04 Juli 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 3/Part 1)


CHAPTER 3

-The Sudden Event-

Bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran hari ini telah usai. Inilah waktu yang sangat diharapkan oleh siswa-siswi di sekolah. Ada yang tampak senang, dan ada juga yang tampak sedih––terutama bagi siswa-siswi yang sangat mencintai belajar. Lain hal-nya dengan diriku, masih duduk terdiam di bangku dan tertidur dengan pulasnya tanpa sepengetahuan orang lain, kecuali Edward, teman sebangkuku. Untunglah kami berdua duduk pada deretan terbelakang dan terpojok di bagian kiri kelas.
Tak lama kemudian, kurasakan tubuhku sedikit terguncang oleh sesuatu. “ Guncangan apa ini?” gumamku. Kubuka perlahan kedua mataku, dan rupanya Edward-lah pelaku ‘pengguncangan’ sebenarnya. Ia mengguncang tubuhku yang masih tertidur pulas di bangku.
“ Mau tidur sampai kapan, ‘Ron Si Pemalas’? Kau sudah menghabiskan satu jam pelajaranmu untuk tidur.”
“ Benarkah? Gawat, aku belum mencatat sama sekali.”
“ Sudahlah, lagipula kau sudah pintar. Tidak perlu mencatat pun rangkingmu tetap yang pertama. Sayangnya, dari semua kelebihanmu kau memiliki dua kekurangan.”
“ Oh, ya? Apa itu?”
“ Kau terlalu cuek dan tidak tampan sepertiku!”
“ Terima kasih. Aku tahu kau memang manusia paling tampan dan terpeduli di muka bumi ini. Semua orang tersanjung akan kehebatanmu, tapi, entah kenapa aku lebih sering mendapatkan surat cinta dibandingkan dirimu yang tampan nan rupawan bagaikan pangeran.”
“ Itu hanya kebetulan saja! Mata cewek-cewek di sekolah ini semuanya rabun!”
Aku menghela nafas mendengarnya. Dari dulu ia memang tidak ingin kalah dariku. Sebenarnya apa yang ia inginkan agar bisa menang dariku? Padahal dia sudah kaya raya, ceria, cukup pintar, dan peduli kepada siapa saja. Tidak ada satu pun kekurangan darinya dibandingkan diriku yang apa adanya.
Kami pun keluar kelas dan pergi menuju halaman parkir kendaraan siswa. Edward sekedar menemaniku, ia sama sekali tidak mengendarari kendaraannya. Ia selalu di jemput oleh supir dan dua pengawal pribadinya menggunakan sedan hitam merk ternama. Sedangkan aku, hanya pergi menggunakan sepeda lamaku.
Tak jauh dari tempat kami berdiri, kulihat segerombolan siswa berkumpul mengelilingi sepedaku. Entah apa yang ingin mereka perbuat, karena penasaran aku pun melangkah cepat ke tempat mereka dan tak lupa disusul oleh Edward. Tak kusangka rupanya mereka adalah preman sekolah yang sangat kubenci. Mereka mencoba merusak sepedaku dengan alat-alatnya––bahkan menendangnya. Sungguh, aku sangat tidak suka dengan pemandangan ini. Aku sama sekali tidak bisa menahan emosi. Kulempar tas ransel hitamku ke Edward, dan tanpa perintah, aku langsung menarik jaket dari salah satu pemiliknya ke belakang.
“ Mau apa kau dengan sepedaku?” tanyaku pada mereka. Kurasakan emosiku bergejolak saat ini. Ingin sekali rasanya kulukai satu persatu muka mereka bertiga.
“ Wah, wah, wah. Si pecundang di sekolah ini sudah datang rupanya.” Jawab Matt, ketua dari preman tersebut.
“ Kenapa? Kau iri dengan ‘pecundang’ sepertiku? Dasar ‘Preman Sial’.”
Aku tidak peduli jika mereka mengataiku tidak sopan atau apa. Sekarang pusat perhatian para siswa-siswi yang berlalu lalang di daerah ini tertuju kepada kami.
Matt yang sedari tadi kesal, meremas kedua tangannya, dan dengan cepatnya ia melayangkan serangannya tepat di pipi kiriku. Aku jatuh tersungkur. Serangannya begitu keras dan membuat darah segar sedikit mengalir dari mulutku. Edward segera menolongku, ia membenarkan posisiku yang awalnya terbaring di tanah menjadi terduduk. Sebelum sempat mengusap  darah yang mengalir dari mulutku ini, Matt terlebih dahulu menarik kerah bajuku, dan memberikan tendangannya tepat di perutku. Aku merintih kesakitan. Edward mencoba membantuku membalas perbuatannya––namun, ia kalah cepat. Kedua anak buah Matt sudah terlebih dahulu memegang kedua tangannya.
Siswa-siswi yang sedari tadi memperhatikan perkelahian, bersorak––bahkan melambaikan tangan untuk mendukung salah satu diantara kami. “ Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?  Bukannya membantu menghentikan perkelahian. Kemana para guru disaat kami berkelahi?” pikirku dalam hati. Aku berdiri dan mencoba memberikan serangan tinju tepat di muka Matt. Akan tetapi, hasil yang diperoleh tidak memuaskan. Dengan cepatnya ia menahan tangan kananku dan menendang perutku untuk kedua kalinya. Kini, darah segar begitu banyak mengalir dibandingkan sebelumnya. Aku terjatuh––kembali terbaring di tanah. Kudengar Edward berteriak memanggil namaku. Ia mencoba memberontak, namun ia terlalu lemah dalam perkelahian––sama halnya sepertiku.
Langkah Matt semakin mendekat, ia menarik rambutku dan seraya berkata, “ Aku benci kau. Gara-gara kau, ia berpaling dariku dan lebih memilih dirimu.”
Siapa yang dia maksud? Apa mungkin siswi yang pernah menyatakan cintanya dua minggu lalu kepadaku? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Bukankah waktu itu aku sudah menolaknya, dan buat apa dia marah kepadaku?
Matt merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang tertanya ialah sebuah pisau lipat. Ia membukanya dan mengarahkannya tepat di leher kananku. Aku mencoba bergerak, namun, entah kenapa tanganku susah sekali untuk digerakkan. Para murid menjerit melihat adegan kekerasan yang akan ia lakukan. Edward kembali meneriaki namaku, tapi usahanya kembali sia-sia karena salah satu anak buah Matt berhasil memukul tengkuknya. Ia jatuh berlutut dan pingsan.
Matt tertawa geli melihatku tak berdaya. Kurasakan sedikit ujung mata pisaunya menusuk leherku. Sedikit tergerak ke depan dan membuat darah mengalir keluar secara perlahan. Ingin sekali aku berteriak untuk melepaskan rasa sakitnya––tapi, entah kenapa tenggorokkanku seakan-akan tercekik sesuatu. Nafasku sedikit terputus dan aku pun hanya bisa menutup mata. Dalam hati kuberkata bahwa aku ingin terbebas dari perlakuan kejamnya. Ingin sekali kuhancurkan dia tepat di hadapanku. Ingin sekali aku membunuhnya––hasratku berkata demikian.
Kurasakan suatu energi merasuki tubuhku sekarang juga. Panas sekali rasanya. Emosiku pun ikut bergejolak seraya mengikuti panasnya  energi yang seakan-akan membakar tubuhku sekarang ini.
Tak terasa langit pun berubah menjadi gelap, angin berhembus kencang dan membuat para murid di sekolah ini satu persatu memasuki gedung sekolah. Kilat menyambar dan petir ikut bergemuruh demi meramaikan suasana. Begitu menyeramkan situasi sekarang ini. Matt menghentikan aktifitas gilanya. Sedikit rasa takut tergambar jelas di wajahnya. Aku menunduk dan langsung mengenggam kedua tangan Matt. Ia bingung dengan perlakukanku sekarang.
“ Sekarang waktunya untuk membalas dendam atas perbuatanmu tadi.”
“ A-apa katamu? Kau sudah gila, ya!”
Masih dalam keadaan menunduk, aku pun mengambil pisau lipat yang sedari tadi digenggamnya, dan menyebabkan sedikit goresan terbuat di tangan kami. Kutegakkan kepalaku perlahan untuk memandangnya. Ia membalas pandanganku. Walaupun hujan telah turun, dapat kulihat jelas ekspresi takut dari wajahnya.
“ K-kau... M-matamu.. Matamu berwarna merah!”
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Apa katanya barusan? Mataku berwarna merah? Entahlah, aku tidak dapat melihatnya. Apa peduliku sekarang dengan warna mataku? Yang kupedulikan sekarang ini hanyalah menuruti keinginanku––yaitu, membunuhmu sekarang juga.
Aku tertawa melihatnya bergetar dalam genggamanku. Dengan cepat kulayangkan pisau lipat tepat ke lehernya. Ia berteriak––bahkan kedua anak buahnya mengikutinya dari belakang. Aku tidak peduli dengan tangisan buaya mereka. Sekarang aku senang, sedikit lagi pisau itu akan tepat menancap pada  lehernya.
“ Kaaak! Kaaak! Kaaak! Kaaak!”
Suara burung gagak menghentikan gerakanku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak sekarang. Matt yang masih berada dalam genggamanku, memberontak dan berlari menjauh bersama anak buahnya. Hujan pun turun semakin deras. Aku masih duduk berlutut di tanah, sedangkan Edward tetap terbaring tidak berdaya.
Kulihat seekor burung gagak terbang dan mendarat tepat di depanku. Tak kusangka, aku bisa bertemu dengan gagak bermata merah untuk kedua kalinya. Ia melangkah maju––berusaha mendekatiku. Aku terdiam, sorot matanya sangat tajam saat memperhatikanku. Ia kepakkan sayapnya serta dikeluarkan suaranya kembali. Entah kenapa semakin lama angin berhembus dengan sangat kencang seraya mengikuti kepakannya. Aku merinding ketakutan, gagak itu sangat menyeramkan. Ia seperti bernyanyi––namun, tidak sama sekali.
“ Aku akan selalu mengikutimu, Ron.”
Apa? Suara siapa itu? Seperti suara seorang wanita––namun, darimana asalnya suara itu? Pandanganku terus mencari ke asal suara wanita yang membisikkanku. Akan tetapi, aku tidak dapat menemukannya. Yang ada dihadapanku sekarang ini hanyalah seekor gagak. Ia terus mengepakkan sayapnya––mungkin berusaha mengambil alih perhatianku. Aku memperhatikannya, tapi lama kelamaan kurasakan energiku tersedot olehnya. Sakit dan lelah rasanya,  tanpa perintah apapun, aku terjatuh––terbaring tepat di depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar