Pikiranku seakan mati. Sedari tadi hanya bisa terdiam dan berdiri kaku.
Ketiga mahluk buas itu berjalan memutar dan semakin mendekat. Aria
menyembunyikan wajahnya dalam pelukanku. Ia mengerang ketakutan. Tak ada cara
lain selain kabur. Kuangkat tubuh Aria, menggendongnya tepat di depan dada. Aku
berlari dengan diikuti ketiga serigala itu. Mereka begitu cepat dan
menyeramkan. Tak hentinya keringat dingin keluar mengalir. Kutambah kecepatan
lariku membuat Aria panik tanpa berkata-kata. Tangannya mencengkram pakaianku membuat
kukunya tanpa sengaja menusuk dada. Sedikit keberuntungan yang kami dapat, kami
pun bersembunyi di balik pohon pinus yang sangat besar. Kuatur nafas dan
menurunkan Aria dari gendonganku. Aku tahu serigala itu pasti mengendus
jejakku.
Hujan turun deras membasahi hutan. Dinginnya guyuran
hujan seakan menusuk tulang. Walau sudah berlapis jaket, tetap saja Aria
mengeratkan badannya. Aku mengintip dari balik pohon. Terlihat jelas dua
serigala itu mengendus jejakku dan satunya sedang berjalan––mendekat ke arah
kami. Aku terkejut. Ia berjalan ke arah kanan dimana pohon pinus ini berada.
Kami merasa sangat waspada akan mereka. Aria berdiri di sebelah kiriku. Aku
menggenggam tangannya agar ia tidak merasa takut. Tangannya bergetar dan dingin
bagaikan es. Serigala itu semakin mendekat dan refleks kami bergeser ke arah
kiri. Bergeser, bergeser dan terus bergeser. Hingga pada akhirnya Aria menahan
lenganku. Apa yang kulihat setelah itu? Tepat salah satu serigala itu berdiri
di belakangnya.
Panik. Kami kembali berlari menghindari. Kugenggam
erat tangan gadis di sebelahku, namun genggaman tangan kami terlepas membuat dirinya
terjatuh karena kondisi kakinya yang masih terluka. Ketika ingin menarik
kembali dirinya, salah satu serigala itu lebih dulu menancapkan taring tepat pada
betisnya. Ia menjerit, meronta, dan menangis, bahkan tangannya bergerak mengorek
tanah. Ia ditarik oleh serigala itu. Aku berlari mengejar untuk menariknya, namun
terhalang oleh kedua serigala lainnya. Dari jauh dapat terlihat dan terdengar jeritan
Aria. Aku tak bisa berkonsentrasi. Kacau, semuanya kacau. Mataku tak berkedip
seakan terhipnotis mata merah serigala-serigala itu. Apa yang ingin mereka
lakukan setelah melihatku?
Salah satu dari serigala itu lompat dan
pandangannya tertuju pada leherku. Aku tahu apa yang akan dia lakukan setelah
ini. Dia akan menerkam dan merobek leher ini. Kakiku seakan terkunci membuatku
tak bisa lari dari tempat, begitu juga dengan mulutku seakan mati dan tak
sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Dapat dirasakan debaran jantung ini. Mata
tak bisa terkatup seperti mendapat sinyal bahwa aku harus fokus melihat
serigala yang akan datang menerkam. Semuanya memacu adrenalin.
Entah berasal darimana, tiba-tiba saja sebuah
pedang datang menancap hingga menembus leher bagian samping serigala yang berusaha
menerkam. Darahnya merembes keluar dan baunya anyir menusuk hidung. Baju putih
polos ternodai oleh darah––begitu juga dengan sebagian pipiku. Untuk kedua
kalinya datang sebuah pedang menancap ke tubuh serigala satunya––namun tidak
pada lehernya, melainkan menembus pada punggung. Mata ini dengan jelas menangkap
adegan barusan. Terkejut mendengar kekehan tawa yang sangat kukenal. Begitu
familiar sosok yang menyelamatkanku. Rambut hitam panjangnya tergerai menyentuh
tanah, kulit putih pucat yang ternodai cairan darah. Ia duduk dengan posisi
menimpa serigala yang dibunuhnya. Azura datang menyelamatkanku.
“Maaf atas keterlambatanku, pangeranku.”,
katanya tersenyum––licik?
“Aku bukan pangeranmu.”, jawabku acuh. Dirobeknya
tubuh serigala yang dijadikan sebagai alas duduknya. Ia berdiri, menyapukan
sisa cairan kental berwarna merah di pedang dengan jemarinya. Tatapannya tajam menangkap
tatapanku. Mata merahnya begitu mengerikan bagaikan gumpalan darah. Kulit
pucatnya begitu kontras dengan warna rambut dan jubahnya.
“Aku tak suka bau serigala ini. Kau mau mencicipinya?”
“Kau gila? Aku manusia, bukan vampir.”
Azura diam tak berkomentar. Tubuhnya berbalik
membelakangiku. Ditunjuknya arah depan dengan telunjuk kanannya, membuat
pandanganku mengikuti arahannya. “Kau tidak ingin ke sana? Bukankah gadis itu ditangkap?”.
Astaga! Tanpa sadar aku telah melupakan Aria.
Aku berlari cepat meninggalkan Azura yang masih diam bertahan di posisinya. Ia
tetap tenang tanpa menyusul. Nafasku tak teratur––masih merasakan sedikit
ketakutan akibat kejadian sebelumnya. Bagaimana dengan keadaan Aria sekarang?
Apakah dia baik-baik saja? Sungguh kepanikan yang luar biasa hebatnya yang ada di
dalam otak ini sekarang.
Langkahku terhenti, mendapati Aria yang
terbaring tak jauh dariku berdiri. Tertangkap jelas robekan celana jeans miliknya membentuk beberapa lubang
bekas gigitan seekor serigala. Kelopak mata yang tertutup menyembunyikan warna
zamrud miliknya, mulut yang tetap memucat––sama seperti sebelumnya, dan dress pink yang ternodai oleh warna
tanah. Aku terduduk, kuletakkan kepalanya di atas pahaku. Mencoba merasakan
nafasnya dengan sedikit menghalangi kedua lubang hidungnya dengan jemariku,
serta sedikit menekan pergelangan tangannya agar dapat merasakan denyut
nadinya. “Syukurlah dia masih hidup––”
“Sebaiknya cepat bawa dia pergi dari tempat
ini dan segera obati lukanya. Tempat ini tidak aman, aku dapat merasakan bahwa
kemungkinan besar serigala lain akan datang untuk mencari jejak serigala-serigala
yang sudah mati ini,” kata Azura memotong perkataanku.
Aku mengangguk, menuruti perintah Azura.
Ekspresinya yang datar membuat kesan jauh lebih dingin dibandingkan saat
membunuh kedua serigala sebelumnya. Kuangkat tubuh Aria tepat di depan dada,
dengan diikuti oleh dirinya yang berjalan di belakang. Ia tidak mau mendahului,
mungkin sekaligus berjaga agar dapat memastikan jika akan ada serigala lain
yang datang. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami. Ini tidak seperti
biasanya. Hari ini ia terlihat sedikit berbeda dengan Azura yang pernah kutemui
pertama kali. Hanya terdengar bunyi pijakan sepatu dan patahan ranting-ranting
yang terinjak. Tak lama hujan yang sebelumnya deras pun berhenti. Hawa dingin
tetap saja membanjiri alam hutan ini. Dinginnya yang menusuk tulang seakan
tidak pernah berhenti.
Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuh Aria
di atas kasur, menekan kedua pipi dan dahinya menggunakan punggung tangan kanan.
Dapat terasa jelas kulitnya yang memanas. Rasa khawatir keluar setelah
mengetahui dirinya dalam keadaan tidak sehat. Astaga, aku tak dapat mematuhi
perkataan bibi untuk tidak bertindak ceroboh lagi, hanya kata-kata itu yang
terlintas di pikiranku. Azura yang berdiri di sebelahku tetap diam dengan
pandangannya yang juga tertuju kepada gadis mungil ini. Aku pun keluar dari
kamar, berjalan menuju kotak peralatan obat untuk mencari kompres. Dimana aku
sedang memegang kompres, di tempat itu jugalah Azura langsung menarik memelukku.
Dilingkarkan kedua lengannya pada dada ini. Hal ini membuat diriku terkejut,
sekaligus bingung dengan alasan apa dia ingin memeluk. Dapat terasa wajahnya yang
tersandar pada punggung ini. Hembusan nafasnya yang hangat dan geraian rambut
panjang yang begitu menggelitik. Ia memelukku erat dan jari jemarinya yang
mencengkram membuat kuku panjangnya menusuk dadaku.
“Apa tujuanmu?”
“Pergerakanku hanya menuruti apa yang
dikatakan hasratku. Biarkan aku seperti ini sejenak. Aku ingin bersandar pada
kehangatan seorang laki-laki yang kupilih. Aku sangat menginginkannya.”
“Sangat aneh rasanya jika kau mengatakan
kalau aku bisa memberimu kehangatan. Bajuku yang basah ini tak kan mampu––”
“Berhentilah untuk banyak bicara. Kau
bukannya tidak mampu sama sekali. Kau bisa membuktikannya––seperti di saat
hutan tadi.” Hening. Aku tak dapat membalas perkataannya. Hanya terdapat
pertanyaan dalam pikiranku, apakah aku telah memberikan sebuah “kehangatan”
yang dimaksudnya?
“Sudah kukatakan kalau aku akan terus
mengikutimu kemana pun kau pergi. Bukankah dulu aku menyatakannya seperti itu?
Di hawa yang dingin saja, kau dapat memberikan kehangatan––pada gadis mungil
itu. Sebuah perhatian itulah yang merupakan kehangatan baginya darimu. Di saat
kakinya yang terluka, dan dirinya yang terbaring di tanah. Aku dapat melihatnya
dari tatapanmu, tatapan kekhawatiran yang dapat menghangatkan hati. Gadis itu
curang, ya? Dia rakus mendapatkan apa saja darimu.”
Lingkaran tangan yang awalnya mengerat
perlehan mengendur. Aku berbalik menghadapnya dengan tangan tetap memegang
kompres. Dirogoh saku jubahnya dan dikeluarkan satu botol kecil berisi cairan
bening yang entah apa itu gunanya. Diambilnya satu tanganku untuk memberikan
botol kecil itu. “Ini sangat berguna untuk menurunkan panasnya. Bawalah, dan
tuangkan pada minuman hangat miliknya. Aku sudah membuktikannya melalui diriku
sendiri. Ramuan ini sangat cepat reaksinya, namun mungkin awalnya kau bisa
melihat sesuatu yang tidak enak.”
Tangannya yang cepat bergerak menutupi sepasang
mataku. Lagi-lagi dapat kurasakan sentuhan bibirnya menekan pipi kiriku lembut.
Kegugupan ini membuat wajah merona. Refleks badan ini bergerak untuk sedikit
mendorongnya serta membuka kedua mata yang semula tertutup untuk melihat apa
yang terjadi setelah itu. Hanya saja tak ada lagi sosok dirinya yang berdiri
setelah menciumku.
“Kemana perginya dia?”
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar