DECEMBER 26TH
P
R O L
O G U E
Di
hutan ini, hanya ada satu rumah megah bergaya kuno. Pondasinya yang kokoh
dengan tembok berlapis bata tebal. Halamannya yang luas berhiaskan beberapa kolam
ikan dengan pancuran airnya. Di tempat inilah, aku tinggal bersama keluargaku
dan beberapa pelayan lainnya. Hari ini, tepatnya tanggal 26 Desember adalah
hari dimana umurku bertambah setahun. Mengetahui bertambahnya umurku yang ke
dua belas tahun, aku berharap bisa mendapatkan hadiah istimewa dari kedua orang
tuaku.
Kurebahkan
tubuhku di atas kasur empuk sambil mengamati jam dinding yang menunjukkan pukul
dua belas siang. Aku menghela nafas, sedari tadi terus memikirkan kedua orang
tua yang tak kunjung datang menemuiku. Apakah mereka sibuk? Mungkin. Kuputuskan
untuk tidur sejenak demi menunggu kedatangan mereka. Aku begitu merindukan
pelukan mereka. Sudah empat hari mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Hanya pelayan-pelayan itu yang peduli padaku. Hanya pelayan-pelayan itu yang mau
mendekat padaku. Terkadang bibi Rosetta mengajakku bercanda.
Mereka berbeda dengan orang tuaku. Apakah mereka lupa dengan hari ulang
tahunku? Atau mereka sengaja melupakannya? Atau mereka tidak peduli lagi kepada
anaknya? Aku hanya bisa diam.
Kudengar
derap langkah kaki seseorang dari luar kamar. Ia mengetuk pintu kamar ini dan
membuatku terbangun dari tempat tidur. Langkah kaki ini terasa berat––sangat
malas untuk membuka pintu yang berjarak lima meter dari tempat tidur. Kudorong
gagangnya kebawah dan mendapati seseorang dari balik pintu.
“Ibu?”
“Selamat
ulang tahun anakku.” Ibu membungkuk dan memelukku erat. Sudah lama tidak kurasakan
hangat pelukannya. Aku membalasnya, menghirup aroma tubuhnya, bahkan mengelus
rambut hitamnya yang panjang.
“Terima
kasih. Aku sangat merindukanmu, ibu. Aku juga sangat merindukan ayah. Sudah
lama tidak kurasakan hangatnya pelukanmu. Kau tahu? Di musim dingin ini, aku
terus merasakan kedinginan. Hanya pelayan-pelayan dan bibi yang terus
menemaniku, sedangkan kalian––”
“Maafkan
aku, Ron. Urusanku memang belum selesai, tapi aku menyempatkan diri untuk
menemuimu hari ini. Badanmu dingin dan sedikit kurus. Bibirmu juga pucat.”
Digenggamnya tangan kananku dan kemudian disentuhnya kedua pipiku.
“Dimana
ayah?”
“Ayahmu––sedang
ada urusan. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Sebelum pergi, kenakanlah sweater agar tidak kedinginan.”
****
“Kita
mau kemana, ibu? Kenapa harus ke lantai tiga? Bagaimana kalau yang lain mencari
kita?”
“Tenanglah,
Ron. Mereka tahu kalau aku mengajakmu ke sini. Ayahmu juga sudah kuberitahu. Kamu
selalu saja berdiam di kamar. Di luar sedang hujan salju, dan ibu tidak mungkin
membawamu keluar rumah. Kau tampak pucat.”
Aku
hanya diam menggenggam tangannya. Sebenarnya tidak hanya aku yang terlihat
seperti ini––ibu, engkau juga
mengalami hal yang sama denganku. Mukamu pucat, tampangmu terlihat tidak terlalu
bahagia, dan kedua matamu bengkak. Apa tadi kau menangis? Hanya pertanyaan itu
yang ada di otakku. Aku tidak berani menanyakannya karena aku tahu persis jika ia
menjawabnya, ia pasti akan mengatakan tidak apa. Ia pasti berbohong agar aku
tidak mengkhawatirkannya.
Kemudian
kami terdiam di depan pintu yang sangat besar. Jujur, baru kali ini aku datang
ke tempat ini. Biasanya ia melarangku untuk bermain di lantai tiga. Ia
mengatakan kalau di lantai tiga banyak ruangan yang tidak terpakai. Mayoritas
pelayan bekerja di lantai satu dan lantai dua. Hanya beberapa pelayan tua yang
bekerja membersihkan tempat ini. Pintu besar itu kemudian dibukanya, menampakkan
ruangan kosong dengan ukuran panjang dan lebarnya berkisar antara lima meter.
Yang dimiliki ruangan ini hanyalah satu jendela dan tiga ventilasi.
“Kenapa
ibu membukanya? Ruangan ini begitu menyeramkan. Tidak ada siapa-siapa di sini.
Rasanya sangat dingin karena tidak ada penghangat di ruangan ini.”
Ibu
menepuk kedua bahuku. Ia sedikit membungkuk dan tersenyum. “Aku sangat
menyukaimu, Ron. Kau memiliki warna hitam pada rambut dan matamu sepertiku,
hidungmu yang mancung, juga warna kulitmu yang cerah,
semua itu anugrah terindah dari Tuhan yang Dia berikan kepada kami. Aku
sangat bersyukur bisa melahirkanmu. Kau tampan dan pintar seperti ayahmu. Kami
berdua sangat ingin melindungimu.”
“Ibu––”
“Aku ingin kau bahagia kelak, kau bisa lebih mandiri
tanpa ketergantungan sama yang lain––bahkan dengan ayah dan ibu, kau bisa
menjadi seorang yang lebih hebat dari sekarang. Aku juga ingin kau bisa
menemukan seorang wanita yang lebih baik dariku suatu saat nanti. Terakhir, kau
harus berani melawan ketakutan yang ada pada dirimu. Jika kau tidak bisa, kau
tidak akan bisa terlepas dari rasa takutmu itu.”
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Maafkan aku, Ron.”
Perasaanku tidak tenang. Aku takut akan perkataannya yang
seakan-akan dalam waktu yang singkat kita tidak akan bersama. Dirinya tetap
tersenyum memandangku walau hal itu sangat kontras dengan tatapannya. Tatapan
sendu dengan sepasang matanya yang bengkak. Aku memegang kedua pipinya––kering
dan dingin bagaikan es. Aku berusaha tersenyum padanya, namun entah kenapa hal
ini membuatku merasa sedih. Aku ingin menangis dan memeluknya, namun, ia
menegakkan posisi berdirinya, tetap menyentuh kedua bahuku, dan tiba-tiba
mendorongku ke dalam ruangan itu. Keseimbanganku tak terjaga dan membuatku
harus terjatuh ke dalamnya.
Aku merintih akibat merasakan rasa sakit pada lutut yang
bergesekan dengan lantai ruangan. Beberapa goresan kecil dapat kulihat dan
darah yang mengalir keluar dari asalnya. Mataku melebar, terkejut melihat semua
ini. Pintu itu sudah terkunci rapat oleh ibu dan aku terkurung di dalamnya. Aku
berdiri, berlari menuju pintu, dan berteriak memanggil namanya, namun––tidak
ada respon darinya. Berulang kali hal itu kulakukan, tapi hasilnya tetap sama.
Aku terus mendorong pintu itu hingga membuat seluruh tubuh ini lemas.
Kusandarkan diriku pada pintu sambil memeluk erat
tubuhku. Begitu dingin hingga kepulan asap keluar di saat aku menghembuskan
nafas. Aku hanya bisa terduduk memandang keluar jendela. Butiran-butiran salju
yang menumpuk pada tepiannya, dan sebuah pohon besar dengan sebagian ranting
yang menyentuh kacanya yang kusam. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku hingga
terhenti di depan jendela. Kudorong gagangnya yang berkarat hingga menimbulkan
suara gesekan yang dapat membuat gigi ini ngilu. Perlahan jendela itu terbuka
dan terlihat jelas pemandangan yang menakjubkan––ratusan pohon pinus dengan
daratan yang tertutupi oleh lautan salju. Semuanya putih dan menyejukkan.
Gerakan tanganku tanpa sadar menekan pada cabang batang pohon. Cabang yang
begitu besar hingga dapat menyentuh ujung jendela ini.
“Mungkin, aku bisa keluar dengan merayap pada cabang
batang pohon ini.”
Kugenggam cabang itu erat dengan sedikit rasa takut akan
jatuh dari ketinggian yang berjarak belasan meter ke bawah. Kukulum bibirku
dalam, terus memandang ke arah depan tanpa harus melihat apa yang ada di bawah.
Dinginnya batang ini dapat kurasakan pada tubuhku yang merayap di atasnya.
Tanpa kusadari, bagian cabangnya yang licin membuatku harus terjatuh ke bawah pada
tumpukan salju. Aku berteriak, rasanya begitu sakit dimana kudapati memar pada
pergelangan kaki kiriku. Jika hari ini tidak bersalju, mungkin aku akan mati di
tempat ini sekarang.
Dapat kurasakan hawa buruk perlahan memasuki daerah ini.
Mataku melebar, hanya dalam beberapa detik dapat kulihat sekelompok orang akan
datang ke rumah ini––semuanya muncul dalam pikiranku––sama seperti dalam mimpi
burukku. Tidak terlalu jelas namun empati mereka begitu kuat menusuk kepalaku.
Aku tidak bisa lama berdiam di sini, ingin rasanya berbalik namun––mungkin itu
bukanlah solusi yang baik bagiku. Bagaimana dengan ayah dan ibu yang ada di
rumah ini? Bagaimana dengan bibi Rosetta? Bagaimana dengan yang lainnya? Jika
mereka terus berada dalam bangunan megah ini, kemungkinan besar mereka akan
mendapat ancaman dari sekelompok orang itu. Apa harus kuberitahu terlebih dulu
agar mereka semua kabur dari tempat ini?
“...Aku harus kabur dari tempat ini.”
Inilah pilihanku, kutinggalkan mereka semua di bangunan megah
ini. Aku berlari walau sedikit merasakan rasa sakit yang ada pada pergelangan
kaki dan lututku. Sweater yang
kukenakan tak mampu melawan dinginnya suasana ini. Sekujur tubuhku dingin,
terutama pada kakiku yang hanya beralaskan pada sepatu tipis. Aku terus berlari
hingga menemukan jejak kaki dengan bercak darah pada tumpukan salju.
“Astaga. darah siapa ini? Jejak kaki ini––ukurannya
hampir sama dengan kakiku. Apa ada anak yang masuk ke hutan ini lebih dalam?
Apa aku harus ikut ke dalam untuk mengetahui siapa si pemilik jejak ini? Tapi, jika
bertemu dengan binatang buas?”
Aku terus bertanya dalam pikiranku. Rasa penasaran yang
berlawanan dengan rasa takut, sangat sulit untuk menentukan jawaban yang harus
kulalui saat ini. Empati mereka semakin kuat, sangat dekat dan terus menusuk kepalaku.
Kupegang sisi samping kepala, kupejamkan sepasang mata––mencoba menghilangkan
rasa takut yang ada pada pikiran. Aku menggeleng dan kembali membuka kedua mata.
Dengan rasa penasaran yang memuncak, aku terus mengikuti jejak ini sampai akhir.
Berjalan sambil memeluk erat tubuhku yang menggigil hingga kutemukan sosok si
pemilik jejak.
Seorang anak perempuan terbaring di tumpukan salju.
Kulitnya memucat akibat rasa dingin yang dideritanya. Aku menunduk, menyentuh
tangannya yang dingin, sedikit menyibak poni yang menutup sepasang matanya yang
terpejam. Gadis ini terlihat sebaya denganku. Kubenarkan posisi tidurnya hingga
tanpa sengaja bagian perut yang kusentuh mengeluarkan cairan merah. Darah––begitu
banyak mengalir. Mataku melebar, kulihat bekas tusukan benda tajam menembus perut.
Tanganku penuh oleh cairan itu, merah dengan bau anyir menusuk hidung.
Kulepaskan sweaterku untuk
menghentikan pendarahan dari tubuhnya. Panik, mataku berkeliling untuk mencari
siapa pun di sekitar sini, tapi hasilnya nihil.
Apa yang harus kulakukan? Empati mereka yang kuat dengan
jarak yang begitu menyempit. Kegelisahanku tak menentu––takut akan kondisi
seperti ini. Aku hanya bisa terdiam di antara lautan darah yang dingin. Kucoba
menahan rasa dingin dengan memeluk gadis ini. Bibirku bergetar, kepulan asap
semakin menebal ketika aku menghembuskan nafas. Kepalaku terasa berat dan dapat
kurasakan sesuatu yang berdiri tak jauh dari belakangku. Aku takut untuk
menoleh, namun rasa penasaran tak dapat kukalahkan––hingga akhirnya membuatku
mengetahui siapa yang ada di belakangku. Serigala hitam.
Mata merahnya memandangku, bagaikan sebuah tarikan yang
membuatku tak terlepas untuk melihat tatapannya. Aku bergetar, rasa dingin dan
rasa takut bercampur menjadi satu. Besar badan yang dimilikinya melebihi
serigala normal. Jantungku berdetak hebat––membuatku mengeratkan pelukan pada
gadis ini. Gerakan kakinya yang terus mendekatiku, membuatku seakan terancam.
Tetes demi tetes saliva keluar dari sela-sela taring yang dipamerkannya. Aku
diam, tetap tidak menghindar hingga tiba saatnya ia menerkamku secara liar.
Betapa hebat sakit yang kurasakan pada lengan kananku.
Aku menjerit dan memberontak. Taringnya tajam merobek kulit hingga menembus
daging. Aku tak dapat menahan derai air mata yang terus mengalir keluar. Begitu
juga dengan darah yang mencuat keluar dari pembuluhnya. Rambut hitamnya,
badannya, dan juga yang ada padaku, semuanya bermandikan oleh darah. Aku terus
menjerit, terkadang kuayunkan kedua kakiku menuju perutnya, namun, serigala ini
semakin menekan badanku dalam tumpukan salju. Dingin––inilah rasa yang
kurasakan pada bagian belakang badanku. Panas––inilah rasa yang kurasakan
ketika beberapa taring yang ia tancapkan pada lengan kananku. Aku menoleh,
melihat anak perempuan yang akhirnya terbaring tak jauh dariku. Apakah tadi dia
dimakan oleh serigala ini? Ataukah ada hal lain yang menimpa dirinya? Air
mataku terus mengalir melihatnya. Aku ingin terbebas dari binatang buas ini.
Aku tidak mau mati secepat ini, apalagi dalam kondisi seperti ini. Aku ingin
binatang ini merasakan penderitaan yang kurasakan sekarang. Semuanya harus
kuselesaikan, sebelum sekelompok orang itu menemukanku.
Emosi yang kian memuncak membuat tangan kiriku
mencengkram lengan serigala ini. Kukerahkan sisa tenagaku walau rasa sakit
terus membanjiiri. Aku mencoba berteriak dan––
“MATI KAU SERIGALA!”––hanya kata-kata itu yang bisa
kukeluarkan dari mulutku. Tanpa kusadari, perkataan tadi membuat serigala itu
terdiam––masih dalam menekanku. Perlahan reaksinya berubah, tubuhnya bergetar
dan ia pun memundurkan langkahnya. Aku terduduk, sambil memegang tangan kananku
yang terluka. Serigala itu mengaum dan dapat kulihat tetesan air mata yang keluar
dari sepasang mata merahnya. Tubuhnya bergetar hebat dan akhirnya menampakkan
sesuatu yang tidak ingin kulihat. Badannya pecah, membuat darah terpancur dari
segala sisi tubuhnya.
Kenapa bisa seperti ini? Padahal aku sama sekali tidak
melakukan apa pun. Aku hanya berteriak dan aku sama sekali tidak membunuhnya.
Serigala itu tewas di depanku dalam keadaan tak wajar. Ini semakin membuatku
takut, rasanya ingin menangis di tempat ini.
“Ibu, ayah, bibi Rosetta, dan yang lainnya, kenapa kalian
meninggalkanku sendiri? Aku takut. Aku ingin kembali ke rumah, tapi––”
“Itu dia anaknya! Dia seorang pembunuh!”
“Tangkap dia!”
“Bunuh anak itu! Anak sial!”
Suara itu––sekelompok orang telah datang dan mengatakanku––pembunuh?
Sial? Apa maksudmu? Aku sama sekali bukan pembunuh. Aku tidak membunuh anak
perempuan itu, apalagi serigala yang datang menerkamku. Sekelompok orang yang menyeramkan
dengan perbekalan senjata yang ada di setiap tangannya. Mereka berlari ke
tempat dimana aku masih terduduk. Aku tak dapat berlari dengan kaki yang seakan
mati dan badan yang tidak mau berpindah ke lain tempat. Jarak semakin menyempit
dan membuat jantungku berdetak tak menentu. Leherku seakan tercekik––sangat
susah utnuk mengucapkan sepatah kata pun.
“I-ibu..t-to-tolong...a-aku....MATI KALIAN SEMUA! AKU
BENCI SEMUANYA!”
Bagai sebuah mantra yang terucap keluar membuat daratan
salju ini bergetar. Tanah yang retak dan kemudian membelah, membuat satu
persatu di antara mereka jatuh ke dalamnya. Aku tetap menunduk sambil memegang
sisi samping kepala. Menangis dalam jertian demi menahan rasa sakit yang
kuderita. Kuatnya angin yang begitu menggelitik tubuh, tak mampu melawan panas
tubuh akibat emosi yang sudah melampaui batas. Terkadang kulihat mereka, satu
persatu tewas bermandikan darah. Mereka semua mati di depanku. Sungguh, pemandangan
yang sebenarnya tak ingin kulihat.
Tak butuh waktu lama, getaran itu perlahan menghilang di
tempat ini. Tempat ini telah menjadi lautan salju yang di dominasi oleh cairan
berwarna merah. Tak jauh dari tempatku duduk, dapat kulihat seorang wanita dengan
baju terusan biru berjalan ke arahku. Wanita dengan rambut pirang sebahu, ia, bibi
Rosetta, menutup mulutnya melihat keadaan di sekelilingku.
“Ron! Akhirnya aku menemukanmu.”
“Bibi? Kenapa kau bisa di sini? Kau tidak ma––”
“Aku melarikan diri dari rumah, namun di saat aku
memasuki hutan ini tiba-tiba saja gempa datang. Ini sangat aneh, aku terus
berlari dan aku sangat senang bisa melihatmu disini.”
“Bibi, syukurlah kau––” tanpa sadar, tubuhku terasa berat
dan membuatku terjatuh.
“Ron!”
Untunglah aku tidak sendiri di sini.
****