29 Oktober 2012

DECEMBER 26TH (Chapter 6/Part 2)


Pikiranku seakan mati. Sedari  tadi hanya bisa terdiam dan berdiri kaku. Ketiga mahluk buas itu berjalan memutar dan semakin mendekat. Aria menyembunyikan wajahnya dalam pelukanku. Ia mengerang ketakutan. Tak ada cara lain selain kabur. Kuangkat tubuh Aria, menggendongnya tepat di depan dada. Aku berlari dengan diikuti ketiga serigala itu. Mereka begitu cepat dan menyeramkan. Tak hentinya keringat dingin keluar mengalir. Kutambah kecepatan lariku membuat Aria panik tanpa berkata-kata. Tangannya mencengkram pakaianku membuat kukunya tanpa sengaja menusuk dada. Sedikit keberuntungan yang kami dapat, kami pun bersembunyi di balik pohon pinus yang sangat besar. Kuatur nafas dan menurunkan Aria dari gendonganku. Aku tahu serigala itu pasti mengendus jejakku.
Hujan turun deras membasahi hutan. Dinginnya guyuran hujan seakan menusuk tulang. Walau sudah berlapis jaket, tetap saja Aria mengeratkan badannya. Aku mengintip dari balik pohon. Terlihat jelas dua serigala itu mengendus jejakku dan satunya sedang berjalan––mendekat ke arah kami. Aku terkejut. Ia berjalan ke arah kanan dimana pohon pinus ini berada. Kami merasa sangat waspada akan mereka. Aria berdiri di sebelah kiriku. Aku menggenggam tangannya agar ia tidak merasa takut. Tangannya bergetar dan dingin bagaikan es. Serigala itu semakin mendekat dan refleks kami bergeser ke arah kiri. Bergeser, bergeser dan terus bergeser. Hingga pada akhirnya Aria menahan lenganku. Apa yang kulihat setelah itu? Tepat salah satu serigala itu berdiri di belakangnya.
Panik. Kami kembali berlari menghindari. Kugenggam erat tangan gadis di sebelahku, namun genggaman tangan kami terlepas membuat dirinya terjatuh karena kondisi kakinya yang masih terluka. Ketika ingin menarik kembali dirinya, salah satu serigala itu lebih dulu menancapkan taring tepat pada betisnya. Ia menjerit, meronta, dan menangis, bahkan tangannya bergerak mengorek tanah. Ia ditarik oleh serigala itu. Aku berlari mengejar untuk menariknya, namun terhalang oleh kedua serigala lainnya. Dari jauh dapat terlihat dan terdengar jeritan Aria. Aku tak bisa berkonsentrasi. Kacau, semuanya kacau. Mataku tak berkedip seakan terhipnotis mata merah serigala-serigala itu. Apa yang ingin mereka lakukan setelah melihatku?
Salah satu dari serigala itu lompat dan pandangannya tertuju pada leherku. Aku tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dia akan menerkam dan merobek leher ini. Kakiku seakan terkunci membuatku tak bisa lari dari tempat, begitu juga dengan mulutku seakan mati dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Dapat dirasakan debaran jantung ini. Mata tak bisa terkatup seperti mendapat sinyal bahwa aku harus fokus melihat serigala yang akan datang menerkam. Semuanya memacu adrenalin.
Entah berasal darimana, tiba-tiba saja sebuah pedang datang menancap hingga menembus leher bagian samping serigala yang berusaha menerkam. Darahnya merembes keluar dan baunya anyir menusuk hidung. Baju putih polos ternodai oleh darah––begitu juga dengan sebagian pipiku. Untuk kedua kalinya datang sebuah pedang menancap ke tubuh serigala satunya––namun tidak pada lehernya, melainkan menembus pada punggung. Mata ini dengan jelas menangkap adegan barusan. Terkejut mendengar kekehan tawa yang sangat kukenal. Begitu familiar sosok yang menyelamatkanku. Rambut hitam panjangnya tergerai menyentuh tanah, kulit putih pucat yang ternodai cairan darah. Ia duduk dengan posisi menimpa serigala yang dibunuhnya. Azura datang menyelamatkanku.
“Maaf atas keterlambatanku, pangeranku.”, katanya tersenyum––licik?
“Aku bukan pangeranmu.”, jawabku acuh. Dirobeknya tubuh serigala yang dijadikan sebagai alas duduknya. Ia berdiri, menyapukan sisa cairan kental berwarna merah di pedang dengan jemarinya. Tatapannya tajam menangkap tatapanku. Mata merahnya begitu mengerikan bagaikan gumpalan darah. Kulit pucatnya begitu kontras dengan warna rambut dan jubahnya.
“Aku tak suka bau serigala ini. Kau mau mencicipinya?”
“Kau gila? Aku manusia, bukan vampir.”
Azura diam tak berkomentar. Tubuhnya berbalik membelakangiku. Ditunjuknya arah depan dengan telunjuk kanannya, membuat pandanganku mengikuti arahannya. “Kau tidak ingin ke sana? Bukankah gadis itu ditangkap?”.
Astaga! Tanpa sadar aku telah melupakan Aria. Aku berlari cepat meninggalkan Azura yang masih diam bertahan di posisinya. Ia tetap tenang tanpa menyusul. Nafasku tak teratur––masih merasakan sedikit ketakutan akibat kejadian sebelumnya. Bagaimana dengan keadaan Aria sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Sungguh kepanikan yang luar biasa hebatnya yang ada di dalam otak ini sekarang.
Langkahku terhenti, mendapati Aria yang terbaring tak jauh dariku berdiri. Tertangkap jelas robekan celana jeans miliknya membentuk beberapa lubang bekas gigitan seekor serigala. Kelopak mata yang tertutup menyembunyikan warna zamrud miliknya, mulut yang tetap memucat––sama seperti sebelumnya, dan dress pink yang ternodai oleh warna tanah. Aku terduduk, kuletakkan kepalanya di atas pahaku. Mencoba merasakan nafasnya dengan sedikit menghalangi kedua lubang hidungnya dengan jemariku, serta sedikit menekan pergelangan tangannya agar dapat merasakan denyut nadinya. “Syukurlah dia masih hidup––”
“Sebaiknya cepat bawa dia pergi dari tempat ini dan segera obati lukanya. Tempat ini tidak aman, aku dapat merasakan bahwa kemungkinan besar serigala lain akan datang untuk mencari jejak serigala-serigala yang sudah mati ini,” kata Azura memotong perkataanku.
Aku mengangguk, menuruti perintah Azura. Ekspresinya yang datar membuat kesan jauh lebih dingin dibandingkan saat membunuh kedua serigala sebelumnya. Kuangkat tubuh Aria tepat di depan dada, dengan diikuti oleh dirinya yang berjalan di belakang. Ia tidak mau mendahului, mungkin sekaligus berjaga agar dapat memastikan jika akan ada serigala lain yang datang. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami. Ini tidak seperti biasanya. Hari ini ia terlihat sedikit berbeda dengan Azura yang pernah kutemui pertama kali. Hanya terdengar bunyi pijakan sepatu dan patahan ranting-ranting yang terinjak. Tak lama hujan yang sebelumnya deras pun berhenti. Hawa dingin tetap saja membanjiri alam hutan ini. Dinginnya yang menusuk tulang seakan tidak pernah berhenti.
Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuh Aria di atas kasur, menekan kedua pipi dan dahinya menggunakan punggung tangan kanan. Dapat terasa jelas kulitnya yang memanas. Rasa khawatir keluar setelah mengetahui dirinya dalam keadaan tidak sehat. Astaga, aku tak dapat mematuhi perkataan bibi untuk tidak bertindak ceroboh lagi, hanya kata-kata itu yang terlintas di pikiranku. Azura yang berdiri di sebelahku tetap diam dengan pandangannya yang juga tertuju kepada gadis mungil ini. Aku pun keluar dari kamar, berjalan menuju kotak peralatan obat untuk mencari kompres. Dimana aku sedang memegang kompres, di tempat itu jugalah Azura langsung menarik memelukku. Dilingkarkan kedua lengannya pada dada ini. Hal ini membuat diriku terkejut, sekaligus bingung dengan alasan apa dia ingin memeluk. Dapat terasa wajahnya yang tersandar pada punggung ini. Hembusan nafasnya yang hangat dan geraian rambut panjang yang begitu menggelitik. Ia memelukku erat dan jari jemarinya yang mencengkram membuat kuku panjangnya menusuk dadaku.
“Apa tujuanmu?”
“Pergerakanku hanya menuruti apa yang dikatakan hasratku. Biarkan aku seperti ini sejenak. Aku ingin bersandar pada kehangatan seorang laki-laki yang kupilih. Aku sangat menginginkannya.”
“Sangat aneh rasanya jika kau mengatakan kalau aku bisa memberimu kehangatan. Bajuku yang basah ini tak kan mampu––”
“Berhentilah untuk banyak bicara. Kau bukannya tidak mampu sama sekali. Kau bisa membuktikannya––seperti di saat hutan tadi.” Hening. Aku tak dapat membalas perkataannya. Hanya terdapat pertanyaan dalam pikiranku, apakah aku telah memberikan sebuah “kehangatan” yang dimaksudnya?
“Sudah kukatakan kalau aku akan terus mengikutimu kemana pun kau pergi. Bukankah dulu aku menyatakannya seperti itu? Di hawa yang dingin saja, kau dapat memberikan kehangatan––pada gadis mungil itu. Sebuah perhatian itulah yang merupakan kehangatan baginya darimu. Di saat kakinya yang terluka, dan dirinya yang terbaring di tanah. Aku dapat melihatnya dari tatapanmu, tatapan kekhawatiran yang dapat menghangatkan hati. Gadis itu curang, ya? Dia rakus mendapatkan apa saja darimu.”
Lingkaran tangan yang awalnya mengerat perlehan mengendur. Aku berbalik menghadapnya dengan tangan tetap memegang kompres. Dirogoh saku jubahnya dan dikeluarkan satu botol kecil berisi cairan bening yang entah apa itu gunanya. Diambilnya satu tanganku untuk memberikan botol kecil itu. “Ini sangat berguna untuk menurunkan panasnya. Bawalah, dan tuangkan pada minuman hangat miliknya. Aku sudah membuktikannya melalui diriku sendiri. Ramuan ini sangat cepat reaksinya, namun mungkin awalnya kau bisa melihat sesuatu yang tidak enak.”
Tangannya yang cepat bergerak menutupi sepasang mataku. Lagi-lagi dapat kurasakan sentuhan bibirnya menekan pipi kiriku lembut. Kegugupan ini membuat wajah merona. Refleks badan ini bergerak untuk sedikit mendorongnya serta membuka kedua mata yang semula tertutup untuk melihat apa yang terjadi setelah itu. Hanya saja tak ada lagi sosok dirinya yang berdiri setelah menciumku.
“Kemana perginya dia?”
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar