30 Oktober 2012

DECEMBER 26TH (Chapter 7/Part 1)


CHAPTER 7
-The Black-

Begitu panas namun juga dingin. Hawa dingin bersaing dengan panasnya sebuah rasa yang dirasakan sekarang. Perbedaan yang begitu kontras antara luar dan dari dalam badan ini. Tenggorokan terasa kering, mata yang tiada henti-hentinya mengeluarkan cairan beningnya. Bulir-bulir keringat yang merupakan hasil ekskresi kulit terus muncul dan mengalir dari area pelipis. Tangan dingin yang mencengkram area di sekitarnya demi menahan rasa sakit. Ingin rasanya berteriak namun tidak bisa. Debaran jantung yang begitu hebat, perkataan-perkataan yang tak sanggup untuk dikeluarkan––bagaikan leher yang tercekik. Bagaikan suatu roh yang masuk dalam tubuh namun sebenarnya tidak sama sekali. Derita inilah yang sekarang dirasakan oleh gadis mungil yang sedang terbaring di kasur, Aria.
Perlahan-lahan dirinya membuka mata, rintihan suaranya sedikit demi sedikit terdengar jelas. Aku mencoba menenangkan dengan menggenggam tangan mungilnya. Pandangan awalnya yang tertuju ke langit-langit kamar, berpindah kepadaku. Ia menatapku dan mengeluh, “Rasanya panas, sangat panas”. Deritanya inilah kemungkinan besar efek dari ramuan pemberian Azura. Ramuan itu kucampurkan pada minuman hangat sebelum diberikan kepada Aria. Aku sejenak teringat akan perkataan wanita itu, Ramuan ini sangat cepat reaksinya, namun mungkin awalnya kau bisa melihat sesuatu yang tidak enak.
Rupanya memang benar. Aria begitu gelisah, menderita menahan rasa sakit yang dirasakan badannya. Nafasnya yang sediki terputus, dengan warna merah muda menghiasi kedua pipinya. Genggamanku perlahan mengendur, memberikan ruang bagi tangannya agar dapat bergerak bebas. Ekspresiku tetap datar memandangnya walau dalam hati terus bertanya akan kemanjuran dari efek ramuan tersebut. Entah ramuan itu dapat dipercaya atau tidak, tapi aku terus bersabar melihat perkembangan kesehatan Aria. Kubersihkan dahinya menggunakan sapu tangan. Mencoba mengetahui kondisinya dengan menempelkan punggung tangan ini pada dahi, turun ke pipi hingga leher putihnya. Panasnya tidak seperti sebelumnya. Nafasnya yang mulanya sedikit terputus, perlahan-lahan dapat berhembus teratur. Syukurlah, kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya.
Kembali dipejamkan sepasang matanya yang terbuka. Kepalanya bergerak menghadapku yang duduk di sebelah kasurnya. Ia tak mengucapkan kata-kata lagi  setelah mengeluh. Mungkinkah dia tidur kembali? Mungkin saja pikirku. Aku sedikit membenarkan posisi tidurnya serta selimut yang semula berantakan akibat kegelisahan darinya. Akan tetapi, muncul sebuah niat dariku––entahlah ini niat buruk atau tidak namun aku hanya sekedar ingin tahu kondisi kakinya setelah digigit serigala hitam itu. Selimut yang menutupnya perlahan kubuka, celana panjang yang membungkus kaki sedikit kutarik ke atas. “Untunglah bajunya sudah diganti Azura sebelum ia pergi meninggalkan kami”.
Bekas taring yang menancap betis kanannya terlihat jelas. Aku hanya dapat berdecih kesal. Seandainya saat itu aku tak melepas genggamannya, mungkin dia tidak akan mengalami ini. Dirinya selalu saja terluka jika di sampingku. Aku tak dapat melindunginya––mungkin, belum bisa.
****
“Apa? Bibi tidak pulang hari ini?”
“Ya, begitulah. Bibi ada urusan dengan teman bibi. Jadi, bibi terpaksa menginap di rumahnya selama satu hari. Jaga rumah baik-baik. Jangan lupa untuk selalu mengunci pintu rapat-rapat. Jika ada tamu yang tidak dikenal, lebih baik jangan dibuka karena bibi tidak ada di rumah. Jangan lupa membuat makan malam untukmu dan Aria. Jaga kebersihan rumah––dan yang terakhir..”
“Terakhir?”
“Sebelum menikah, jangan mengambil kesempatan untuk menodai Aria selagi bibi tidak ada.”
Telepon pun terputus. Mendengar perkataan bibi barusan, membuatku tak dapat berkomentar apa-apa. Aku tetap diam dan menaruh telepon itu pada tempatnya. Bukannya aku tidak peduli dengan perkataan bibi––hanya saja, aku bisa menjaga diriku dan aku tidak akan melakukan hal-hal yang sangat mempermalukan diriku sebagai seorang lelaki.
Dentangan jam telah menandakan pukul delapan malam. Hawa sejuk yang berasal dari luar masuk menyelimuti suasana rumah. Sedari tadi Aria tidak beranjak meninggalkan kamarnya––yang sebenarnya merupakan kamar bibi Rosetta. Aku tetap menunggunya di meja makan. Makanan hangat yang sebelumnya telah kusiapkan untuk berdua perlahan menjadi dingin. Suasana begitu sepi, hanya terdengar bunyi dentangan jam dinding. Tiada bibi Rosetta membuat suasana rumah seakan mati apalagi dengan hawa dingin yang begitu mendukung. Aku bertopang sambil memperhatikan putaran jarum panjang yang menunjukkan menit. Sudah menit yang kelima, tapi tetap saja tidak ada bunyi pintu terbuka dari tempat gadis mungil itu berada. Apakah dirinya masih tertidur? Entahlah. Kugaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Berdiri dari kursi yang telah kududuki, dan pergi beranjak meninggalkan meja makan. Tujuanku sekarang adalah ke kamarnya sekaligus ingin mengetahui perkembangan kesehatannya. Apakah dia masih sakit? Semoga saja tidak pikirku. Kuketuk dinding pintu kamarnya beberapa kali, namun tak ada respon yang kudapat dari dirinya. Perlahan kudorong gagang pintunya, mendapati sosok Aria terduduk di tempat tidur––membelakangi pintu yang menjadi tempatku berdiri sekarang. Ia tetap tidak merespon kedatanganku––sama sekali tidak menoleh ke arah belakang. Rambut karamelnya tergerai berantakan dan sedikit menampakkan leher putihnya. Tangannya tidak bergerak namun terus memeluk sebuah bantal dengan erat. Aku berjalan mendekatinya, menepuk bahunya, dan alhasil dia menoleh kepadaku.
“Kau tidak mau makan menemaniku?”
Ia hanya menatapku namun tidak mau membalas pertanyaan lawan bicaranya barusan. Ekspresinya tidak menunjukkan dirinya sedang sedih atau gelisah. Ia tetap seperti biasa, kecuali rona merah yang selalu ia tampakkan tidak terlihat. Ia tenang, masih dalam posisi terduduk dengan dirinya yang tetap memeluk bantal. Ia terus menatapku yang berdiri di sampingnya tanpa berkomentar.
“Mukamu masih pucat. Apa kau tidak mau berbicara padaku demi menahan rasa sakitmu, bukankah begitu?”
Tidak ada respon darinya.
 “Aria. Aku tak mau kau menatapku dengan tatapan seperti itu. Kau seakan-akan sedang mengetesku. Kau biasanya menatap orang-orang dengan lembut, tidak seperti sekarang ini. Jika kau ingin sesuatu, katakan itu. Aku pasti akan membantumu.”
Kembali tidak ada respon darinya.
“Aria! Tolong balas perkataan lawan bicaramu!” sedikit berteriak agar dapat menerima respon––tapi tetap tidak ada respon darinya sedikit pun.
“Aria! Dengarkan! Aku hanya ingin bicara padamu!”
Kesal. Aku pun meraih kedua tangannya, namun pelukan pada bantal itu semakin dieratkannya. Ia tak mau melepasnya. Aku terus memanggil namanya berulang kali, tapi tetap saja ia tidak mau membalas panggilanku. Tatapannya yang semula bertemu pandang dengan tatapanku, kemudian sengaja dipejamkannya. Aku mengkerut, terus berusaha untuk meraih kedua tangannya agar ia mau menjawab. Badanku yang sebelumnya berdiri tegak terpaksa sedikit membungkuk hingga refleks duduk di atas tempat tidurnya. Ia hanya dapat mengeluarkan rintihan kecil saat kedua tangannya sedikit kutarik paksa––yang juga membuatnya tersandar pada tembok. Aku senang bisa melepaskan kedua tangan yang telah memeluk erat bantal itu, tapi   matanya tetap terpejam dengan kepala menunduk yang membuat poni rambutnya sedikit menyembunyikan wajah cantiknya. Mau tidak mau, segera kupegang kedua pipinya, sedikit menarik wajahnya ke atas agar ia mau melihatku. Ia langsung memegang kedua tanganku untuk menarik dari pipinya. Akan tetapi, tetap saja tenaganya tak dapat menandingi tenagaku.
“Aku hanya ingin berbicara padamu baik-baik. Bukan untuk menyakitimu. Apa yang membuatmu seperti ini? Kau tidak mau membalas perkataanku––bahkan kau sengaja memejamkan matamu untuk tidak melihat lawan bicaramu.”
Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan kembali zamrud indah yang sempat disembunyikannya. Tanpa sadar wajah kami begitu dekat, hanya memisahkan jarak beberapa senti dari hidung kami. Hembusan nafas kami saling bertemu seakan sedang beradu. Hangat hembusan nafas dari masing-masing sumber begitu menggelitik wajah. Mataku terus terfokus untuk melihat indah warna matanya. Damai dan sangat berbeda dengan warna hitam bola mataku. Ini seperti menghipnotisku.
“..Ron.”
“Ya?”
“Aku takut akan kejadian tadi. Kejadian dimana aku merasakan kedamaian pada awalnya, merasakan keindahan alam yang begitu tenang, berjalan sambil menghirup udara segar bersamamu, namun––tiba-tiba saja berubah menjadi suatu hal yang begitu kontras dibanding sebelumnya. Tragedi yang mengerikan. Suasana sejuk yang seakan tak begitu bersahabat. Hujan deras yang kemudian menyelimuti indahnya alam hutan pinus itu. Semuanya––membuatku takut.”
“Lalu, kenapa kau tadi menghindariku di saat aku ingin berbicara denganmu?”
Aria terdiam sejenak. Ia seperti sedang memikirkan serangkaian kata yang akan dilontarkan dari mulutnya. Posisi kami tetap tidak berubah––masih dalam jarak yang begitu dekat. Sedari tadi tangan ini tetap saja tidak terlepas memegang kedua pipi lembutnya.
“Awalnya aku takut memandangmu. Tatapanmu begitu tajam, beda dengan laki-laki lain yang pernah kutemui. Warna hitam dari rambut dan matamu sedikit mengingatkanku pada serigala tadi. Sangat persis––tapi, bukan berarti aku membencimu! Aku tidak membencimu hanya karena warna yang kau miliki. Memang aku sedikit trauma dengan serigala yang tadi mengejar bahkan menggigitku. Tatapannya tajam, namun membunuh. Akan tetapi, setelah itu aku sadar bahwa kau berbeda dengannya. Tatapan tajammu justru menghangatkanku. Aku sangat menyukainya.”
Aku dapat melihatnya dari tatapanmu, tatapan kekhawatiran yang dapat menghangatkan hati.
Mendadak terlintas dalam otakku perkataan Azura sebelumnya. Jadi inikah yang disukai dari mereka? Sebuah “kehangatan” ––dariku? Diriku seakan terjepit oleh sepasang wanita yang selalu menghantui pikiran ini. Aku heran dengan apa yang mereka sukai dari diriku.
Kutarik kembali kedua tanganku dari pipinya. Sedikit memberikan jarak di antara kami berdua untuk bisa bernafas dengan lega. Akhirnya aku dapat melihat kembali rona merah yang menjalar di pipi Aria. Aria tampak keringatan––mungkin akibat dari diriku yang sudah mempersempit ruangnya. Kubenarkan poni rambutnya, serta kubersihkan bulir-bulir keringat yang telah membasahi wajahnya.
“Aku juga tidak membencimu. Terima kasih, akhirnya kau mau merespon perkataanku––dan maaf jika aku berlaku kasar padamu,” kataku datar.
Kami hanya saling berpandangan. Hening. Tak ada satupun gerakan dari tubuh kami setelah itu. Tak lama kemudian, sebuah deringan telpon genggam menghancurkan keheningan ini. Kuraih benda itu dari saku celana,  membuka kuncinya dan melihat pesan dari dalamnya.
Besok pagi maukah menemaniku sarapan di Red Rose Cafe? Aku harap kau bisa menemaniku. Aku akan menjemputmu jam 7 pagi. Thanks!
-Edward-
****

Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan kembali zamrud indah yang sempat disembunyikannya. Mataku terus terfokus untuk melihat indah warna matanya. Damai dan sangat berbeda dengan warna hitam bola mataku. Ini seperti menghipnotisku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar