CHAPTER
7
-The Black-
Begitu panas namun
juga dingin. Hawa dingin bersaing dengan panasnya sebuah rasa yang dirasakan
sekarang. Perbedaan yang begitu kontras antara luar dan dari dalam badan ini.
Tenggorokan terasa kering, mata yang tiada henti-hentinya mengeluarkan cairan
beningnya. Bulir-bulir keringat yang merupakan hasil ekskresi kulit terus
muncul dan mengalir dari area pelipis. Tangan dingin yang mencengkram area di
sekitarnya demi menahan rasa
sakit. Ingin rasanya berteriak namun tidak bisa. Debaran jantung yang begitu
hebat, perkataan-perkataan yang tak sanggup untuk dikeluarkan––bagaikan leher
yang tercekik. Bagaikan suatu roh yang masuk dalam tubuh namun sebenarnya tidak
sama sekali. Derita inilah yang sekarang dirasakan oleh gadis mungil yang sedang
terbaring di kasur, Aria.
Perlahan-lahan dirinya membuka mata,
rintihan suaranya sedikit demi sedikit terdengar jelas. Aku mencoba menenangkan
dengan menggenggam tangan mungilnya. Pandangan awalnya yang tertuju ke
langit-langit kamar, berpindah kepadaku. Ia menatapku dan mengeluh, “Rasanya
panas, sangat panas”. Deritanya inilah kemungkinan besar efek dari ramuan
pemberian Azura. Ramuan itu kucampurkan pada minuman hangat sebelum diberikan
kepada Aria. Aku sejenak teringat akan perkataan wanita itu, “Ramuan ini sangat cepat reaksinya, namun mungkin awalnya kau bisa
melihat sesuatu yang tidak enak.”
Rupanya memang benar. Aria begitu
gelisah, menderita menahan rasa sakit yang dirasakan badannya. Nafasnya yang
sediki terputus, dengan warna merah muda menghiasi kedua pipinya. Genggamanku
perlahan mengendur, memberikan ruang bagi tangannya agar dapat bergerak bebas.
Ekspresiku tetap datar memandangnya walau dalam hati terus bertanya akan
kemanjuran dari efek ramuan tersebut. Entah ramuan itu dapat dipercaya atau
tidak, tapi aku terus bersabar melihat perkembangan kesehatan Aria. Kubersihkan
dahinya menggunakan sapu tangan. Mencoba mengetahui kondisinya dengan menempelkan
punggung tangan ini pada dahi, turun ke pipi hingga leher putihnya. Panasnya
tidak seperti sebelumnya. Nafasnya yang mulanya sedikit terputus,
perlahan-lahan dapat berhembus teratur. Syukurlah, kondisinya sudah lebih baik
dari sebelumnya.
Kembali dipejamkan sepasang matanya yang
terbuka. Kepalanya bergerak menghadapku yang duduk di sebelah kasurnya. Ia tak
mengucapkan kata-kata lagi setelah
mengeluh. Mungkinkah dia tidur kembali? Mungkin saja pikirku. Aku sedikit
membenarkan posisi tidurnya serta selimut yang semula berantakan akibat
kegelisahan darinya. Akan tetapi, muncul sebuah niat dariku––entahlah ini niat buruk atau tidak namun
aku hanya sekedar ingin tahu kondisi kakinya setelah digigit serigala hitam
itu. Selimut yang menutupnya perlahan kubuka, celana panjang yang membungkus
kaki sedikit kutarik ke atas. “Untunglah bajunya sudah diganti Azura sebelum ia
pergi meninggalkan kami”.
Bekas taring yang menancap betis kanannya
terlihat jelas. Aku hanya dapat berdecih kesal. Seandainya saat itu aku tak
melepas genggamannya, mungkin dia tidak akan mengalami ini. Dirinya selalu saja
terluka jika di sampingku. Aku tak dapat melindunginya––mungkin, belum bisa.
****
“Apa? Bibi tidak pulang hari ini?”
“Ya, begitulah. Bibi ada urusan dengan teman
bibi. Jadi, bibi terpaksa menginap di rumahnya selama satu hari. Jaga rumah
baik-baik. Jangan lupa untuk selalu mengunci pintu rapat-rapat. Jika ada tamu
yang tidak dikenal, lebih baik jangan dibuka karena bibi tidak ada di rumah.
Jangan lupa membuat makan malam untukmu dan Aria. Jaga kebersihan rumah––dan
yang terakhir..”
“Terakhir?”
“Sebelum menikah, jangan mengambil kesempatan
untuk menodai Aria selagi bibi tidak ada.”
Telepon pun terputus. Mendengar perkataan
bibi barusan, membuatku tak dapat berkomentar apa-apa. Aku tetap diam dan
menaruh telepon itu pada tempatnya. Bukannya aku tidak peduli dengan perkataan
bibi––hanya saja, aku bisa menjaga diriku dan aku tidak akan melakukan hal-hal
yang sangat mempermalukan diriku sebagai seorang lelaki.
Dentangan jam telah menandakan pukul delapan
malam. Hawa sejuk yang berasal dari luar masuk menyelimuti suasana rumah. Sedari
tadi Aria tidak beranjak meninggalkan kamarnya––yang sebenarnya merupakan kamar
bibi Rosetta. Aku tetap menunggunya di meja makan. Makanan hangat yang
sebelumnya telah kusiapkan untuk berdua perlahan menjadi dingin. Suasana begitu
sepi, hanya terdengar bunyi dentangan jam dinding. Tiada bibi Rosetta membuat suasana
rumah seakan mati apalagi dengan hawa dingin yang begitu mendukung. Aku
bertopang sambil memperhatikan putaran jarum panjang yang menunjukkan menit. Sudah
menit yang kelima, tapi tetap saja tidak ada bunyi pintu terbuka dari tempat
gadis mungil itu berada. Apakah dirinya masih tertidur? Entahlah. Kugaruk kepalaku
yang sebenarnya tidak gatal. Berdiri dari kursi yang telah kududuki, dan pergi
beranjak meninggalkan meja makan. Tujuanku sekarang adalah ke kamarnya
sekaligus ingin mengetahui perkembangan kesehatannya. Apakah dia masih sakit? Semoga
saja tidak pikirku. Kuketuk dinding pintu kamarnya beberapa kali, namun tak ada
respon yang kudapat dari dirinya. Perlahan kudorong gagang pintunya, mendapati
sosok Aria terduduk di tempat tidur––membelakangi pintu yang menjadi tempatku berdiri sekarang. Ia
tetap tidak merespon kedatanganku––sama sekali tidak menoleh ke arah belakang. Rambut
karamelnya tergerai berantakan dan sedikit menampakkan leher putihnya. Tangannya
tidak bergerak namun terus memeluk sebuah bantal dengan erat. Aku berjalan
mendekatinya, menepuk bahunya, dan alhasil dia menoleh kepadaku.
“Kau tidak mau makan menemaniku?”
Ia hanya menatapku namun tidak mau membalas
pertanyaan lawan bicaranya barusan. Ekspresinya tidak menunjukkan dirinya sedang
sedih atau gelisah. Ia tetap seperti biasa, kecuali rona merah yang selalu ia
tampakkan tidak terlihat. Ia tenang, masih dalam posisi terduduk dengan dirinya
yang tetap memeluk bantal. Ia terus menatapku yang berdiri di sampingnya tanpa
berkomentar.
“Mukamu masih pucat. Apa kau tidak mau
berbicara padaku demi menahan rasa sakitmu, bukankah begitu?”
Tidak ada respon darinya.
“Aria.
Aku tak mau kau menatapku dengan tatapan seperti itu. Kau seakan-akan sedang
mengetesku. Kau biasanya menatap orang-orang dengan lembut, tidak seperti
sekarang ini. Jika kau ingin sesuatu, katakan itu. Aku pasti akan membantumu.”
Kembali tidak ada respon darinya.
“Aria! Tolong balas perkataan lawan bicaramu!”
sedikit berteriak agar dapat menerima respon––tapi tetap tidak ada respon darinya
sedikit pun.
“Aria! Dengarkan! Aku hanya ingin bicara
padamu!”
Kesal. Aku pun meraih kedua tangannya, namun pelukan
pada bantal itu semakin dieratkannya. Ia tak mau melepasnya. Aku terus
memanggil namanya berulang kali, tapi tetap saja ia tidak mau membalas
panggilanku. Tatapannya yang semula bertemu pandang dengan tatapanku, kemudian
sengaja dipejamkannya. Aku mengkerut, terus berusaha untuk meraih kedua
tangannya agar ia mau menjawab. Badanku yang sebelumnya berdiri tegak terpaksa sedikit
membungkuk hingga refleks duduk di atas tempat tidurnya. Ia hanya dapat mengeluarkan rintihan
kecil saat kedua tangannya sedikit kutarik paksa––yang juga membuatnya
tersandar pada tembok. Aku senang bisa melepaskan kedua tangan yang telah
memeluk erat bantal itu, tapi matanya
tetap terpejam dengan kepala menunduk yang membuat poni rambutnya sedikit
menyembunyikan wajah cantiknya. Mau tidak mau, segera kupegang kedua pipinya,
sedikit menarik wajahnya ke atas agar ia mau melihatku. Ia langsung memegang
kedua tanganku untuk menarik dari pipinya. Akan tetapi, tetap saja tenaganya
tak dapat menandingi tenagaku.
“Aku hanya ingin berbicara padamu baik-baik. Bukan
untuk menyakitimu. Apa yang membuatmu seperti ini? Kau tidak mau membalas
perkataanku––bahkan kau sengaja memejamkan matamu untuk tidak melihat lawan
bicaramu.”
Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan
kembali zamrud indah yang sempat disembunyikannya. Tanpa sadar wajah kami
begitu dekat, hanya memisahkan jarak beberapa senti dari hidung kami. Hembusan nafas
kami saling bertemu seakan sedang beradu. Hangat hembusan nafas dari
masing-masing sumber begitu menggelitik wajah. Mataku terus terfokus untuk
melihat indah warna matanya. Damai dan sangat berbeda dengan warna hitam bola
mataku. Ini seperti menghipnotisku.
“..Ron.”
“Ya?”
“Aku takut akan kejadian tadi. Kejadian dimana
aku merasakan kedamaian pada awalnya, merasakan keindahan alam yang begitu
tenang, berjalan sambil menghirup udara segar bersamamu, namun––tiba-tiba saja
berubah menjadi suatu hal yang begitu kontras dibanding sebelumnya. Tragedi yang
mengerikan. Suasana sejuk yang seakan tak begitu bersahabat. Hujan deras yang
kemudian menyelimuti indahnya alam hutan pinus itu. Semuanya––membuatku takut.”
“Lalu, kenapa kau tadi menghindariku di saat
aku ingin berbicara denganmu?”
Aria terdiam sejenak. Ia seperti sedang
memikirkan serangkaian kata yang akan dilontarkan dari mulutnya. Posisi kami
tetap tidak berubah––masih dalam jarak yang begitu dekat. Sedari tadi tangan
ini tetap saja tidak terlepas memegang kedua pipi lembutnya.
“Awalnya aku takut memandangmu. Tatapanmu begitu
tajam, beda dengan laki-laki lain yang pernah kutemui. Warna hitam dari rambut
dan matamu sedikit mengingatkanku pada serigala tadi. Sangat persis––tapi,
bukan berarti aku membencimu! Aku tidak membencimu hanya karena warna yang kau
miliki. Memang aku sedikit trauma dengan serigala yang tadi mengejar bahkan
menggigitku. Tatapannya tajam, namun membunuh. Akan tetapi, setelah itu aku
sadar bahwa kau berbeda dengannya. Tatapan tajammu justru menghangatkanku. Aku sangat
menyukainya.”
“Aku dapat melihatnya dari tatapanmu, tatapan kekhawatiran yang dapat
menghangatkan hati.”
Mendadak
terlintas dalam otakku perkataan Azura sebelumnya. Jadi inikah yang disukai
dari mereka? Sebuah “kehangatan”
––dariku? Diriku seakan terjepit oleh sepasang wanita yang selalu menghantui
pikiran ini. Aku heran dengan apa yang mereka sukai dari diriku.
Kutarik
kembali kedua tanganku dari pipinya. Sedikit memberikan jarak di antara kami berdua
untuk bisa bernafas dengan lega. Akhirnya aku dapat melihat kembali rona merah
yang menjalar di pipi Aria. Aria tampak keringatan––mungkin akibat dari diriku yang sudah mempersempit ruangnya.
Kubenarkan poni rambutnya, serta kubersihkan bulir-bulir keringat yang telah membasahi
wajahnya.
“Aku juga tidak membencimu. Terima kasih,
akhirnya kau mau merespon perkataanku––dan maaf jika aku berlaku kasar padamu,”
kataku datar.
Kami hanya saling berpandangan. Hening. Tak
ada satupun gerakan dari tubuh kami setelah itu. Tak lama kemudian, sebuah
deringan telpon genggam menghancurkan keheningan ini. Kuraih benda itu dari
saku celana, membuka kuncinya dan
melihat pesan dari dalamnya.
Besok pagi maukah menemaniku sarapan di Red Rose Cafe? Aku harap kau
bisa menemaniku. Aku akan menjemputmu jam 7 pagi. Thanks!
-Edward-