakangi pintu yang menjadi tempatku berdiri sekarang. Ia tetap tidak merespon kedatanganku––sama sekali tidak menoleh ke arah belakang. Rambut karamelnya tergerai berantakan dan sedikit menampakkan leher putihnya. Tangannya tidak bergerak namun terus memeluk sebuah bantal dengan erat. Aku berjalan mendekatinya, menepuk bahunya, dan alhasil dia menoleh kepadaku.
“Kau tidak mau makan menemaniku?”
Ia hanya menatapku namun tidak mau membalas pertanyaan lawan bicaranya barusan. Ekspresinya tidak menunjukkan dirinya sedang sedih atau gelisah. Ia tetap seperti biasa, kecuali rona merah yang selalu ia tampakkan tidak terlihat. Ia tenang, masih dalam posisi terduduk dengan dirinya yang tetap memeluk bantal. Ia terus menatapku yang berdiri di sampingnya tanpa berkomentar.
“Mukamu masih pucat. Apa kau tidak mau berbicara padaku demi menahan rasa sakitmu, bukankah begitu?”
Tidak ada respon darinya.
 “Aria. Aku tak mau kau menatapku dengan tatapan seperti itu. Kau seakan-akan sedang mengetesku. Kau biasanya menatap orang-orang dengan lembut, tidak seperti sekarang ini. Jika kau ingin sesuatu, katakan itu. Aku pasti akan membantumu.”
Kembali tidak ada respon darinya.
“Aria! Tolong balas perkataan lawan bicaramu!” sedikit berteriak agar dapat menerima respon––tapi tetap tidak ada respon darinya sedikit pun.
“Aria! Dengarkan! Aku hanya ingin bicara padamu!”
Kesal. Aku pun meraih kedua tangannya, namun pelukan pada bantal itu semakin dieratkannya. Ia tak mau melepasnya. Aku terus memanggil namanya berulang kali, tapi tetap saja ia tidak mau membalas panggilanku. Tatapannya yang semula bertemu pandang dengan tatapanku, kemudian sengaja dipejamkannya. Aku mengkerut, terus berusaha untuk meraih kedua tangannya agar ia mau menjawab. Badanku yang sebelumnya berdiri tegak terpaksa sedikit membungkuk hingga refleks duduk di atas tempat tidurnya. Ia hanya dapat mengeluarkan rintihan kecil saat kedua tangannya sedikit kutarik paksa––yang juga membuatnya tersandar pada tembok. Aku senang bisa melepaskan kedua tangan yang telah memeluk erat bantal itu, tapi   matanya tetap terpejam dengan kepala menunduk yang membuat poni rambutnya sedikit menyembunyikan wajah cantiknya. Mau tidak mau, segera kupegang kedua pipinya, sedikit menarik wajahnya ke atas agar ia mau melihatku. Ia langsung memegang kedua tanganku untuk menarik dari pipinya. Akan tetapi, tetap saja tenaganya tak dapat menandingi tenagaku.
“Aku hanya ingin berbicara padamu baik-baik. Bukan untuk menyakitimu. Apa yang membuatmu seperti ini? Kau tidak mau membalas perkataanku––bahkan kau sengaja memejamkan matamu untuk tidak melihat lawan bicaramu.”
Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan kembali zamrud indah yang sempat disembunyikannya. Tanpa sadar wajah kami begitu dekat, hanya memisahkan jarak beberapa senti dari hidung kami. Hembusan nafas kami saling bertemu seakan sedang beradu. Hangat hembusan nafas dari masing-masing sumber begitu menggelitik wajah. Mataku terus terfokus untuk melihat indah warna matanya. Damai dan sangat berbeda dengan warna hitam bola mataku. Ini seperti menghipnotisku.
“..Ron.”
“Ya?”
“Aku takut akan kejadian tadi. Kejadian dimana aku merasakan kedamaian pada awalnya, merasakan keindahan alam yang begitu tenang, berjalan sambil menghirup udara segar bersamamu, namun––tiba-tiba saja berubah menjadi suatu hal yang begitu kontras dibanding sebelumnya. Tragedi yang mengerikan. Suasana sejuk yang seakan tak begitu bersahabat. Hujan deras yang kemudian menyelimuti indahnya alam hutan pinus itu. Semuanya––membuatku takut.”
“Lalu, kenapa kau tadi menghindariku di saat aku ingin berbicara denganmu?”
Aria terdiam sejenak. Ia seperti sedang memikirkan serangkaian kata yang akan dilontarkan dari mulutnya. Posisi kami tetap tidak berubah––masih dalam jarak yang begitu dekat. Sedari tadi tangan ini tetap saja tidak terlepas memegang kedua pipi lembutnya.
“Awalnya aku takut memandangmu. Tatapanmu begitu tajam, beda dengan laki-laki lain yang pernah kutemui. Warna hitam dari rambut dan matamu sedikit mengingatkanku pada serigala tadi. Sangat persis––tapi, bukan berarti aku membencimu! Aku tidak membencimu hanya karena warna yang kau miliki. Memang aku sedikit trauma dengan serigala yang tadi mengejar bahkan menggigitku. Tatapannya tajam, namun membunuh. Akan tetapi, setelah itu aku sadar bahwa kau berbeda dengannya. Tatapan tajammu justru menghangatkanku. Aku sangat menyukainya.”
Aku dapat melihatnya dari tatapanmu, tatapan kekhawatiran yang dapat menghangatkan hati.
Mendadak terlintas dalam otakku perkataan Azura sebelumnya. Jadi inikah yang disukai dari mereka? Sebuah “kehangatan” ––dariku? Diriku seakan terjepit oleh sepasang wanita yang selalu menghantui pikiran ini. Aku heran dengan apa yang mereka sukai dari diriku.
Kutarik kembali kedua tanganku dari pipinya. Sedikit memberikan jarak di antara kami berdua untuk bisa bernafas dengan lega. Akhirnya aku dapat melihat kembali rona merah yang menjalar di pipi Aria. Aria tampak keringatan––mungkin akibat dari diriku yang sudah mempersempit ruangnya. Kubenarkan poni rambutnya, serta kubersihkan bulir-bulir keringat yang telah membasahi wajahnya.
“Aku juga tidak membencimu. Terima kasih, akhirnya kau mau merespon perkataanku––dan maaf jika aku berlaku kasar padamu,” kataku datar.
Kami hanya saling berpandangan. Hening. Tak ada satupun gerakan dari tubuh kami setelah itu. Tak lama kemudian, sebuah deringan telpon genggam menghancurkan keheningan ini. Kuraih benda itu dari saku celana,  membuka kuncinya dan melihat pesan dari dalamnya.
Besok pagi maukah menemaniku sarapan di Red Rose Cafe? Aku harap kau bisa menemaniku. Aku akan menjemputmu jam 7 pagi. Thanks!
-Edward-
****

Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan kembali zamrud indah yang sempat disembunyikannya. Mataku terus terfokus untuk melihat indah warna matanya. Damai dan sangat berbeda dengan warna hitam bola mataku. Ini seperti menghipnotisku.