30 Juni 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 2/Part 1)

CHAPTER 2
-The Crow-

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Sang senja telah berganti dengan sang malam. Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah timur ke arah barat. Hujan turun dengan sangat deras tanpa kenal lelah. Alangkah sejuknya suasana malam ini membuat perasaan tentram nan damai. Walau begitu, malam akan terasa sepi tanpa adanya cahaya dari sang rembulan.
Aku masih berkutat pada novel misteri yang sudah kubaca sejak setengah jam yang lalu. Novel misteri merupakan buku favoritku. Aku sama sekali tidak suka dengan love story atau  hal-hal yang berbau romantis. Mungkin gara-gara sifatku inilah, banyak orang mengataiku sebagai orang yang tidak romantis dan tidak bisa memahami perasaan seorang wanita––bahkan Bibi Rosetta juga mengataiku seperti itu. Dua minggu yang lalu ada seorang gadis yang––mungkin memang satu sekolah denganku, menyatakan pernyataan cintanya secara terang-terangan di depan kelas kepadaku. Namun, aku menolaknya dan hanya menatap angkuh padanya. Sungguh tidak berperasaannya diriku ini. Alhasil, gadis itu menangis di depanku dan berlari menjauh. Sungguh, itu hal yang sangat konyol bagiku.
Pendiam, angkuh, tidak mau memperdulikan orang yang diajak bicara,  terlalu dingin, dan tidak mau mengerti perasaan orang di sekitarnya––itu semua pendapat orang-orang mengenai diriku. Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan mereka semua, yang penting aku mencintai diriku yang sekarang ini. “ Jadilah dan cintailah dirimu sendiri” itulah motto hidupku.
Kusudahi saja kegiatanku, menutup novel yang sedari tadi kubaca dan menaruhnya di atas meja. Merasa sedikit mengantuk, aku pun merebahkan diri di atas sofa ruang keluarga. Kulihat Bibi Rosetta yang tiada henti-hentinya menelpon rekan kerjanya di ruang makan. Aku lelah di rumah, ingin sekali berjalan ke luar, namun cuaca malam ini sangat tidak bersahabat.
Satu jam pun berlalu, kubuka kedua mataku ini dan perlahan aku pun terduduk di sofa. Aku terbangun akibat suara kicauan para burung yang berasal dari luar rumah. Kesal sekali rasanya karena mereka telah membangunkanku dari mimpi indahku.
“ Ron, syukurlah kau sudah bangun. Bisakah kau mengecek ke luar.”
“ Kenapa? Apa bibi takut dengan suara burung?”
“ Bukan, siapa tahu burung itu kelaparan atau ada kenapa-kenapa. Mungkin kalau kelaparan, kita kan bisa memberikannya sedikit makanan.”
Setelah menyuruhku, Bibi Rosetta pergi menuju dapur. Aku diam, dan tak lama kuregangkan kedua tanganku ini. Setelah merasa tenang, aku pun beranjak pergi menuju pintu ruang tamu dan mendorong pintu tersebut perlahan.
“ Untunglah hujan sudah reda.” kataku dalam hati.
Kutelusuri teras kecil depan rumah. Sedikit menggigil dan geli karena angin sepoi-sepoi berhembus mengenai leherku. Kueratkan jaket hitamku dan kuturuni tiga buah anak tangga menuju taman depan rumah. Kutemukan segerombolan gagak hitam sedang memperebutkan makanannya di depan rumahku. Pandanganku tetap datar, namun sedikit terkesima saat memandangi kumpulan gagak tersebut. Anehnya, hanya satu ekor gagak saja yang tidak ikut  memperebutkan makanannya. Ia terdiam, kedua matanya pun tertutup.
“ Kenapa kau tidak berkumpul dengan kawan-kawanmu?” tanyaku pada burung gagak itu. Seperti orang bodoh saja berbicara dengan hewan. Aku pun mendekat, mencoba untuk menangkapnya. Aku berhasil mengambil gagak tersebut dan menggenggamnya dengan kedua tanganku. “ Lucu sekali burung gagak ini,” pikirku dalam hati. Ia sama sekali tidak berkutik dihadapanku. Namun anehnya, matanya tetap tertutup seakan-akan tertidur. Aku suka dengan warna hitam pada bulunya. Warna hitam adalah warna favoritku. Kubelai lembut bulu yang ada pada sayapnya serta kukecup lembut pada kening burung gagak tersebut.
Kutatap lekat-lekat burung gagak itu, dan tak lama kemudian matanya perlahan-lahan terbuka. Aku sedikit gembira, akhirnya ia mau membuka matanya juga––namun, refleks aku melepaskannya dari genggamanku.
Ini bukanlah halusinasi semata. Matanya berwarna merah. Ia  berbeda dari burung gagak lainnya. Sangat menyeramkan. Matanya seperti ingin menghipnotisku. Tatapannya yang tajam seakan-akan menyedotku masuk ke dalam dunianya.
Sedikit merasa ketakutan, aku pun memundurkan diriku beberapa langkah. Ia tetap diam, namun suara yang dikeluarkannya membuat telingaku berdengung. Ia terus memandangku, tatapannya tajam seakan-akan menusukku. Tidak tahan dengan semua ini, aku pun berlari memasuki rumah. Kututup pintu ruang tamu rapat-rapat dan menguncinya. Akhirnya aku hanya bisa terduduk diam di depan pintu. Kurasa ini agak berlebihan, tapi entah kenapa pernafasanku sama sekali tidak teratur. Kenapa hanya dengan burung gagak itu aku merasa ketakutan? Apakah karena aku terlalu banyak membaca novel misteri?

****

DECEMBER 26TH (Chapter 1/Part 2)

“ Hari ini aku akan membuat salad spesial kesukaanmu.”
“ Benarkah? Untuk apa?”
“ Aku ingin merayakan kepulanganmu dari rumah sakit.”
Aku gembira mendengarnya. Salad adalah makanan kesukaanku. Awalnya aku bukanlah seorang vegetarian, namun Bibi Rosetta selalu membujukku untuk memakan sayuran. Ia senang sekali dengan sayuran. Mungkin karena itulah mukanya selalu terlihat cerah dan berseri. Waktu kecil aku sering sekali dibujuknya untuk memakan sayuran, tapi aku selalu menolaknya. Pada akhirnya, dia hanya bisa membuatkanku semangkuk salad. Aku terus dipaksa untuk memakannya hingga aku pasrah dibuatnya. Aku pun memakannya dan ternyata rasanya sangat enak dan segar.
Lamunanku buyar setelah Bibi Rosetta melambaikan tangan kanannya tepat di depan mukaku. Ia mengambil sesuatu dari saku roknya dan memberikannya kepadaku.
“ Tolong berikan ini ke tetangga sebelah kita.” katanya setelah memberikan dua buah uang kertas padaku.
“ Tetangga sebelah mana?” tanyaku kebingungan.
“ Disini tetangga kita cuma satu. Berikan uang ini padanya dan jangan lupa perkenalkan dirimu terlebih dahulu, dan bilang saja kalau kau ingin mengambil pesanan dariku.”
Aku melangkah menuju pintu ruang tamu dan keluar dari rumah. Kulihat ke arah kanan, tampaklah sebuah rumah bergaya Eropa yang modelnya hampir mirip dengan model rumah baruku ini. Kuberjalan dengan agak gontai, merasakan sedikit rasa sakit akibat kecelakaan yang menimpaku beberapa hari yang lalu. Kupandangi sebentar langit di atas sana, tampak mendung dan entah kenapa matahari menyembunyikan dirinya saat ini. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan yang sangat deras.
“ Tok! Tok! Tok!”
“ Iya, tunggu sebentar.”
Akibat dari ketukan pintu yang kubuat, muncullah suara lembut seorang wanita yang berasal dari rumah kunjunganku ini. Suara langkah kakinya dapat kudengar dari luar. Mendekat, mendekat, dan terasa semakin mendekat. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, kulihat knop pintunya berputar dan pintu tersebut pun terbuka. Menampakkan sosok seorang gadis yang tampaknya––mungkin lebih muda dariku.
“Ah!” ia terkejut setelah melihatku. Ia pun refleks memundurkan langkahnya beberapa langkah. Aneh sekali rasanya, Padahal aku sama sekali tidak berniat untuk mengejutkannya. Aku tetap bertahan, mencoba untuk tetap tenang dan sedikit tersenyum agar gadis ini bisa berpikir positif terhadapku. Kulihat  rambutnya berwarna coklat, lurus dan panjangnya sebahu. Matanya berwarna hijau dan tinggi badannya hanya sebahuku. Kulitnya putih dan badannya kurus.
“ Maaf, Anda siapa?” tanyanya takut-takut kepadaku.
“ Namaku, Ron. Keponakan dari Rosetta Digby. Aku ke sini hanya ingin mengambil pesanannya.”
“ Oh, iya tunggu sebentar. Ron, masuklah dulu ke dalam.”
“ Tidak, terima kasih. Aku tunggu di luar saja.”
Gerakannya sangat terburu-buru. Ia berjalan menuju lemari yang berada di ruang tamu. Dari luar kulihat ia sedang memilah-milah botol yang entah apa itu isinya––aku sama sekali tidak tahu. Setelah menemukannya, ditutupnya kembali pintu lemari tersebut rapat-rapat dan langsung berlari kecil menuju dimana aku berdiri sekarang. Ia pun memberikan sebuah botol kepadaku yang ternyata isinya adalah mayonaise.
“ Aku kerja part time di sebuah supermarket. Kemarin Nyonya Rosetta ingin dititipkan satu botol mayonaise dari tempat kerjaku.” katanya sambil berusaha tersenyum kepadaku. Tampaknya ia masih sedikit takut untuk memandangku.
“ Maaf telah merepotkanmu.” aku menerima botol tersebut darinya, dan merogoh saku celana untuk mengambil dua buah uang kertas yang diberikan bibi tadi. “ Ambillah ini.”
“ Ah, tidak usah. Aku memberikan ini secara sukarela.”
“ Jangan-...”
“ Tidak apa-apa, kok. Ambillah. Anggap saja ini sebagai hadiah untukmu  dariku karena kau sudah pulang dari rumah sakit. Lagipula kudengar kau menyukai  salad, jadi mayonaisse ini gratis untukmu, Ron.” tolaknya secara halus. Sudah kuduga, ternyata Bibi Rosetta telah bercerita banyak tentang diriku padanya. Aku hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Lama-kelamaan kuperhatikan akhirnya dia mau juga tersenyum kepadaku.
“ Terima kasih. Ng, Siapa namamu?” tanyaku pelan.
“ Aku Aria, umurku enam belas tahun. Maaf, tadi aku lupa memperkenalkan diri terlebih dahulu.”
“ Tidak apa. Lalu, kenapa tadi kau terkejut? Apa kau takut padaku?”
“ B-bukan! I-itu hanya refleks saja! Soalnya aku jarang sekali melihat orang yang rambutnya bewarna hitam mengkilap dan matanya pun juga. Seperti orang Asia, namun kau tidak sama sekali.”
Aku sedikit tertegun mendengarnya. Entah itu hanyalah sebuah alasan darinya atau justru sebaliknya. Sudah lama aku berdiri disini dan aku tidak mau terlalu banyak berbasa-basi dengannya. Kusudahi saja kegiatanku ini dan beranjak pergi menuju rumahku berada. Setelah berpamitan dengan gadis yang bernama Aria, kaki kiriku mendadak terasa sangat sakit, ngilu dan bergetar––bahkan kepalaku ikut terbawa suasana, seperti mau pecah rasanya . Aria refleks memegangi kedua lenganku karena diriku yang hampir saja tumbang tepat di depannya.
“ Kau tidak apa-apa?” ia mencoba menahanku dengan badan mungilnya. Sedikit kekhawatiran tersirat dari wajahnya. Merasa tidak tega dengannya, aku pun mencoba berdiri dan berusaha tenang. Mencoba menutup mata dan mengatur nafasku pelan-pelan.
“ Aku tidak apa.”
“ Syukurlah. Kurasa kau belum sembuh total. Sebaiknya kau istirahat di rumah sekarang juga.”
“ Baiklah. Maaf telah merepotkanmu.”
****

DECEMBER 26TH (Chapter 1/Part 1)

CHAPTER 1
-Aria-

Itu hanyalah mimpi burukku. Mimpi dimana aku berada pada kejadian enam tahun yang lalu. Sungguh, itu merupakan kejadian yang tidak ingin kuingat.
Aku terbangun dari mimpiku, kuperjapkan kedua mataku ini dan mengusapnya guna menghilangkan setetes air yang tidak sengaja keluar dari asalnya. Perlahan-lahan tanganku berpindah, kupegang kedua pipi ini dan semakin lama pergerakan tanganku semakin ke atas.
“ Aw..!” rintihku pelan karena tanpa sengaja kedua tanganku mengenai dahi yang masih terbalut dengan gulungan perban. Aku lupa kalau lima hari yang lalu aku mendapatkan musibah kecelakaan dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit sampai saat ini juga. Pergelangan tangan kiri dan betis kiriku juga masih ikut tergulung oleh perban seperti halnya pada dahiku. Tak berapa lama, pintu kamarku terbuka dan datanglah seorang wanita dewasa yang tepatnya ialah Bibi Rosetta––tanteku.
“ Syukurlah, kau sudah sadar dari tidur siangmu. Ini kubawakan oleh-oleh untukmu.”
“ .... Apa itu?”
Bibi Rosetta memajukan langkahnya menuju meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurku. Ia pun mengeluarkan isi tas belanjaannya satu persatu ke atas meja. Aku yang masih terbaring di kasur empuk milik rumah sakit ini hanya bisa melihatnya tanpa ekspresi. “ Ini buah-buahan yang kubeli untukmu tadi di toko buah. Ada apel, mangga, dan jeruk. Apa kau mau?”
“ Boleh, tapi aku hanya ingin makan apel sekarang.”
“ Baiklah, kubersihkan dulu, ya? Lalu kukupas dan kupotong kecil-kecil agar kau bisa makan.”
Aku mengangguk. Bibi Rosetta pun mulai membersihkan sebuah apel di wastafel yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tidur. Kuperhatikan terus gerak-geriknya dari tahap awal hingga tahap akhir.
“ Ini apelnya, masih segar dan manis loh. Barusan bibi cicipin satu.”
“ Wah, bibi berani mencuri kesempatan rupanya.”
“ Ahahaha, nggak apa-apa dong. Sekali-sekali.”
Setelah memberikan piring yang berisi apel kepadaku, ia kembali ke wastafel untuk membuat teh. Diambilnya secangkir teh berwarna putih dan teko yang sudah berisi air panas dari dalam lemari kecil milik rumah sakit ini. Satu buah teh celup diambil dari dalam kotaknya dan dicelupkan ke dalam cangkir yang sudah terisi oleh air panas. Demi menjaga kesehatan, Bibi Rosetta tidak ingin membuat warna teh tersebut menjadi pekat.
“ Oh, ya. Tadi pagi dokter memberitahuku, melihat kondisimu yang sudah membaik katanya kau boleh pulang besok pagi.”
“ Benarkah itu?” tanyaku kepada Bibi Rosetta penasaran.
“ Ya. Aku senang akhirnya kau diperbolehkan pulang juga. Jadinya aku tidak kesepian lagi tinggal di rumah baru.” Jawab Bibi Rosetta sembari mengaduk air teh yang ada di cangkir putih.
“ Rumah baru? Maksud Bibi?”
“ Ya, rumah baru yang pernah aku ceritakan kepadamu minggu lalu. Wah, sepertinya Ron melupakannya.”
“ Maksudmu rumah kakek?”
“ Ya, begitulah. Bulan lalu, kakek sudah meninggal, jadi rumahnya itu beliau berikan kepadaku.”
Ia pun meletakkan secangkir teh buatannya di meja kecil sebelah tempat tidur. Ia mengecup keningku, mengusap lembut kepalaku dan bahkan mencubit kedua pipiku. Sungguh aku malu dibuatnya. Saat ini aku diperlakukannya seperti anak kecil. Untunglah tidak ada siapa-siapa disini selain kami berdua. Tak butuh waktu lama, ia mengambil tas hitam kecilnya dan meninggalkan ruangan ini. Waktu sudah menunjukkan pukul dua tepat, sepertinya ia harus pergi melanjutkan pekerjaannya di perusahaan swasta.
Esok harinya, Bibi Rosetta menjemputku dari rumah sakit menggunakan mobil sedan merah kesayangannya. Aku pun menarik pegangan pintu mobil tersebut ke atas dan membukanya.“ Maaf telah membuatmu menunggu, Tuan.” sahutnya dengan cengiran khasnya. Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman. Tak butuh waktu lama, aku pun menduduki jok mobil yang ada di sebelahnya dan menutup pintu mobil tersebut.
Setengah jam berlalu, akhirnya sampai juga kami di rumah baru. Bibi Rosetta memarkirkan sedan merahnya di halaman sebelah rumah kami. Ia keluar dari mobilnya sambil membawa tas ransel hitam milikku yang tak lain isinya  ialah berbagai macam kebutuhanku saat di rumah sakit. Sedangkan aku, aku hanya memandang  diam rumah baru kami yang bergaya khas Eropa. Tidak terlalu besar namun terlihat sangat asri. Catnya berwarna putih dan terlihat sedikit agak kusam. Di terasnya terdapat dua kursi kayu untuk tempat bersitirahat, dan juga taman kecil yang terletak di depan rumah. Setelah selesai memandang semuanya, aku keluar dari mobil dan berjalan memasuki rumah.
“ Kalau mau beristirahat, naiklah ke atas. Kamarmu ada di atas, Ron.”
“ Kamar bibi?”
“ Kamarku di bawah, tepatnya disana.” Bibi Rosetta menunjuk kamar barunya yang terletak di sebelah tangga. Aku mengangguk dan berjalan menaiki tangga. Tak henti-hentinya kupandangi seluruh isi yang ada di rumah ini. Di lantai atas hanya terdapat satu kamar, mungkin itulah kamar baruku. Kupegang gagang pintunya dan  kemudian mendorongnya. Pandanganku tetap datar. “ Tidak ada yang berubah dari kamar ini,” pikirku. Sudah empat tahun tidak kesini, namun apa yang kulihat sama sekali tidak berubah. Aku pun mengelilingi kamar demi mencari suatu hal yang baru, tapi hasilnya sama saja. Setelah merasa cukup bosan, aku langsung membuka kancing kemejaku dan menggantinya dengan t-shirt merah yang masih tersimpan di dalam koper hitam.
“ Rupanya Bibi tidak mau menaruh semua pakaianku di dalam lemari.” kataku datar tanpa ekspresi. Sebelum kulapisi tubuhku dengan t-shirt merah, aku berjalan mendekati lemari dan memandangi cermin yang terletak di depan pintunya. Terlihat dengan jelas bekas jahitan di lengan kananku akibat kejadian enam tahun lalu. Kejadian dimana waktu aku terbaring tak berdaya dan seekor anjing buas yang menyerangku secara brutal. Aku mendecih, mencoba melupakan kejadian buruk yang pernah aku alami––namun, sangat susah rasanya untuk kulupakan. Aku frustasi, dan hanya bisa meremas rambutku untuk saat ini.





****

28 Juni 2011

DECEMBER 26th Prolog


DECEMBER 26TH
P   R   O   L   O   G   U   E

Di hutan ini, hanya ada satu rumah megah bergaya kuno. Pondasinya yang kokoh dengan tembok berlapis bata tebal. Halamannya yang luas berhiaskan beberapa kolam ikan dengan pancuran airnya. Di tempat inilah, aku tinggal bersama keluargaku dan beberapa pelayan lainnya. Hari ini, tepatnya tanggal 26 Desember adalah hari dimana umurku bertambah setahun. Mengetahui bertambahnya umurku yang ke dua belas tahun, aku berharap bisa mendapatkan hadiah istimewa dari kedua orang tuaku.
Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk sambil mengamati jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas siang. Aku menghela nafas, sedari tadi terus memikirkan kedua orang tua yang tak kunjung datang menemuiku. Apakah mereka sibuk? Mungkin. Kuputuskan untuk tidur sejenak demi menunggu kedatangan mereka. Aku begitu merindukan pelukan mereka. Sudah empat hari mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Hanya pelayan-pelayan itu yang peduli padaku. Hanya pelayan-pelayan itu yang mau mendekat padaku. Terkadang bibi Rosetta mengajakku bercanda. Mereka berbeda dengan orang tuaku. Apakah mereka lupa dengan hari ulang tahunku? Atau mereka sengaja melupakannya? Atau mereka tidak peduli lagi kepada anaknya? Aku hanya bisa diam.
Kudengar derap langkah kaki seseorang dari luar kamar. Ia mengetuk pintu kamar ini dan membuatku terbangun dari tempat tidur. Langkah kaki ini terasa berat––sangat malas untuk membuka pintu yang berjarak lima meter dari tempat tidur. Kudorong gagangnya kebawah dan mendapati seseorang dari balik pintu.
“Ibu?”
“Selamat ulang tahun anakku.” Ibu membungkuk dan memelukku erat. Sudah lama tidak kurasakan hangat pelukannya. Aku membalasnya, menghirup aroma tubuhnya, bahkan mengelus rambut hitamnya yang panjang.
“Terima kasih. Aku sangat merindukanmu, ibu. Aku juga sangat merindukan ayah. Sudah lama tidak kurasakan hangatnya pelukanmu. Kau tahu? Di musim dingin ini, aku terus merasakan kedinginan. Hanya pelayan-pelayan dan bibi yang terus menemaniku, sedangkan kalian––
“Maafkan aku, Ron. Urusanku memang belum selesai, tapi aku menyempatkan diri untuk menemuimu hari ini. Badanmu dingin dan sedikit kurus. Bibirmu juga pucat.” Digenggamnya tangan kananku dan kemudian disentuhnya kedua pipiku.
“Dimana ayah?”
“Ayahmu––sedang ada urusan. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Sebelum pergi, kenakanlah sweater agar tidak kedinginan.”
****
“Kita mau kemana, ibu? Kenapa harus ke lantai tiga? Bagaimana kalau yang lain mencari kita?”
“Tenanglah, Ron. Mereka tahu kalau aku mengajakmu ke sini. Ayahmu juga sudah kuberitahu. Kamu selalu saja berdiam di kamar. Di luar sedang hujan salju, dan ibu tidak mungkin membawamu keluar rumah. Kau tampak pucat.”
Aku hanya diam menggenggam tangannya. Sebenarnya tidak hanya aku yang terlihat seperti ini––ibu, engkau juga mengalami hal yang sama denganku. Mukamu pucat, tampangmu terlihat tidak terlalu bahagia, dan kedua matamu bengkak. Apa tadi kau menangis? Hanya pertanyaan itu yang ada di otakku. Aku tidak berani menanyakannya karena aku tahu persis jika ia menjawabnya, ia pasti akan mengatakan tidak apa. Ia pasti berbohong agar aku tidak mengkhawatirkannya.
Kemudian kami terdiam di depan pintu yang sangat besar. Jujur, baru kali ini aku datang ke tempat ini. Biasanya ia melarangku untuk bermain di lantai tiga. Ia mengatakan kalau di lantai tiga banyak ruangan yang tidak terpakai. Mayoritas pelayan bekerja di lantai satu dan lantai dua. Hanya beberapa pelayan tua yang bekerja membersihkan tempat ini. Pintu besar itu kemudian dibukanya, menampakkan ruangan kosong dengan ukuran panjang dan lebarnya berkisar antara lima meter. Yang dimiliki ruangan ini hanyalah satu jendela dan tiga ventilasi.
“Kenapa ibu membukanya? Ruangan ini begitu menyeramkan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Rasanya sangat dingin karena tidak ada penghangat di ruangan ini.”
Ibu menepuk kedua bahuku. Ia sedikit membungkuk dan tersenyum. “Aku sangat menyukaimu, Ron. Kau memiliki warna hitam pada rambut dan matamu sepertiku, hidungmu yang mancung, juga warna kulitmu yang cerah, semua itu anugrah terindah dari Tuhan yang Dia berikan kepada kami. Aku sangat bersyukur bisa melahirkanmu. Kau tampan dan pintar seperti ayahmu. Kami berdua sangat ingin melindungimu.”
“Ibu––”
“Aku ingin kau bahagia kelak, kau bisa lebih mandiri tanpa ketergantungan sama yang lain––bahkan dengan ayah dan ibu, kau bisa menjadi seorang yang lebih hebat dari sekarang. Aku juga ingin kau bisa menemukan seorang wanita yang lebih baik dariku suatu saat nanti. Terakhir, kau harus berani melawan ketakutan yang ada pada dirimu. Jika kau tidak bisa, kau tidak akan bisa terlepas dari rasa takutmu itu.”
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Maafkan aku, Ron.”
Perasaanku tidak tenang. Aku takut akan perkataannya yang seakan-akan dalam waktu yang singkat kita tidak akan bersama. Dirinya tetap tersenyum memandangku walau hal itu sangat kontras dengan tatapannya. Tatapan sendu dengan sepasang matanya yang bengkak. Aku memegang kedua pipinya––kering dan dingin bagaikan es. Aku berusaha tersenyum padanya, namun entah kenapa hal ini membuatku merasa sedih. Aku ingin menangis dan memeluknya, namun, ia menegakkan posisi berdirinya, tetap menyentuh kedua bahuku, dan tiba-tiba mendorongku ke dalam ruangan itu. Keseimbanganku tak terjaga dan membuatku harus terjatuh ke dalamnya.
Aku merintih akibat merasakan rasa sakit pada lutut yang bergesekan dengan lantai ruangan. Beberapa goresan kecil dapat kulihat dan darah yang mengalir keluar dari asalnya. Mataku melebar, terkejut melihat semua ini. Pintu itu sudah terkunci rapat oleh ibu dan aku terkurung di dalamnya. Aku berdiri, berlari menuju pintu, dan berteriak memanggil namanya, namun––tidak ada respon darinya. Berulang kali hal itu kulakukan, tapi hasilnya tetap sama. Aku terus mendorong pintu itu hingga membuat seluruh tubuh ini lemas.
Kusandarkan diriku pada pintu sambil memeluk erat tubuhku. Begitu dingin hingga kepulan asap keluar di saat aku menghembuskan nafas. Aku hanya bisa terduduk memandang keluar jendela. Butiran-butiran salju yang menumpuk pada tepiannya, dan sebuah pohon besar dengan sebagian ranting yang menyentuh kacanya yang kusam. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku hingga terhenti di depan jendela. Kudorong gagangnya yang berkarat hingga menimbulkan suara gesekan yang dapat membuat gigi ini ngilu. Perlahan jendela itu terbuka dan terlihat jelas pemandangan yang menakjubkan––ratusan pohon pinus dengan daratan yang tertutupi oleh lautan salju. Semuanya putih dan menyejukkan. Gerakan tanganku tanpa sadar menekan pada cabang batang pohon. Cabang yang begitu besar hingga dapat menyentuh ujung jendela ini.
“Mungkin, aku bisa keluar dengan merayap pada cabang batang pohon ini.”
Kugenggam cabang itu erat dengan sedikit rasa takut akan jatuh dari ketinggian yang berjarak belasan meter ke bawah. Kukulum bibirku dalam, terus memandang ke arah depan tanpa harus melihat apa yang ada di bawah. Dinginnya batang ini dapat kurasakan pada tubuhku yang merayap di atasnya. Tanpa kusadari, bagian cabangnya yang licin membuatku harus terjatuh ke bawah pada tumpukan salju. Aku berteriak, rasanya begitu sakit dimana kudapati memar pada pergelangan kaki kiriku. Jika hari ini tidak bersalju, mungkin aku akan mati di tempat ini sekarang.
Dapat kurasakan hawa buruk perlahan memasuki daerah ini. Mataku melebar, hanya dalam beberapa detik dapat kulihat sekelompok orang akan datang ke rumah ini––semuanya muncul dalam pikiranku––sama seperti dalam mimpi burukku. Tidak terlalu jelas namun empati mereka begitu kuat menusuk kepalaku. Aku tidak bisa lama berdiam di sini, ingin rasanya berbalik namun––mungkin itu bukanlah solusi yang baik bagiku. Bagaimana dengan ayah dan ibu yang ada di rumah ini? Bagaimana dengan bibi Rosetta? Bagaimana dengan yang lainnya? Jika mereka terus berada dalam bangunan megah ini, kemungkinan besar mereka akan mendapat ancaman dari sekelompok orang itu. Apa harus kuberitahu terlebih dulu agar mereka semua kabur dari tempat ini?
“...Aku harus kabur dari tempat ini.”
Inilah pilihanku, kutinggalkan mereka semua di bangunan megah ini. Aku berlari walau sedikit merasakan rasa sakit yang ada pada pergelangan kaki dan lututku. Sweater yang kukenakan tak mampu melawan dinginnya suasana ini. Sekujur tubuhku dingin, terutama pada kakiku yang hanya beralaskan pada sepatu tipis. Aku terus berlari hingga menemukan jejak kaki dengan bercak darah pada tumpukan salju.
“Astaga. darah siapa ini? Jejak kaki ini––ukurannya hampir sama dengan kakiku. Apa ada anak yang masuk ke hutan ini lebih dalam? Apa aku harus ikut ke dalam untuk mengetahui siapa si pemilik jejak ini? Tapi, jika bertemu dengan binatang buas?”
Aku terus bertanya dalam pikiranku. Rasa penasaran yang berlawanan dengan rasa takut, sangat sulit untuk menentukan jawaban yang harus kulalui saat ini. Empati mereka semakin kuat, sangat dekat dan terus menusuk kepalaku. Kupegang sisi samping kepala, kupejamkan sepasang mata––mencoba menghilangkan rasa takut yang ada pada pikiran. Aku menggeleng dan kembali membuka kedua mata. Dengan rasa penasaran yang memuncak, aku terus mengikuti jejak ini sampai akhir. Berjalan sambil memeluk erat tubuhku yang menggigil hingga kutemukan sosok si pemilik jejak.
Seorang anak perempuan terbaring di tumpukan salju. Kulitnya memucat akibat rasa dingin yang dideritanya. Aku menunduk, menyentuh tangannya yang dingin, sedikit menyibak poni yang menutup sepasang matanya yang terpejam. Gadis ini terlihat sebaya denganku. Kubenarkan posisi tidurnya hingga tanpa sengaja bagian perut yang kusentuh mengeluarkan cairan merah. Darah––begitu banyak mengalir. Mataku melebar, kulihat bekas tusukan benda tajam menembus perut. Tanganku penuh oleh cairan itu, merah dengan bau anyir menusuk hidung. Kulepaskan sweaterku untuk menghentikan pendarahan dari tubuhnya. Panik, mataku berkeliling untuk mencari siapa pun di sekitar sini, tapi hasilnya nihil.
Apa yang harus kulakukan? Empati mereka yang kuat dengan jarak yang begitu menyempit. Kegelisahanku tak menentu––takut akan kondisi seperti ini. Aku hanya bisa terdiam di antara lautan darah yang dingin. Kucoba menahan rasa dingin dengan memeluk gadis ini. Bibirku bergetar, kepulan asap semakin menebal ketika aku menghembuskan nafas. Kepalaku terasa berat dan dapat kurasakan sesuatu yang berdiri tak jauh dari belakangku. Aku takut untuk menoleh, namun rasa penasaran tak dapat kukalahkan––hingga akhirnya membuatku mengetahui siapa yang ada di belakangku. Serigala hitam.
Mata merahnya memandangku, bagaikan sebuah tarikan yang membuatku tak terlepas untuk melihat tatapannya. Aku bergetar, rasa dingin dan rasa takut bercampur menjadi satu. Besar badan yang dimilikinya melebihi serigala normal. Jantungku berdetak hebat––membuatku mengeratkan pelukan pada gadis ini. Gerakan kakinya yang terus mendekatiku, membuatku seakan terancam. Tetes demi tetes saliva keluar dari sela-sela taring yang dipamerkannya. Aku diam, tetap tidak menghindar hingga tiba saatnya ia menerkamku secara liar.
Betapa hebat sakit yang kurasakan pada lengan kananku. Aku menjerit dan memberontak. Taringnya tajam merobek kulit hingga menembus daging. Aku tak dapat menahan derai air mata yang terus mengalir keluar. Begitu juga dengan darah yang mencuat keluar dari pembuluhnya. Rambut hitamnya, badannya, dan juga yang ada padaku, semuanya bermandikan oleh darah. Aku terus menjerit, terkadang kuayunkan kedua kakiku menuju perutnya, namun, serigala ini semakin menekan badanku dalam tumpukan salju. Dingin––inilah rasa yang kurasakan pada bagian belakang badanku. Panas––inilah rasa yang kurasakan ketika beberapa taring yang ia tancapkan pada lengan kananku. Aku menoleh, melihat anak perempuan yang akhirnya terbaring tak jauh dariku. Apakah tadi dia dimakan oleh serigala ini? Ataukah ada hal lain yang menimpa dirinya? Air mataku terus mengalir melihatnya. Aku ingin terbebas dari binatang buas ini. Aku tidak mau mati secepat ini, apalagi dalam kondisi seperti ini. Aku ingin binatang ini merasakan penderitaan yang kurasakan sekarang. Semuanya harus kuselesaikan, sebelum sekelompok orang itu menemukanku.
Emosi yang kian memuncak membuat tangan kiriku mencengkram lengan serigala ini. Kukerahkan sisa tenagaku walau rasa sakit terus membanjiiri. Aku mencoba berteriak dan––
“MATI KAU SERIGALA!”––hanya kata-kata itu yang bisa kukeluarkan dari mulutku. Tanpa kusadari, perkataan tadi membuat serigala itu terdiam––masih dalam menekanku. Perlahan reaksinya berubah, tubuhnya bergetar dan ia pun memundurkan langkahnya. Aku terduduk, sambil memegang tangan kananku yang terluka. Serigala itu mengaum dan dapat kulihat tetesan air mata yang keluar dari sepasang mata merahnya. Tubuhnya bergetar hebat dan akhirnya menampakkan sesuatu yang tidak ingin kulihat. Badannya pecah, membuat darah terpancur dari segala sisi tubuhnya.
Kenapa bisa seperti ini? Padahal aku sama sekali tidak melakukan apa pun. Aku hanya berteriak dan aku sama sekali tidak membunuhnya. Serigala itu tewas di depanku dalam keadaan tak wajar. Ini semakin membuatku takut, rasanya ingin menangis di tempat ini.
“Ibu, ayah, bibi Rosetta, dan yang lainnya, kenapa kalian meninggalkanku sendiri? Aku takut. Aku ingin kembali ke rumah, tapi––”
“Itu dia anaknya! Dia seorang pembunuh!”
“Tangkap dia!”
“Bunuh anak itu! Anak sial!”
Suara itu––sekelompok orang telah datang dan mengatakanku––pembunuh? Sial? Apa maksudmu? Aku sama sekali bukan pembunuh. Aku tidak membunuh anak perempuan itu, apalagi serigala yang datang menerkamku. Sekelompok orang yang menyeramkan dengan perbekalan senjata yang ada di setiap tangannya. Mereka berlari ke tempat dimana aku masih terduduk. Aku tak dapat berlari dengan kaki yang seakan mati dan badan yang tidak mau berpindah ke lain tempat. Jarak semakin menyempit dan membuat jantungku berdetak tak menentu. Leherku seakan tercekik––sangat susah utnuk mengucapkan sepatah kata pun.
“I-ibu..t-to-tolong...a-aku....MATI KALIAN SEMUA! AKU BENCI SEMUANYA!”
Bagai sebuah mantra yang terucap keluar membuat daratan salju ini bergetar. Tanah yang retak dan kemudian membelah, membuat satu persatu di antara mereka jatuh ke dalamnya. Aku tetap menunduk sambil memegang sisi samping kepala. Menangis dalam jertian demi menahan rasa sakit yang kuderita. Kuatnya angin yang begitu menggelitik tubuh, tak mampu melawan panas tubuh akibat emosi yang sudah melampaui batas. Terkadang kulihat mereka, satu persatu tewas bermandikan darah. Mereka semua mati di depanku. Sungguh, pemandangan yang sebenarnya tak ingin kulihat.
Tak butuh waktu lama, getaran itu perlahan menghilang di tempat ini. Tempat ini telah menjadi lautan salju yang di dominasi oleh cairan berwarna merah. Tak jauh dari tempatku duduk, dapat kulihat seorang wanita dengan baju terusan biru berjalan ke arahku. Wanita dengan rambut pirang sebahu, ia, bibi Rosetta, menutup mulutnya melihat keadaan di sekelilingku.
“Ron! Akhirnya aku menemukanmu.”
“Bibi? Kenapa kau bisa di sini? Kau tidak ma––”
“Aku melarikan diri dari rumah, namun di saat aku memasuki hutan ini tiba-tiba saja gempa datang. Ini sangat aneh, aku terus berlari dan aku sangat senang bisa melihatmu disini.”
“Bibi, syukurlah kau––” tanpa sadar, tubuhku terasa berat dan membuatku terjatuh.
“Ron!”
Untunglah aku tidak sendiri di sini.
****