30 Juli 2011

WARNING!

For Mam Mimi.
I'm sorry, actually this is my new blog for English Lesson :
http://khansadewikarima19.blogspot.com/
you can check my work from there.
thanks a lot, Mam! :)

06 Juli 2011

Sketsa lama December26th (AriaxRonxAzura) =))


Aria and Ron
 Ron dan Azura


DECEMBER 26TH (Chapter 3/Part 2)

“ Syukurlah kau sudah sadar, Ron!”
“ Bibi? Ini dimana?”
Bibi Rosetta melepaskan pelukannya dariku. Ia mengusap kedua matanya dan kemudian tersenyum. Ia menepuk pundakku dan berkata, “ Kau sekarang dirumah sakit, Ron. Edward yang membawamu kesini dan menghubungiku. Katanya kau terluka karena perkelahian dengan temanmu, tapi untunglah sekarang kau tidak apa-apa.”
Aku menunduk lesu. Kukira ini semua hanyalah mimpi, tapi kenyataannya tidak sama sekali. Masih terbaring di kasur, aku pun meremas selimut yang menutupi tubuhku ini. Entah kenapa, aku sama sekali tidak merasa senang karena tidak bisa membunuh preman sekolah yang sangat kubenci. Daridulu aku sudah membenci Matt. Ia selalu menggangguku sejak aku duduk di bangku SMP. Entah apa yang dia inginkan dariku sehingga aku selalu menjadi korbannya. Rencanaku saat itu juga terhalangi oleh burung gagak itu. Ia datang secara tiba-tiba dihadapanku dan membuat Matt kabur dari genggamanku. Sungguh, aku jadi membenci keduanya.
“ Apa yang kau lamunkan, Ron?”
“ Eh!” refleks, aku terkejut. Bibi melambaikan tangannya tepat di depan mukaku. Aku berusaha tersenyum padanya agar ia tidak terlalu khawatir kepadaku. Tak lama kemudian, ia berpamitan pergi untuk melanjutkan pekerjannya di kantor. Aku mengangguk dan mempersilahkannya pergi dari ruangan ini. Ia pun beranjak dari tempat duduknya, membuka pintu ruangan, dan menutupnya kembali. Sebelumnya, ia sudah berjanji untuk menjemputku di saat sore. Aku menghela nafas, lega sekali rasanya bila bisa sendirian di ruangan ini. Akhirnya, aku pun dapat  tertidur tanpa gangguan dari siapa pun di ruangan ini.
“ Aku akan selalu mengikutimu, Ron.”
Aku terkejut dan terbangun. Untuk kedua kalinya suara wanita itu terdengar jelas di telingaku. Aku pun terduduk di kasur dan berusaha mencari asal sumber suara itu. Kupandangi tiap-tiap tempat yang ada di ruangan ini, tapi hasilnya sama sekali tidak ada.
“ Siapa kau? Tunjukkan dirimu! Jika tidak, aku akan menghabisimu.” perintahku penuh emosi.
“ Aku selalu ada disisimu.”
“ Jangan gila! Jawab dulu pertanyaanku dan tunjukkan siapa kau sebenarnya! Cepat, beritahu aku!”
Hening. Keringat dingin perlahan-lahan mengalir melewati pelipisku. Aku terus mencari asal sumber suara wanita itu berada, tapi hasilnya tetap sama. Tidak sabar untuk menunggunya, kupijakkan kaki kananku ke lantai––ada sesuatu dari belakang yang merangkul leherku––dan rupanya itu merupakan lengan seseorang. Badanku refleks tertarik ke belakang dan leherku ikut tercekik. Aku meronta, sakit sekali rasanya saat dicekik seperti ini. “ Tenanganya kuat sekali,” pikirku. Aku berusaha mencakar lengannya dan berteriak untuk meminta tolong––tapi, aku tidak bisa dan nafasku seperti terputus. Si pemilik lengan itu tertawa. Ia sedikit menundukkan kepalanya  tepat di samping kepalaku. Tangan sebelahnya ia gunakan untuk mengusap wajahku.
“ Ini perintahmu, karena kau ingin aku menunjukkan siapa diriku! Iya, kan, Ron!”
Sakit sekali rasanya saat ia berteriak tepat di depan telingaku. Apa dia tidak pernah diajar bagaimana cara bicara yang baik dan benar agar telinga si pendengar tidak merasa kesakitan? Padahal dia hanyalah seorang wanita, tapi kenapa tenanganya bisa sekuat ini?
“ S-siapa kau sebenarnya..?”
“ Namaku Azura. Senang bisa bertemu denganmu dalam wujudku seperti ini.”
“ W-wujud? Wujud apa.. maksudmu?” tanyaku sedikit terputus.
“ Jadi selama ini kau tidak menyadarinya? Aku kecewa padamu, Ron.”
Ia memperkuat tenaganya dan itu membuat leherku semakin terasa sakit. Aku hanya bisa menutup mata sekarang––berusaha menahan rasa sakit yang kurasakan saat ini. Bekas goresan  yang dilakukan Matt tadi siang pada leherku terasa sangat perih akibat tekanan lengannya. Walaupun sekarang kepalanya tepat disampingku, tapi aku tidak dapat melihat dengan jelas seperti apa wajahnya. Hanya aroma tubuhnya dan rambut hitam yang panjang nan lembut itulah yang dapat kulihat dan kurasakan. Entah apa yang ia lakukan saat ini, sepertinya ia sedang mencium pipiku dan tangan sebelahnya tetap digunakannya untuk mengusap wajahku. Geli sekali rasanya saat nafasnya mengenai kulitku.
“ Hahaha, aku kasihan padamu, Ron. Nasibmu malang sekali hari ini, tapi walau begitu aku tetap menyukaimu.”
“ B-bodoh, aku sangat membencimu!”
Rangkulan lengannya perlahan-lahan merenggang. Inilah saatnya untuk bebas dan membalas perbuatannya. Aku melepaskan diri darinya dan langsung melemparkan sebuah selimut ke arahnya. Saat selimut itu terlempar, tiba-tiba saja ia menghilang. Aku kesal, di saat aku ingin membalas sesuatu pasti ada saja halangannya. Aku berteriak frustasi––bahkan meremas rambutku. Ingin sekali aku membunuhnya jika aku bertemu dengannya sekali lagi.
“ Bodoh! Bodoh! Bodoh!”
“ Kau kenapa, Ron?”
Tiba-tiba saja suara seseorang kembali mengejutkanku untuk yang kedua kalinya––namun, suara ini berbeda dari suara sebelumnya. Suaranya sangat lembut dan tidak asing di telingaku. Otakku bekerja dan kepalaku langsung berputar untuk mencari asal sumber suara itu. Rupanya itu adalah suara tetanggaku––Aria. Ia sudah berada di dalam ruanganku terlebih dahulu. Aku sedikit terkejut saat melihatnya berdiri di depan pintu. Sedikit kuperhatikan wajahnya dari samping dan terlihat jelas ekspresi khawatir yang tergambar di wajahnya.
“ Kenapa kau tidak mengetuk pintu dulu?” tanyaku kesal padanya.
“ Maaf, tadi aku sudah mengetuknya lebih dari dua kali, tapi tidak ada respon darimu. Karena khawatir, aku langsung saja memasuki ruanganmu. Maafkan aku.”
Aku terdiam. Dugaanku tidak salah. Ia memang khawatir kepadaku, tapi bukan seharusnya dialah yang merasa bersalah––melainkan diriku. Aku sama sekali tidak mendengar ketukannya dan tetap fokus kepada wanita yang bernama Azura. Mungkin karena kedatangannya-lah Azura menghilang. Saat ia ingin menyentuh leherku, tanpa sengaja kutepis tangannya dan  membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan. Kulihat tangannya  sedikit bergetar dan wajahnya mulai memucat. Ia seperti ingin menangis.
“ Kenapa kau-..”
“ Sebenarnya aku hanya penasaran pada lehermu yang terlihat sangat memerah. Maafkan aku.”
Kalimatku terputus oleh kalimatnya. Suaranya sedikit bergetar dan parau. Aku sedikit menundukkan kepalaku, memandangnya, dan kulihat ia mulai mengeluarkan air matanya––namun, ia berusaha menahannya dengan kedua tangannya karena ia tahu bahwa sekarang aku jelas-jelas  memperhatikannya.
“ Maaf, tadi aku tanpa sadar-..”
“ Sudahlah..”
Ia lari dari hadapanku. Pergi meninggalkan ruanganku. Aku berteriak memanggilnya dan berusaha untuk menarik tangannya––tapi, hal itu sia-sia. Tiba-tiba saja muncul rasa sakit pada perutku ini. Sepertinya ini adalah efek dari tendangan yang dilakukan Matt. Aku mendengus kesal karena tidak bisa menghentikan Aria. Ingin sekali kukejar dirinya––namun apa daya bagiku sekarang. Kurasa ia sudah membenciku atas perlakuanku padanya barusan.

04 Juli 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 3/Part 1)


CHAPTER 3

-The Sudden Event-

Bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran hari ini telah usai. Inilah waktu yang sangat diharapkan oleh siswa-siswi di sekolah. Ada yang tampak senang, dan ada juga yang tampak sedih––terutama bagi siswa-siswi yang sangat mencintai belajar. Lain hal-nya dengan diriku, masih duduk terdiam di bangku dan tertidur dengan pulasnya tanpa sepengetahuan orang lain, kecuali Edward, teman sebangkuku. Untunglah kami berdua duduk pada deretan terbelakang dan terpojok di bagian kiri kelas.
Tak lama kemudian, kurasakan tubuhku sedikit terguncang oleh sesuatu. “ Guncangan apa ini?” gumamku. Kubuka perlahan kedua mataku, dan rupanya Edward-lah pelaku ‘pengguncangan’ sebenarnya. Ia mengguncang tubuhku yang masih tertidur pulas di bangku.
“ Mau tidur sampai kapan, ‘Ron Si Pemalas’? Kau sudah menghabiskan satu jam pelajaranmu untuk tidur.”
“ Benarkah? Gawat, aku belum mencatat sama sekali.”
“ Sudahlah, lagipula kau sudah pintar. Tidak perlu mencatat pun rangkingmu tetap yang pertama. Sayangnya, dari semua kelebihanmu kau memiliki dua kekurangan.”
“ Oh, ya? Apa itu?”
“ Kau terlalu cuek dan tidak tampan sepertiku!”
“ Terima kasih. Aku tahu kau memang manusia paling tampan dan terpeduli di muka bumi ini. Semua orang tersanjung akan kehebatanmu, tapi, entah kenapa aku lebih sering mendapatkan surat cinta dibandingkan dirimu yang tampan nan rupawan bagaikan pangeran.”
“ Itu hanya kebetulan saja! Mata cewek-cewek di sekolah ini semuanya rabun!”
Aku menghela nafas mendengarnya. Dari dulu ia memang tidak ingin kalah dariku. Sebenarnya apa yang ia inginkan agar bisa menang dariku? Padahal dia sudah kaya raya, ceria, cukup pintar, dan peduli kepada siapa saja. Tidak ada satu pun kekurangan darinya dibandingkan diriku yang apa adanya.
Kami pun keluar kelas dan pergi menuju halaman parkir kendaraan siswa. Edward sekedar menemaniku, ia sama sekali tidak mengendarari kendaraannya. Ia selalu di jemput oleh supir dan dua pengawal pribadinya menggunakan sedan hitam merk ternama. Sedangkan aku, hanya pergi menggunakan sepeda lamaku.
Tak jauh dari tempat kami berdiri, kulihat segerombolan siswa berkumpul mengelilingi sepedaku. Entah apa yang ingin mereka perbuat, karena penasaran aku pun melangkah cepat ke tempat mereka dan tak lupa disusul oleh Edward. Tak kusangka rupanya mereka adalah preman sekolah yang sangat kubenci. Mereka mencoba merusak sepedaku dengan alat-alatnya––bahkan menendangnya. Sungguh, aku sangat tidak suka dengan pemandangan ini. Aku sama sekali tidak bisa menahan emosi. Kulempar tas ransel hitamku ke Edward, dan tanpa perintah, aku langsung menarik jaket dari salah satu pemiliknya ke belakang.
“ Mau apa kau dengan sepedaku?” tanyaku pada mereka. Kurasakan emosiku bergejolak saat ini. Ingin sekali rasanya kulukai satu persatu muka mereka bertiga.
“ Wah, wah, wah. Si pecundang di sekolah ini sudah datang rupanya.” Jawab Matt, ketua dari preman tersebut.
“ Kenapa? Kau iri dengan ‘pecundang’ sepertiku? Dasar ‘Preman Sial’.”
Aku tidak peduli jika mereka mengataiku tidak sopan atau apa. Sekarang pusat perhatian para siswa-siswi yang berlalu lalang di daerah ini tertuju kepada kami.
Matt yang sedari tadi kesal, meremas kedua tangannya, dan dengan cepatnya ia melayangkan serangannya tepat di pipi kiriku. Aku jatuh tersungkur. Serangannya begitu keras dan membuat darah segar sedikit mengalir dari mulutku. Edward segera menolongku, ia membenarkan posisiku yang awalnya terbaring di tanah menjadi terduduk. Sebelum sempat mengusap  darah yang mengalir dari mulutku ini, Matt terlebih dahulu menarik kerah bajuku, dan memberikan tendangannya tepat di perutku. Aku merintih kesakitan. Edward mencoba membantuku membalas perbuatannya––namun, ia kalah cepat. Kedua anak buah Matt sudah terlebih dahulu memegang kedua tangannya.
Siswa-siswi yang sedari tadi memperhatikan perkelahian, bersorak––bahkan melambaikan tangan untuk mendukung salah satu diantara kami. “ Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?  Bukannya membantu menghentikan perkelahian. Kemana para guru disaat kami berkelahi?” pikirku dalam hati. Aku berdiri dan mencoba memberikan serangan tinju tepat di muka Matt. Akan tetapi, hasil yang diperoleh tidak memuaskan. Dengan cepatnya ia menahan tangan kananku dan menendang perutku untuk kedua kalinya. Kini, darah segar begitu banyak mengalir dibandingkan sebelumnya. Aku terjatuh––kembali terbaring di tanah. Kudengar Edward berteriak memanggil namaku. Ia mencoba memberontak, namun ia terlalu lemah dalam perkelahian––sama halnya sepertiku.
Langkah Matt semakin mendekat, ia menarik rambutku dan seraya berkata, “ Aku benci kau. Gara-gara kau, ia berpaling dariku dan lebih memilih dirimu.”
Siapa yang dia maksud? Apa mungkin siswi yang pernah menyatakan cintanya dua minggu lalu kepadaku? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Bukankah waktu itu aku sudah menolaknya, dan buat apa dia marah kepadaku?
Matt merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang tertanya ialah sebuah pisau lipat. Ia membukanya dan mengarahkannya tepat di leher kananku. Aku mencoba bergerak, namun, entah kenapa tanganku susah sekali untuk digerakkan. Para murid menjerit melihat adegan kekerasan yang akan ia lakukan. Edward kembali meneriaki namaku, tapi usahanya kembali sia-sia karena salah satu anak buah Matt berhasil memukul tengkuknya. Ia jatuh berlutut dan pingsan.
Matt tertawa geli melihatku tak berdaya. Kurasakan sedikit ujung mata pisaunya menusuk leherku. Sedikit tergerak ke depan dan membuat darah mengalir keluar secara perlahan. Ingin sekali aku berteriak untuk melepaskan rasa sakitnya––tapi, entah kenapa tenggorokkanku seakan-akan tercekik sesuatu. Nafasku sedikit terputus dan aku pun hanya bisa menutup mata. Dalam hati kuberkata bahwa aku ingin terbebas dari perlakuan kejamnya. Ingin sekali kuhancurkan dia tepat di hadapanku. Ingin sekali aku membunuhnya––hasratku berkata demikian.
Kurasakan suatu energi merasuki tubuhku sekarang juga. Panas sekali rasanya. Emosiku pun ikut bergejolak seraya mengikuti panasnya  energi yang seakan-akan membakar tubuhku sekarang ini.
Tak terasa langit pun berubah menjadi gelap, angin berhembus kencang dan membuat para murid di sekolah ini satu persatu memasuki gedung sekolah. Kilat menyambar dan petir ikut bergemuruh demi meramaikan suasana. Begitu menyeramkan situasi sekarang ini. Matt menghentikan aktifitas gilanya. Sedikit rasa takut tergambar jelas di wajahnya. Aku menunduk dan langsung mengenggam kedua tangan Matt. Ia bingung dengan perlakukanku sekarang.
“ Sekarang waktunya untuk membalas dendam atas perbuatanmu tadi.”
“ A-apa katamu? Kau sudah gila, ya!”
Masih dalam keadaan menunduk, aku pun mengambil pisau lipat yang sedari tadi digenggamnya, dan menyebabkan sedikit goresan terbuat di tangan kami. Kutegakkan kepalaku perlahan untuk memandangnya. Ia membalas pandanganku. Walaupun hujan telah turun, dapat kulihat jelas ekspresi takut dari wajahnya.
“ K-kau... M-matamu.. Matamu berwarna merah!”
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Apa katanya barusan? Mataku berwarna merah? Entahlah, aku tidak dapat melihatnya. Apa peduliku sekarang dengan warna mataku? Yang kupedulikan sekarang ini hanyalah menuruti keinginanku––yaitu, membunuhmu sekarang juga.
Aku tertawa melihatnya bergetar dalam genggamanku. Dengan cepat kulayangkan pisau lipat tepat ke lehernya. Ia berteriak––bahkan kedua anak buahnya mengikutinya dari belakang. Aku tidak peduli dengan tangisan buaya mereka. Sekarang aku senang, sedikit lagi pisau itu akan tepat menancap pada  lehernya.
“ Kaaak! Kaaak! Kaaak! Kaaak!”
Suara burung gagak menghentikan gerakanku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak sekarang. Matt yang masih berada dalam genggamanku, memberontak dan berlari menjauh bersama anak buahnya. Hujan pun turun semakin deras. Aku masih duduk berlutut di tanah, sedangkan Edward tetap terbaring tidak berdaya.
Kulihat seekor burung gagak terbang dan mendarat tepat di depanku. Tak kusangka, aku bisa bertemu dengan gagak bermata merah untuk kedua kalinya. Ia melangkah maju––berusaha mendekatiku. Aku terdiam, sorot matanya sangat tajam saat memperhatikanku. Ia kepakkan sayapnya serta dikeluarkan suaranya kembali. Entah kenapa semakin lama angin berhembus dengan sangat kencang seraya mengikuti kepakannya. Aku merinding ketakutan, gagak itu sangat menyeramkan. Ia seperti bernyanyi––namun, tidak sama sekali.
“ Aku akan selalu mengikutimu, Ron.”
Apa? Suara siapa itu? Seperti suara seorang wanita––namun, darimana asalnya suara itu? Pandanganku terus mencari ke asal suara wanita yang membisikkanku. Akan tetapi, aku tidak dapat menemukannya. Yang ada dihadapanku sekarang ini hanyalah seekor gagak. Ia terus mengepakkan sayapnya––mungkin berusaha mengambil alih perhatianku. Aku memperhatikannya, tapi lama kelamaan kurasakan energiku tersedot olehnya. Sakit dan lelah rasanya,  tanpa perintah apapun, aku terjatuh––terbaring tepat di depannya.

03 Juli 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 2/Part 2)

Hari pun berganti, setiap paginya Bibi Rosetta menyiapkan sebuah sandwich dan segelas susu coklat untukku. Aku turun dari tangga dan tanpa sengaja menguap dengan lebar. Bibi Rosetta yang sedari tadi memandangku––mendengus kesal.
“ Ron, bibi sudah sering menasihatimu untuk tutup mulut jika menguap.”
“ Ya, maaf. Aku lupa.” jawabku singkat, dan jelas. Aku pun duduk di kursi dan mengambil sepiring sandwich yang sudah disediakan olehnya di atas meja makan. Sandwich buatannya sangat enak, tidak kalah dengan sandwich yang biasa kumakan saat sarapan di kantin sekolah. Rasanya lezat dan dagingnya gurih. Setelah memakannya, tak lupa kuminum segelas susu coklat dan langsung bergegas pergi menuju sekolah. Seperti biasa, Bibi Rosetta memberi sedikit uang untuk bekalku nanti. Setelah berpamitan, aku pun keluar dari rumah.
“ Selamat pagi, Ron!”
“ Pagi.”
Aria, gadis yang kukunjungi kemarin––menyapaku dengan ramah. Ia mendekatiku sembari menjijnjing tas tangannya. Aku hanya diam, mencoba membersihkan debu dari sepeda lamaku dan kemudian mendorongnya pelan. Semakin lama, ia semakin mendekatiku. Aku terus berjalan––tidak mempedulikannya, namun gadis itu tetap saja mengejarku dan menyajarkan langkahnya dengan langkahku.
“ Ke sekolah kau menggunakan sepeda, ya? Kenapa tidak menggunakan mobil?”
“ Bibi tidak mengizinkanku untuk mengendarai mobilnya.”
“ Oh, tapi kau bisa, kan?”
“ Ya, begitulah.”
Di sepanjang jalan, kami terdiam––hanya terdengar suara kicauan para burung, langkah kaki dan suara sepeda yang kudorong saat ini. Ia menundukkan kepalanya. Entah apa yang dipikarkannya sekarang. Apa dia masih takut denganku? Kurasa itu mustahil. Jika dia takut denganku, tidak akan mungkin dia menyapaku dan berjalan bersamaku seperti sekarang. Kuperhatikan sedikit dirinya dari samping, terlihat jelas wajahnya yang memerah.
“ Apa kau demam?”
“ Eh! Tidak, kok. Apa aku terlihat seperti orang sakit?”
“ Entahlah.”
Kami pun kembali terdiam. Sunyi dan hening. Jarang sekali kendaraan yang berlalu lalang melewati jalan ini. Wajar saja, daerah ini sedikit terpencil dan masih banyak terdapat hutan pinus atau apalah, aku juga tidak terlalu mengetahui namanya. Daerah ini sangat rawan, dan jarang sekali ada penduduknya. Saking sedikitnya, tetangga di sebelah rumahku hanya satu yaitu, Aria. Sebenarnya dari nama daerah ini sudah dapat ditebak kondisinya––‘Peaceful Town’ itulah namanya.
Tak lama, aku pun gerah dengan situasi seperti ini. “ Seperti berjalan di kuburan saja,” batinku dalam hati. Aku memang orang yang irit dalam berbicara––itu memang benar, namun, jika jalan berbarengan dengan seseorang dan orang itu tidak mau membuka pembicaraannya––aku sama sekali tidak suka. Kemudian, aku pun menduduki jok sepeda dan perlahan mengengkolnya.
“ Kau mau ke sekolah juga, kan?”
“ Tidak, Ron. Aku mau pergi ke tempat kerja.”
“ Memangnya kau tidak sekolah?”
“ Aku sudah berhenti sekolah sejak dua bulan yang lalu.”
“ Oh, begitu.”
Aku sedikit terkejut setelah mendengar pernyataannya. Walaupun begitu, aku berusaha untuk tenang dan tetap memasang tampang datar. Tanpa banyak basa-basi lagi, aku pun berpamitan padanya, pergi meninggalkannya dan mengendarai sepeda lamaku. Sungguh tidak berperasaannya aku ini, meninggalkan gadis kenalanku sendirian di jalan. Kurasa itu bukan apa-apa, karena ini masih pagi.
Tanpa kau sadari, seseorang terus mengikuti gerak-gerikmu dari belakang.

****

“ Maukah kau mencicipi pasta buatanku, Ron?”
“ Tidak, terima kasih. Dilihat dari luar, pasti rasanya hambar.”
Edward––satu-satunya sahabat baikku di sekolah, menjitakku dengan sangat tidak berperasaan. Setelah puas melakukannya, dia mengomel, berceloteh bahkan bereaksi berlebihan di hadapanku. Sungguh tidak tahu malu, apa dia tidak sadar bahwa sekarang ini kita sedang berada di tengah kantin, dan itu membuat diri kita menjadi pusat perhatian siswa-siswi di sini. Kadang aku merasa kesal dengan celotehannya. Akibatnya, aku tidak dapat berkonsentrasi dengan novel misteri yang sedang kubaca.
“ Apa sih maunya dia? Hal kecil saja jadi masalah,” pikirku dalam hati. Sudah tiga menit lebih dia berceloteh––sama saja seperti menghabiskan satu buah lagu. Ingin rasanya kugunting telinga ini, namun Tuhan sama sekali tidak mengizinkanku untuk merusak segala sesuatu yang telah dititipkan-Nya kepadaku. Akhirnya, aku hanya bisa mendengus kesal. Kututup novel ini rapat-rapat dan melemparnya ke atas meja. Senang sekali rasanya, ia sukses kubuat diam dan  tenang.
“ Sudah tenang? Aku jadi tidak konsentrasi membaca tau.”
“ Oh, begitu? Maaf banget, ya!” jawabnya ketus. “Memangnya kau sedang baca novel apaan sih? Novel misteri melulu, apa nggak takut?”
 “ Nggak. Buat apa takut? Aku kan hanya membaca fiksi. Cuman khayalan pengarang saja.”
“ Huh! Aku sama sekali tidak suka novel. Kurasa komik lebih baik dibandingkan novel. Cerita apa yang barusan kau baca?”
“ Drakula, Sang Vampir Legendaris.”
“ Apa!” teriaknya keras di samping telingaku. Kurasakan telingaku sedikit berdengung akibat teriakan dahsyat maha karyanya itu. “ Cerita itu kan sudah kuno sekali. Masa’ kau baru membacanya? Kau ketinggalan zaman juga rupanya.”
“ Kurasa iya. Awalnya aku sama sekali tidak tertarik dengan ceritanya. Tapi, lama kelamaan aku penasaran dan akhirnya tertarik untuk membacanya.”
“ Lalu, apa pendapatmu tentang ceritanya itu?”
“ Ya, lumayan bagus. Seram juga rasanya jika di dekat kita ada vampir atau orang yang kehausan akan darah. Ia juga membunuh korbannya tanpa perasaan. Kulitnya pucat, berjubah hitam bahkan matanya yang berwarna... Merah?”
Tiba-tiba saja, aku teringat akan sosok burung gagak bermata merah yang  kutemui tadi malam. Ia juga berwarna hitam dan memiliki aura yang sangat menyeramkan––sama seperti sosok drakula yang diceritakan dalam novel tersebut. Aku dapat merasakan aura sang gagak melalui sorot matanya. Tanpa ada perintah, keringat dingin keluar melalui pelipisku dan mataku pun ikut membulat. Entah kenapa, hatiku berkata bahwa saat ini aku merasa takut.
“ Oy, kau kenapa? Kok, jadi melamun.”
“ Ah, tidak apa-apa. Aku jadi teringat sesuatu saja. Oh ya, apa kau pernah bertemu dengan gagak bermata merah?”
“ Mata merah? Aku tidak pernah melihatnya. Yang sering kulihat hanyalah bermata hitam. Itu kan hanya ada di fiksi saja. Memangnya kenapa?”
“ Tidak apa. Aku juga baru mengetahuinya dari fiksi.”