08 Desember 2012

DECEMBER 26TH (Chapter 7/Part 2)

Matahari mulai menampakkan wujudnya. Sinarnya yang hangat masuk menerobos jendela, dan alarm jam weker pun berbunyi pertanda hari sudah pagi. Suaranya yang begitu memekakkan telinga––selalu saja mengusik mimpi indahku. Mimpi indah dimana  aku dapat merasakan sebuah kelegaan tanpa ada pengganggu sedikit pun. Aku dapat tinggal di tempat yang tenang, tiada serigala-serigala hitam, burung gagak, dan lainnya.
Kuperjapkan sepasang mataku, dan mengusapnya perlahan hingga aku pun terduduk. Bunyi jam weker yang terasa “sedikit” mengganggu di telinga itu kemudian dimatikan. Aku meraihnya dan memandangnya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam pagi. “Untunglah aku tidak terlambat.”
Aku pun pergi ke tempat dimana aku bisa menyegarkan diri di bawah pancuran air. Rasa takut akan kejadian kemarin seakan hilang terbawa oleh air yang mengalir dari rambut hingga ke ujung kaki. Begitu segar dan menenangkan, namun aku tak perlu mandi berlama-lama. Kusudahi kegiatan ini dengan mengeringkan badan menggunakan handuk, dan melingkarkannya dari bawah pusar hingga lutut. Langkah kaki ini kemudian berjalan menuju depan cermin, dimana aku dapat melihat pantulan bayangan diriku serta bekas goresan luka yang dibuat oleh Matt dan Azura di leher ini. Azura pernah mengatakan kalau bekas luka ini tidak akan bisa hilang karena perbuatannya. Apakah bekas ini menjadi sebuah penanda bagi dirinya? Aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya yang aneh. Aku juga masih tidak mengerti tujuannya mengincarku, selalu mengikutiku, bahkan dirinya yang sempat––menciumku? Mendadak pikiranku sakit karena kembali memikirkannya. Memikirkan sebuah adegan dimana saat itu bibir kami saling bersentuhan. Sentuhan yang sengaja dibuatnya paksa. Itu sangat memuakkan bagiku. Pikiranku terus bertanya dalam hati, apakah dia menyukaiku? Padahal kita baru saja bertemu––belum dalam waktu yang lama.
Kukenakan dalaman putih tanpa lengan berlapis kaos hitam polos berkerah, dengan celana jeans hitam panjang. Setelah mempersiapkan diri dengan membawa alat-alat yang akan dibawa, aku pun keluar kamar, menuruni tiap-tiap anak tangga hingga tatapanku mendadak bertemu dengan sosok Aria yang berdiri membelakangiku. Dirinya selalu tampil feminim dengan baju terusan krem selutut berhias garis-garis hitam pada bajunya, dan rambut panjangnya yang dikuncir sebagian ke belakang.
“Lebih baik kau jangan menyiapkan sarapan.” Sapaku yang berdiri tepat di belakangnya.
“Aku memang belum menyiapkan sarapan, ini baru saja kubuatkan minuman hangat untukmu, tapi––apa tidak apa jika aku tidak menyiapkannya? Maaf aku telah membongkar lemari dapurmu.” Katanya sembari memberikan secangkir teh hangat untukku. Tak butuh waktu lama, minuman itu kuhirup dan kuteguk.
Well––pagi ini aku harus pergi menemani sahabatku, Ed. Jarang sekali dia mau mengajakku sarapan bersama di kafe. Mungkin sebentar lagi dia akan datang menjemput, tapi..”
“Tapi?”
“Aku akan mengajakmu untuk ikut bersama. Mungkin kau masih trauma dengan kejadian kemarin. Mungkin kau takut untuk ditinggal sendirian. Bukankah begitu? Lagipula tempat ini sangat sepi dan aku tidak akan mungkin meninggalkan seorang wanita sendirian di rumah ini. Aku tidak ingin makhluk-makhluk itu muncul lagi datang me––”
“Bukannya aku tidak mau, tapi aku sedikit sungkan untuk ikut dengan kalian apalagi aku sama sekali tidak kenal dengan sahabatmu––”
“Ting Tong!”
Bel berbunyi memutuskan pembicaraan di antara kami berdua. Kakiku melangkah cepat untuk segera membukakan pintu ruang tamu. Ed yang sedari tadi berdiri di balik pintu, menampakkan cengiran khasnya sambil melambaikan tangan padaku. Ekspresiku tetap datar, alhasil mendapat pukulan kecil darinya tepat di bahu. Seperti biasa, ia selalu tampil dengan pakaian yang––mungkin bisa dibilang pakaian untuk ukuran orang kelas atas. Tak lupa pula dengan mobil Ferrari merah kesayangannya yang selalu dibawa pergi bahkan untuk ke rumahku saat ini.
“Apa kau siap untuk menemaniku, princess?”
“Maaf, mungkin kau salah rumah.” Jika pintu ini tidak langsung di tahan oleh kedua tangannya, mungkin benda ini sudah hancur. “Hei, tenanglah! Aku hanya bercanda. Candaanku jangan terus kau anggap serius. Aku lagi ingin menghibur diriku di pagi ini.”
“Keegoisanmu membuatku muak.”
“Oke, aku minta maaf. Lupakan sapaanku barusan. Nah, apa kau sudah siap? Kalau sudah, ayo kita pergi sekarang menemaniku sarapan.”
“Bolehkah aku mengajak seseorang?”
“Siapa?” Langkahku kembali memasuki ruang keluarga––menemui Aria, menggenggam tangannya dan mengajaknya untuk menemui Ed. “Gadis ini. Aku bermaksud untuk mengajaknya. Bolehkah? Aku tak akan mungkin meninggalkannya sendirian di rumah ini. Bibiku juga lagi pergi sekarang.” Aku tahu pasti apa reaksi Ed setelah melihat gadis mungil ini. Mengetahui bahwa Ed begitu maniak ketika melihat gadis-gadis cantik dan manis, pasti dia akan berkomentar setelah melihat gadis mungil ini.
Oh My! She’s very cute with her small body! Who is she? Your friend? Sister? Cousin? But I kbnow that you don’t have any sister or brother, or–– is she your girlfriend? Maybe––your wife?
Of course, Not. Dia tetangga sebelah. Kebetulan karena dia sedang sendirian, lebih baik kuajak jalan bersama. Kasihan jika kutinggalkan gadis ini, mengingat tempat ini begitu sepi dan bibi sedang tidak ada di rumah.”
“Baiklah. Aku rela untuk mengajaknya sarapan bersama. Kebetulan dia gadis mungil yang sangat manis. Setidaknya aku bahagia tidak jalan berdua bersama cowok. Aku lebih suka jika ada manusia dengan jenis kelamin yang berbeda juga menemaniku jalan bersama. Tenanglah, Aria! Aku akan menjagamu dari laki-laki jahat termasuk tetanggamu yang badannya terlalu tinggi ini!”
Aku hanya mendengus, malas untuk membalas kata-katanya. Seperti biasa Ed memberikan kunci mobilnya padaku. Ia lebih suka jika aku yang mengendarai mobilnya bila pergi bersama. Seperti menjadi seorang supir saja, pikirku. Setelah mengunci pintu rumah, dirinya duduk di sebelah kanan depan dan Aria di belakang kami berdua. Perjalanan menuju Red Rose Cafe kira-kira membutuhkan waktu dua puluh menit. Ed sedari tadi asyik dengan iPad kesayangannya, dan Aria––kuperhatikan dirinya dari cermin depan, mendapati dirinya duduk tenang memandang keluar jendela. Ia tersenyum, menampakkan serangkaian gigi dari balik mulut tipisnya. Tatapanku kembali fokus ke depan. Sinar matahari yang menyilaukan menembus masuk melewati kaca mobil, membuat sepasang bola mata ini sedikit menyipit akibat tidak mampu menangkap intensitas cahaya yang terlalu besar. Ed yang mengetahui hal ini, mengambil sebuah kacamata hitam dari dasbor dan memberikannya kepadaku.
Thanks.”
****
Milk shake chocolate di kafe ini memang tiada tandingannya!”
“Pagi-pagi begini lebih baik minum minuman yang hangat. Nggak bagus buat perutmu.”
“Terima kasih sudah pengertian kepadaku. Aku tahu memang minuman hangat lebih baik untuk pagi hari, tapi dengan minuman dingin ini sedikit-sedikit kejenuhanku seakan hilang dari pikiranku.”
“Kau lagi ada masalah?”
Nope. Aku juga sebenarnya nggak mengerti entah kenapa perasaanku begitu tidak menyenangkan dari kemarin. Makanya aku mengajakmu untuk pergi bersamaku. Menemaniku siapa tahu dengan berbicara bersamamu diriku sedikit lebih enak. We’re best friend, right?
I dunno.”
“Dasar!”
Ed kembali menyeruput milk shake miliknya dan menghabiskannya. Untuk yang keempat kali dirinya memesan minuman dengan jenis yang sama kepada seorang pelayan. Ada apa dengan dirinya saat ini? Tidak seperti biasanya dia memesan minuman dingin sebanyak ini tanpa ada makanan yang masuk ke dalam perutnya sedikit pun. Aku memandangnya heran, sambil terus melahap salad yang merupakan makanan favoritku. Aria yang duduk di sebelahku, hanya bisa tersenyum sambil memakan sup jagung miliknya. Ia masih sungkan––mungkin lebih tepatnya masih malu untuk berbicara dengan Ed. Saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu, Ed langsung mengajaknya berbicara, bertanya-tanya tentang dirinya seperti hobi, makanan dan minuman kesukaan, jenis musik, dan berbagai macam pertanyaan lainnya.
“Ron, sepertinya aku sakit perut.”
“Sudah kuberitahu, kau tidak mengerti. Minuman dingin tidak baik untuk pagi hari.”
“Sepertinya aku butuh toilet sekarang!”
Ed pergi meninggalkan kami berdua. Aku kembali menghabiskan salad yang masih tersisa. Kami terdiam, masing-masing dari kami hanya menatap makanan di atas meja. Aria mengaduk sup jagungnya tanpa dimasukkan lagi ke dalam mulutnya.
“Kapan awal kalian bertemu?”
“Sejak sekolah menengah pertama. Saat aku pindah ke kota ini dan aku masih menjadi murid baru, dia memperkenalkan dirinya sebagai ketua kelas di kelas baruku. Ia  mengajakku keliling sekolah dan memberitahuku berbagai hal di sana. Mungkin itu awalnya.”
“Jadi, Ron bukan asli dari kota ini?”
“Bukan.”
“Bagaimana rasanya menjadi anak baru? Pasti kau cukup populer––”
“––awalnya dia sangat membenciku.”
Pandangannya berbelok ke arahku. Antara rasa percaya dan tidak percaya terlintas dalam pikirannya. Aku tetap datar memandang mangkuk salad yang sudah tidak ada isinya. Awalnya, aku tidak akan memberitahukan hal ini, tapi––tanpa sengaja perkataan-perkataan itu keluar dari mulutku. Aku membalas tatapannya, dan hanya tatapan kebingungan yang bisa kudapat darinya.
“Kau kenapa?”
“Aku heran, kenapa dia bisa membencimu? Aku kira dari persahabatan kalian, rasanya aneh sekali jika ada suatu hal yang tidak mengenakkan seperti itu muncul.”
“Setiap persahabatan tidak selalu berjalan mulus. Persahabatan itu memang menyenangkan, namun juga tidak. Kadang kala kita dapat membenci sahabat kita sendiri hingga tidak memaafkannya, dan kadang kita dapat mengorbankan apa yang bisa kita korbankan kepada sahabat kita, menyedihkan. Lagipula, awal dia membenciku adalah awal dari kita untuk memulai persahabatan.”
Ia terdiam, bingung akibat mendengarkan penjelasanku. Aku memfokuskan pandanganku ke depan sambil menunggu kedatangan Ed. Kuubah posisi kedua tanganku dengan menyembunyikannya di saku celana.
Hawa tajam nan menusuk kembali datang menghampiriku. Panas, dingin, semuanya bercampur menjadi satu. Aku dapat merasakannya––begitu menakutkan. Entah berasal dari mana, perasaan ini mengingatkanku akan kejadian di saat diriku akan bertemu dengan Azura, tapi––ini jauh lebih menakutkan. Pandanganku kabur, sekelilingku buram. Hanya beberapa siluet tertangkap oleh penglihatanku. Perlahan semuanya menghitam, kelam, dan gelap gulita. Aku terduduk sambil memperhatikan sekelilingku. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku seorang diri disini. Dimana Aria yang semula duduk di sebelahku? Dimana Ed? Dimana yang lainnya? Aku berdiri, dan berlari untuk terus mencari siapa pun yang ada di ruang hitam ini. Berlari dan terus berlari tanpa peduli dengan keringat yang membasahiku. Ruangan ini tidak ada batasnya dan begitu menyulitkanku. Apakah ini ruang ilusi buatan Azura? Entahlah. Dengan jarak yang tidak jauh dariku, aku dapat mendengar derap langkah kaki seseorang mendekatiku. Ia dibelakangku dan membuatku berbalik menghadapnya. Seberkas cahaya tampak dari lampu minyak yang dibawanya––sedikit menjelaskan pandanganku untuk melihat sosok yang sekarang berhadapan denganku.
   “Azura?”
Azura, ia tidak menjawab sapaanku. Aku terus memanggilnya, dan berjalan mendekatinya yang berdiri di depanku dengan lampu minyak yang dibawanya. Tatapannya kosong. Warna darah dari matanya terus menatapku. Ia bagaikan boneka, tidak bergerak sedikit pun. Kusentuh dahinya dengan jariku hingga dapat kurasakan sebuah cairan mengenai telunjukku.
“Cairan apa ini?”
Cairan merah, dengan bau anyir yang menusuk hidungku. Ini darah. Aku terkejut dan refleks memundurkan langkahku. Dapat kulihat dari ujung kepalanya perlahan mengeluarkan cairan merah itu. Begitu derasnya hingga membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya yang pucat ternodai oleh warna darah. Rasa takut ini terus menghantuiku. Tanpa kusadari lantai yang kupijakkan penuh oleh darahnya. Semuanya merah. Aku sedikit berteriak akan keterkejutanku. Aku terus memandangnya, memandang tatapan kosong yang dimilikinya. Ia tetap tidak bergeming.
“Azura! Ada apa dengan semua ini! Jawab pertanyaanku!”
Tak ada respon darinya. Dapat kurasakan sebuah tangan  merangkul leherku dari belakang secara tiba-tiba. Begitu kuat hingga membuat leher ini tercekik. Nafasku terputus––susah sekali untuk berteriak. Aku takut, Azura tetap tak bergerak, dan seorang lagi yang ingin membunuhku dari belakang. Orang itu menutup mulutku dan menarik sebagian kerah bajuku ke bawah. Tenaganya yang begitu kuat membuatku susah untuk melawannya. Bulu kudukku berdiri, tubuhku bergetar, dan keringat dingin terus membasahi sekujur tubuhku akibat perasaan takut yang tak kunjung padam.
Tak kusangka kau selemah ini, Ron.
Ia tahu namaku. Siapa dia? Dari suaranya dapat kuketahui bahwa dia seorang pria. Aku tak dapat melihat dengan jelas wajahnya di ruang gelap ini, yang dapat kurasakan hanyalah sepasang tangan yang menutupi mulut dan memegang kerah bajuku. Rambut-rambut lengan dan jari-jari kukunya perlahan memanjang. Ukuran tangan yang semula mirip dengan ukuran tanganku, perlahan ikut membesar. Sekujur tubuhnya dibaluti oleh rambut, ia mengaum tepat di samping telingaku. Apakah dia manusia yang bisa berubah jadi seekor hewan? Apakah dia serigala? Hanya pertanyaan itu yang tertanam di pikiranku.
Di saat itu juga beberapa taringnya masuk menancap leherku. Mataku melebar, kaget akan hal ini. Darahku mencuat keluar membasahi leher bahkan mengenai wajahku. Alirannya begitu deras dan sangat hebat. Aku tak dapat memberontak akibat merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aku hanya dapat memegang lengannya. Aku tahu ia bukan vampir––dengan sekujur tubuhnya yang berbalut rambut-rambut panjang. Akan tetapi, ia juga menginginkan darah atau––ia hanya ingin membunuhku? Jantungku terus berpacu, ini berdetak begitu hebat. Kurasakan aliran darahku ditarik oleh mulutnya. Kurasakan aliran darahku mengalir pada masing-masing pembuluh. Taringnya yang menembus dagingku membuatku teringat akan tragedi beberapa tahun lalu––tragedi ulang tahunku.  Azura tetap terdiam memandangku, hingga aku menyadari suatu hal aneh dari diri wanita itu. Perlahan sosok wanita itu berubah menjadi sosok yang sangat familiar bagiku. Ia begitu mungil dengan warna karamel pada rambutnya.
“Aria? Kenapa kau––?” tanyaku dalam hati.
“Maafkan aku, Ron.”
Ia menangis. Seluruh anggota tubuhnya tiba-tiba terputus, mengeluarkan darah. Mataku semakin melebar, adreanlinku memuncak, semuanya penuh dengan darah––begitu juga dengan tubuhku yang masih tergigit. Semuanya bermandikan oleh caira merah itu. Aku ingin berteriak, aku ingin bebas dari tempat ini. Semua ini membuatku takut, semuanya mengingatkanku akan tragedi itu. Tuhan, ibu, ayah, bibi Rosetta, kalian semua dimana? Aku membutuhkan pertolongan kalian. Aku tidak ingin di sini sendiri, aku tidak ingin melihat gadis mungil itu mati di depanku. Gadis itu––Aria––
“ARIA!”
“Ron! Kenapa?”
Sentuhan tangan yang lembut mengenai bahuku. Sentuhan ini dan suara itu? Apakah suara itu Aria? Aku membenarkan posisi dudukku. Sepasang tanganku tetap memegang sisi samping kepala. Ini membuatku bingung, setelah kuperhatikan sekelilingku semuanya tidak berubah. Aku masih berada di Red Rose Cafe, masih terduduk di sebelah Aria. Tidak ada ruang hitam dan genangan darah di sekelilingku, tidak ada seorang pria yang menancapkan taringnya dari belakangku. Apakah tadi hanyalah halusinasiku? Atau sebuah ilusi yang dibuat oleh seseorang untukku? Kupegang leherku––sama sekali tidak ada bekas tusukan taring. Sekujur tubuhku bersih tidak ternodai oleh darah sedikit pun. Pandanganku berbelok ke Aria, ia tetap utuh dengan anggota tubuhnya yang lengkap. Tidak ada cairan merah yang keluar dari tubuhnya. Ia menatapku heran dan terus bertanya apa yang terjadi padaku.
“Kenapa memanggilku, Ron? Apa barusan kau bermimpi? Apa mimpi buruk datang menghampirimu? Wajahmu sedikit pucat, kau sakit?”
“Aku––”
Refleks aku langsung memeluknya. Begitu erat dan membuatku tak ingin melepasnya. Syukurlah dia masih hidup, syukurlah dia tidak seperti dalam bayanganku sebelumnya. Aku tidak ingin melihatnya mati seperti itu. Aku tidak ingin warna karamel pada rambut dan sepasang zamrud yang ia miliki harus ternodai oleh warna merah. Itu begitu menakutkanku. Aku tak melepaskan pelukanku, semakin mengeratkannya dan itu membuatnya sedikit merintih. Kupegang rambutnya yang wangi dan lembut, untunglah aku masih dapat merasakannya. Aku tahu ia pasti sangat malu saat ini. Dapat kurasakan degupan jantungnya yang bergerak cepat. Ia terus memanggil namaku untuk melepaskannya namun––aku tidak mempedulikannya. Aku tidak menyadari bahwa orang-orang di sekelilingku memperhatikan kami berdua, hingga seseorang menyadarkanku dengan tegurannya.
“Ehm, mau sampai kapan tuan memeluk gadis itu? Lihat! Mukanya bagaikan warna tomat saat ini. Mungkin panas dan perasaan malu itu bercampur mejadi satu pada dirinya. Kau tahu? Dari tadi sekelilingmu terus memperhatikan tingkahmu. Jadi kalian memanfaatkan kesempatan selagi aku nggak ada? Benar begitu, Ron?” Edward nyengir. Ia sedikit memajukan wajahnya untuk mengetahui pengakuanku. Aku tahu dia sedang bercanda, tapi––ini juga membuatku malu. Aku melepaskan pelukanku pada Aria. Ia menunduk dan menutup mulutnya, mukanya memerah––persis dengan apa yang dikatakan Ed.
“Barusan aku sudah membayar sarapan untuk pagi ini. Tadi kuperhatikan dari jauh, ada seseorang berdiri tak jauh di belakangmu. Apa itu temanmu?”
“Teman?”
“Kau tidak merasakannya? Aku memperhatikannya dari jauh. Ia menggunakan jaket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia juga mengenakan topi hitam dan celana jeans. Ia berdiri menghadapmu.”
“Menghadapku? Aku tidak tahu, dan waktu itu aku tidak berbalik untuk melihatnya.”
“Kau tidak melihatnya juga Aria? Kau tidak merasakannya? Saat dia berbalik membelakangi kalian, kulihat pada kantung jaketnya ada sebuah kacamata yang tergantung disitu.”
“Aku juga tidak melihatnya.”
“Benarkah? Padahal aku dari tadi memperhatikannya. Apa aku salah lihat? Tidak mungkin, tapi––aku juga tidak terlalu jelas melihat rupa wajahnya.”
“Mungkin kau melihat hantu atau kau salah liat, Ed.”
“Hahaha, mungkin juga, Ron. Sudahlah, aku jadi takut untuk membahasnya. Ayo kita pulang.”
Seseorang yang memperhatikanku? Ia berdiri tidak jauh dari belakangku? Hanya Ed yang dapat melihatnya, sedangkan Aku dan Aria––kami sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Apakah dia pelaku pembuat ilusi barusan? Entahlah, semoga apa yang dikatakan Ed itu tidak benar.
****

9 komentar:

  1. 1. Azura pernah mengatakan kalau bekas luka ini tidak akan bisa hilang karena perbuatannya
    2. Si ron kagak suci lagi dong coz dah kena cium azura... wkwkwkwk XD
    3. Si ed lebay banget & minum milk shake aja udah 4 kali, trus sakit prut lagi, kenapa jadinya keliatan oon ya ??... wkwkwkwkwk
    4. "daritadi..." penulisannya dipisah : "dari tadi" (yang benernya)
    5. Klo mba tebak musuh barunya si kacamata yg adek posting di fb kan ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. Oh iye iye, thanks
      2. Ha ah ya. udah dua kali lagi tuh :)), kasian Aria, kesempatannya kemanaa??
      3. emg karakter Ed sngaja dibuat ky gitu. jadi ada karakter penghiburnya. klw g ada ed, psti ceritanya serius trus.
      4. oh baru tau -_-, oke tar diedit
      5. yup. tapi namanya blum ditentukan. mw nanya ke mbak, tp pst ntr mbadut bwt nama yg susah2.

      Hapus
    2. namenye mo nama jepang ke ? atau barat ??

      Hapus
    3. nama baratlah, itu kan settingan barat ceritanya ;;).
      tpi ntr adek pikir sendiri deh. mbadut suka kasih nama2 yg susah. komen gimana ceritanya?

      Hapus
    4. komen ? tak banyak macem2nya sih... yg di atas tu komen mba. kayaknya bntar lagi mo tamat ya ??

      Hapus
    5. belum tamat. nnt masih agk panjang.
      soalnya musuh ron g hanya satu itu.
      dan ron blum ditentukan jodohnya sm pengaranganya, dia diapit dua cewek sih, jd pengarangnya bingung :)).
      llu ntr ada pengungkapan masa lalu azura dan aria.
      ntr juga ada alasan kenapa musuhnya juga azura mengincar dirinya.
      oh ya, yg bgian prolog cerita(yg ada peperangan), itu salah ya, sbnrnya bukan ttg peperangan, tpi emg hampir mirip ceritanya. prolognya nnt akan ada pembaruan, dan skrg sdg dlam proses pengerjaan.

      Hapus
    6. kasian adek galau nentuin jodohnya wkwkwkwk XD
      onyeeeh... mba tunggu lanjutannya :D

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus