03 Juli 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 2/Part 2)

Hari pun berganti, setiap paginya Bibi Rosetta menyiapkan sebuah sandwich dan segelas susu coklat untukku. Aku turun dari tangga dan tanpa sengaja menguap dengan lebar. Bibi Rosetta yang sedari tadi memandangku––mendengus kesal.
“ Ron, bibi sudah sering menasihatimu untuk tutup mulut jika menguap.”
“ Ya, maaf. Aku lupa.” jawabku singkat, dan jelas. Aku pun duduk di kursi dan mengambil sepiring sandwich yang sudah disediakan olehnya di atas meja makan. Sandwich buatannya sangat enak, tidak kalah dengan sandwich yang biasa kumakan saat sarapan di kantin sekolah. Rasanya lezat dan dagingnya gurih. Setelah memakannya, tak lupa kuminum segelas susu coklat dan langsung bergegas pergi menuju sekolah. Seperti biasa, Bibi Rosetta memberi sedikit uang untuk bekalku nanti. Setelah berpamitan, aku pun keluar dari rumah.
“ Selamat pagi, Ron!”
“ Pagi.”
Aria, gadis yang kukunjungi kemarin––menyapaku dengan ramah. Ia mendekatiku sembari menjijnjing tas tangannya. Aku hanya diam, mencoba membersihkan debu dari sepeda lamaku dan kemudian mendorongnya pelan. Semakin lama, ia semakin mendekatiku. Aku terus berjalan––tidak mempedulikannya, namun gadis itu tetap saja mengejarku dan menyajarkan langkahnya dengan langkahku.
“ Ke sekolah kau menggunakan sepeda, ya? Kenapa tidak menggunakan mobil?”
“ Bibi tidak mengizinkanku untuk mengendarai mobilnya.”
“ Oh, tapi kau bisa, kan?”
“ Ya, begitulah.”
Di sepanjang jalan, kami terdiam––hanya terdengar suara kicauan para burung, langkah kaki dan suara sepeda yang kudorong saat ini. Ia menundukkan kepalanya. Entah apa yang dipikarkannya sekarang. Apa dia masih takut denganku? Kurasa itu mustahil. Jika dia takut denganku, tidak akan mungkin dia menyapaku dan berjalan bersamaku seperti sekarang. Kuperhatikan sedikit dirinya dari samping, terlihat jelas wajahnya yang memerah.
“ Apa kau demam?”
“ Eh! Tidak, kok. Apa aku terlihat seperti orang sakit?”
“ Entahlah.”
Kami pun kembali terdiam. Sunyi dan hening. Jarang sekali kendaraan yang berlalu lalang melewati jalan ini. Wajar saja, daerah ini sedikit terpencil dan masih banyak terdapat hutan pinus atau apalah, aku juga tidak terlalu mengetahui namanya. Daerah ini sangat rawan, dan jarang sekali ada penduduknya. Saking sedikitnya, tetangga di sebelah rumahku hanya satu yaitu, Aria. Sebenarnya dari nama daerah ini sudah dapat ditebak kondisinya––‘Peaceful Town’ itulah namanya.
Tak lama, aku pun gerah dengan situasi seperti ini. “ Seperti berjalan di kuburan saja,” batinku dalam hati. Aku memang orang yang irit dalam berbicara––itu memang benar, namun, jika jalan berbarengan dengan seseorang dan orang itu tidak mau membuka pembicaraannya––aku sama sekali tidak suka. Kemudian, aku pun menduduki jok sepeda dan perlahan mengengkolnya.
“ Kau mau ke sekolah juga, kan?”
“ Tidak, Ron. Aku mau pergi ke tempat kerja.”
“ Memangnya kau tidak sekolah?”
“ Aku sudah berhenti sekolah sejak dua bulan yang lalu.”
“ Oh, begitu.”
Aku sedikit terkejut setelah mendengar pernyataannya. Walaupun begitu, aku berusaha untuk tenang dan tetap memasang tampang datar. Tanpa banyak basa-basi lagi, aku pun berpamitan padanya, pergi meninggalkannya dan mengendarai sepeda lamaku. Sungguh tidak berperasaannya aku ini, meninggalkan gadis kenalanku sendirian di jalan. Kurasa itu bukan apa-apa, karena ini masih pagi.
Tanpa kau sadari, seseorang terus mengikuti gerak-gerikmu dari belakang.

****

“ Maukah kau mencicipi pasta buatanku, Ron?”
“ Tidak, terima kasih. Dilihat dari luar, pasti rasanya hambar.”
Edward––satu-satunya sahabat baikku di sekolah, menjitakku dengan sangat tidak berperasaan. Setelah puas melakukannya, dia mengomel, berceloteh bahkan bereaksi berlebihan di hadapanku. Sungguh tidak tahu malu, apa dia tidak sadar bahwa sekarang ini kita sedang berada di tengah kantin, dan itu membuat diri kita menjadi pusat perhatian siswa-siswi di sini. Kadang aku merasa kesal dengan celotehannya. Akibatnya, aku tidak dapat berkonsentrasi dengan novel misteri yang sedang kubaca.
“ Apa sih maunya dia? Hal kecil saja jadi masalah,” pikirku dalam hati. Sudah tiga menit lebih dia berceloteh––sama saja seperti menghabiskan satu buah lagu. Ingin rasanya kugunting telinga ini, namun Tuhan sama sekali tidak mengizinkanku untuk merusak segala sesuatu yang telah dititipkan-Nya kepadaku. Akhirnya, aku hanya bisa mendengus kesal. Kututup novel ini rapat-rapat dan melemparnya ke atas meja. Senang sekali rasanya, ia sukses kubuat diam dan  tenang.
“ Sudah tenang? Aku jadi tidak konsentrasi membaca tau.”
“ Oh, begitu? Maaf banget, ya!” jawabnya ketus. “Memangnya kau sedang baca novel apaan sih? Novel misteri melulu, apa nggak takut?”
 “ Nggak. Buat apa takut? Aku kan hanya membaca fiksi. Cuman khayalan pengarang saja.”
“ Huh! Aku sama sekali tidak suka novel. Kurasa komik lebih baik dibandingkan novel. Cerita apa yang barusan kau baca?”
“ Drakula, Sang Vampir Legendaris.”
“ Apa!” teriaknya keras di samping telingaku. Kurasakan telingaku sedikit berdengung akibat teriakan dahsyat maha karyanya itu. “ Cerita itu kan sudah kuno sekali. Masa’ kau baru membacanya? Kau ketinggalan zaman juga rupanya.”
“ Kurasa iya. Awalnya aku sama sekali tidak tertarik dengan ceritanya. Tapi, lama kelamaan aku penasaran dan akhirnya tertarik untuk membacanya.”
“ Lalu, apa pendapatmu tentang ceritanya itu?”
“ Ya, lumayan bagus. Seram juga rasanya jika di dekat kita ada vampir atau orang yang kehausan akan darah. Ia juga membunuh korbannya tanpa perasaan. Kulitnya pucat, berjubah hitam bahkan matanya yang berwarna... Merah?”
Tiba-tiba saja, aku teringat akan sosok burung gagak bermata merah yang  kutemui tadi malam. Ia juga berwarna hitam dan memiliki aura yang sangat menyeramkan––sama seperti sosok drakula yang diceritakan dalam novel tersebut. Aku dapat merasakan aura sang gagak melalui sorot matanya. Tanpa ada perintah, keringat dingin keluar melalui pelipisku dan mataku pun ikut membulat. Entah kenapa, hatiku berkata bahwa saat ini aku merasa takut.
“ Oy, kau kenapa? Kok, jadi melamun.”
“ Ah, tidak apa-apa. Aku jadi teringat sesuatu saja. Oh ya, apa kau pernah bertemu dengan gagak bermata merah?”
“ Mata merah? Aku tidak pernah melihatnya. Yang sering kulihat hanyalah bermata hitam. Itu kan hanya ada di fiksi saja. Memangnya kenapa?”
“ Tidak apa. Aku juga baru mengetahuinya dari fiksi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar