30 Desember 2012
08 Desember 2012
DECEMBER 26TH (Chapter 7/Part 2)
Matahari
mulai menampakkan wujudnya. Sinarnya yang hangat masuk menerobos jendela, dan
alarm jam weker pun berbunyi pertanda hari sudah pagi. Suaranya yang begitu
memekakkan telinga––selalu saja
mengusik mimpi indahku. Mimpi indah dimana aku dapat merasakan sebuah kelegaan tanpa ada
pengganggu sedikit pun. Aku dapat tinggal di tempat yang tenang, tiada
serigala-serigala hitam, burung gagak, dan lainnya.
Kuperjapkan
sepasang mataku, dan mengusapnya perlahan hingga aku pun terduduk. Bunyi jam
weker yang terasa “sedikit” mengganggu di telinga itu kemudian dimatikan. Aku
meraihnya dan memandangnya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam pagi.
“Untunglah aku tidak terlambat.”
Aku
pun pergi ke tempat dimana aku bisa menyegarkan diri di bawah pancuran air.
Rasa takut akan kejadian kemarin seakan hilang terbawa oleh air yang mengalir
dari rambut hingga ke ujung kaki. Begitu segar dan menenangkan, namun aku tak
perlu mandi berlama-lama. Kusudahi kegiatan ini dengan mengeringkan badan
menggunakan handuk, dan melingkarkannya dari bawah pusar hingga lutut. Langkah
kaki ini kemudian berjalan menuju depan cermin, dimana aku dapat melihat
pantulan bayangan diriku serta bekas goresan luka yang dibuat oleh Matt dan
Azura di leher ini. Azura pernah mengatakan kalau bekas luka ini tidak akan
bisa hilang karena perbuatannya. Apakah bekas ini menjadi sebuah penanda bagi
dirinya? Aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya yang aneh. Aku juga
masih tidak mengerti tujuannya mengincarku, selalu mengikutiku, bahkan dirinya
yang sempat––menciumku? Mendadak
pikiranku sakit karena kembali memikirkannya. Memikirkan sebuah adegan dimana
saat itu bibir kami saling bersentuhan. Sentuhan yang sengaja dibuatnya paksa.
Itu sangat memuakkan bagiku. Pikiranku terus bertanya dalam hati, apakah dia
menyukaiku? Padahal kita baru saja bertemu––belum dalam waktu yang lama.
Kukenakan
dalaman putih tanpa lengan berlapis kaos hitam polos berkerah, dengan celana jeans hitam panjang. Setelah
mempersiapkan diri dengan membawa alat-alat yang akan dibawa, aku pun keluar
kamar, menuruni tiap-tiap anak tangga hingga tatapanku mendadak bertemu dengan
sosok Aria yang berdiri membelakangiku. Dirinya selalu tampil feminim dengan
baju terusan krem selutut berhias garis-garis hitam pada bajunya, dan rambut
panjangnya yang dikuncir sebagian ke belakang.
“Lebih
baik kau jangan menyiapkan sarapan.” Sapaku yang berdiri tepat di belakangnya.
“Aku
memang belum menyiapkan sarapan, ini baru saja kubuatkan minuman hangat untukmu, tapi––apa tidak apa jika aku tidak
menyiapkannya? Maaf aku telah membongkar lemari dapurmu.” Katanya sembari
memberikan secangkir teh hangat untukku. Tak butuh waktu lama, minuman itu
kuhirup dan kuteguk.
“Well––pagi
ini aku harus pergi menemani sahabatku, Ed. Jarang sekali dia mau mengajakku
sarapan bersama di kafe. Mungkin sebentar lagi dia akan datang menjemput,
tapi..”
“Tapi?”
“Aku
akan mengajakmu untuk ikut bersama. Mungkin kau masih trauma dengan kejadian
kemarin. Mungkin kau takut untuk ditinggal sendirian. Bukankah begitu? Lagipula
tempat ini sangat sepi dan aku tidak akan mungkin meninggalkan seorang wanita
sendirian di rumah ini. Aku tidak ingin makhluk-makhluk itu muncul lagi datang
me––”
“Bukannya aku tidak mau, tapi aku sedikit
sungkan untuk ikut dengan kalian apalagi aku sama sekali tidak kenal dengan
sahabatmu––”
“Ting Tong!”
Bel berbunyi memutuskan pembicaraan di antara
kami berdua. Kakiku melangkah cepat untuk segera membukakan pintu ruang tamu.
Ed yang sedari tadi berdiri di balik pintu, menampakkan cengiran khasnya sambil
melambaikan tangan padaku. Ekspresiku tetap datar, alhasil mendapat pukulan
kecil darinya tepat di bahu. Seperti biasa, ia selalu tampil dengan pakaian
yang––mungkin bisa dibilang pakaian untuk ukuran orang kelas atas. Tak lupa
pula dengan mobil Ferrari merah kesayangannya yang selalu dibawa pergi bahkan
untuk ke rumahku saat ini.
“Apa kau siap untuk menemaniku, princess?”
“Maaf, mungkin kau salah rumah.” Jika pintu
ini tidak langsung di tahan oleh kedua tangannya, mungkin benda ini sudah hancur.
“Hei, tenanglah! Aku hanya bercanda. Candaanku jangan terus kau anggap serius.
Aku lagi ingin menghibur diriku di pagi ini.”
“Keegoisanmu membuatku muak.”
“Oke, aku minta maaf. Lupakan sapaanku barusan.
Nah, apa kau sudah siap? Kalau sudah, ayo kita pergi sekarang menemaniku
sarapan.”
“Bolehkah aku mengajak seseorang?”
“Siapa?” Langkahku kembali memasuki ruang
keluarga––menemui Aria, menggenggam tangannya dan mengajaknya untuk menemui Ed.
“Gadis ini. Aku bermaksud untuk mengajaknya. Bolehkah? Aku tak akan mungkin
meninggalkannya sendirian di rumah ini. Bibiku juga lagi pergi sekarang.” Aku
tahu pasti apa reaksi Ed setelah melihat gadis mungil ini. Mengetahui bahwa Ed begitu
maniak ketika melihat gadis-gadis cantik dan manis, pasti dia akan berkomentar
setelah melihat gadis mungil ini.
“Oh My!
She’s very cute with her small body! Who is she? Your friend? Sister? Cousin?
But I kbnow that you don’t have any sister or brother, or–– is she your girlfriend? Maybe––your wife?”
“Of
course, Not. Dia tetangga sebelah. Kebetulan karena dia sedang sendirian,
lebih baik kuajak jalan bersama. Kasihan jika kutinggalkan gadis ini, mengingat
tempat ini begitu sepi dan bibi sedang tidak ada di rumah.”
“Baiklah. Aku rela untuk mengajaknya sarapan bersama.
Kebetulan dia gadis mungil yang sangat manis. Setidaknya aku bahagia tidak
jalan berdua bersama cowok. Aku lebih suka jika ada manusia dengan jenis
kelamin yang berbeda juga menemaniku jalan bersama. Tenanglah, Aria! Aku akan
menjagamu dari laki-laki jahat termasuk tetanggamu yang badannya terlalu tinggi
ini!”
Aku hanya mendengus, malas untuk membalas
kata-katanya. Seperti biasa Ed memberikan kunci mobilnya padaku. Ia lebih suka
jika aku yang mengendarai mobilnya bila pergi bersama. Seperti menjadi seorang
supir saja, pikirku. Setelah mengunci pintu rumah, dirinya duduk di sebelah
kanan depan dan Aria di belakang kami berdua. Perjalanan menuju Red Rose Cafe kira-kira membutuhkan
waktu dua puluh menit. Ed sedari tadi asyik dengan iPad kesayangannya, dan Aria––kuperhatikan dirinya dari cermin
depan, mendapati dirinya duduk tenang memandang keluar jendela. Ia tersenyum,
menampakkan serangkaian gigi dari balik mulut tipisnya. Tatapanku kembali fokus
ke depan. Sinar matahari yang menyilaukan menembus masuk melewati kaca mobil,
membuat sepasang bola mata ini sedikit menyipit akibat tidak mampu menangkap
intensitas cahaya yang terlalu besar. Ed yang mengetahui hal ini, mengambil
sebuah kacamata hitam dari dasbor dan memberikannya kepadaku.
“Thanks.”
****
“Milk
shake chocolate di kafe ini memang tiada tandingannya!”
“Pagi-pagi begini lebih baik minum minuman
yang hangat. Nggak bagus buat perutmu.”
“Terima kasih sudah pengertian kepadaku. Aku
tahu memang minuman hangat lebih baik untuk pagi hari, tapi dengan minuman
dingin ini sedikit-sedikit kejenuhanku seakan hilang dari pikiranku.”
“Kau lagi ada masalah?”
“Nope.
Aku juga sebenarnya nggak mengerti entah kenapa perasaanku begitu tidak
menyenangkan dari kemarin. Makanya aku mengajakmu untuk pergi bersamaku.
Menemaniku siapa tahu dengan berbicara bersamamu diriku sedikit lebih enak. We’re best friend, right?”
“I
dunno.”
“Dasar!”
Ed kembali menyeruput milk shake miliknya dan menghabiskannya. Untuk yang keempat kali
dirinya memesan minuman dengan jenis yang sama kepada seorang pelayan. Ada apa
dengan dirinya saat ini? Tidak seperti biasanya dia memesan minuman dingin
sebanyak ini tanpa ada makanan yang masuk ke dalam perutnya sedikit pun. Aku
memandangnya heran, sambil terus melahap salad
yang merupakan makanan favoritku. Aria yang duduk di sebelahku, hanya bisa
tersenyum sambil memakan sup jagung miliknya. Ia masih sungkan––mungkin lebih
tepatnya masih malu untuk berbicara dengan Ed. Saat tatapan mereka tidak
sengaja bertemu, Ed langsung mengajaknya berbicara, bertanya-tanya tentang
dirinya seperti hobi, makanan dan minuman kesukaan, jenis musik, dan berbagai
macam pertanyaan lainnya.
“Ron, sepertinya aku sakit perut.”
“Sudah kuberitahu, kau tidak mengerti.
Minuman dingin tidak baik untuk pagi hari.”
“Sepertinya aku butuh toilet sekarang!”
Ed pergi meninggalkan kami berdua. Aku
kembali menghabiskan salad yang masih
tersisa. Kami terdiam, masing-masing dari kami hanya menatap makanan di atas
meja. Aria mengaduk sup jagungnya tanpa dimasukkan lagi ke dalam mulutnya.
“Kapan awal kalian bertemu?”
“Sejak sekolah menengah pertama. Saat aku
pindah ke kota ini dan aku masih menjadi murid baru, dia memperkenalkan dirinya
sebagai ketua kelas di kelas baruku. Ia
mengajakku keliling sekolah dan memberitahuku berbagai hal di sana.
Mungkin itu awalnya.”
“Jadi, Ron bukan asli dari kota ini?”
“Bukan.”
“Bagaimana rasanya menjadi anak baru? Pasti
kau cukup populer––”
“––awalnya dia sangat membenciku.”
Pandangannya berbelok ke arahku. Antara rasa
percaya dan tidak percaya terlintas dalam pikirannya. Aku tetap datar memandang
mangkuk salad yang sudah tidak ada
isinya. Awalnya, aku tidak akan memberitahukan hal ini, tapi––tanpa sengaja
perkataan-perkataan itu keluar dari mulutku. Aku membalas tatapannya, dan hanya
tatapan kebingungan yang bisa kudapat darinya.
“Kau kenapa?”
“Aku heran, kenapa dia bisa membencimu? Aku
kira dari persahabatan kalian, rasanya aneh sekali jika ada suatu hal yang
tidak mengenakkan seperti itu muncul.”
“Setiap persahabatan tidak selalu berjalan
mulus. Persahabatan itu memang menyenangkan, namun juga tidak. Kadang kala kita
dapat membenci sahabat kita sendiri hingga tidak memaafkannya, dan kadang kita dapat
mengorbankan apa yang bisa kita korbankan kepada sahabat kita, menyedihkan.
Lagipula, awal dia membenciku adalah awal dari kita untuk memulai
persahabatan.”
Ia terdiam, bingung akibat mendengarkan
penjelasanku. Aku memfokuskan pandanganku ke depan sambil menunggu kedatangan
Ed. Kuubah posisi kedua tanganku dengan menyembunyikannya di saku celana.
Hawa tajam nan menusuk kembali datang
menghampiriku. Panas, dingin, semuanya bercampur menjadi satu. Aku dapat
merasakannya––begitu menakutkan. Entah berasal dari mana, perasaan ini
mengingatkanku akan kejadian di saat diriku akan bertemu dengan Azura, tapi––ini
jauh lebih menakutkan. Pandanganku kabur, sekelilingku buram. Hanya beberapa
siluet tertangkap oleh penglihatanku. Perlahan semuanya menghitam, kelam, dan
gelap gulita. Aku terduduk sambil memperhatikan sekelilingku. Tidak ada
siapa-siapa, hanya aku seorang diri disini. Dimana Aria yang semula duduk di
sebelahku? Dimana Ed? Dimana yang lainnya? Aku berdiri, dan berlari untuk terus
mencari siapa pun yang ada di ruang hitam ini. Berlari dan terus berlari tanpa
peduli dengan keringat yang membasahiku. Ruangan ini tidak ada batasnya dan
begitu menyulitkanku. Apakah ini ruang ilusi buatan Azura? Entahlah. Dengan
jarak yang tidak jauh dariku, aku dapat mendengar derap langkah kaki seseorang
mendekatiku. Ia dibelakangku dan membuatku berbalik menghadapnya. Seberkas
cahaya tampak dari lampu minyak yang dibawanya––sedikit menjelaskan pandanganku
untuk melihat sosok yang sekarang berhadapan denganku.
“Azura?”
Azura, ia tidak menjawab sapaanku. Aku terus
memanggilnya, dan berjalan mendekatinya yang berdiri di depanku dengan lampu
minyak yang dibawanya. Tatapannya kosong. Warna darah dari matanya terus
menatapku. Ia bagaikan boneka, tidak bergerak sedikit pun. Kusentuh dahinya
dengan jariku hingga dapat kurasakan sebuah cairan mengenai telunjukku.
“Cairan apa ini?”
Cairan merah, dengan bau anyir yang menusuk
hidungku. Ini darah. Aku terkejut dan refleks memundurkan langkahku. Dapat
kulihat dari ujung kepalanya perlahan mengeluarkan cairan merah itu. Begitu
derasnya hingga membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya yang pucat ternodai oleh
warna darah. Rasa takut ini terus menghantuiku. Tanpa kusadari lantai yang
kupijakkan penuh oleh darahnya. Semuanya merah. Aku sedikit berteriak akan
keterkejutanku. Aku terus memandangnya, memandang tatapan kosong yang
dimilikinya. Ia tetap tidak bergeming.
“Azura! Ada apa dengan semua ini! Jawab
pertanyaanku!”
Tak ada respon darinya. Dapat kurasakan
sebuah tangan merangkul leherku dari
belakang secara tiba-tiba. Begitu kuat hingga membuat leher ini tercekik.
Nafasku terputus––susah sekali untuk berteriak. Aku takut, Azura tetap tak bergerak,
dan seorang lagi yang ingin membunuhku dari belakang. Orang itu menutup mulutku
dan menarik sebagian kerah bajuku ke bawah. Tenaganya yang begitu kuat membuatku
susah untuk melawannya. Bulu kudukku berdiri, tubuhku bergetar, dan keringat
dingin terus membasahi sekujur tubuhku akibat perasaan takut yang tak kunjung
padam.
“Tak
kusangka kau selemah ini, Ron.”
Ia tahu namaku. Siapa dia? Dari suaranya
dapat kuketahui bahwa dia seorang pria. Aku tak dapat melihat dengan jelas wajahnya
di ruang gelap ini, yang dapat kurasakan hanyalah sepasang tangan yang menutupi
mulut dan memegang kerah bajuku. Rambut-rambut lengan dan jari-jari kukunya
perlahan memanjang. Ukuran tangan yang semula mirip dengan ukuran tanganku,
perlahan ikut membesar. Sekujur tubuhnya dibaluti oleh rambut, ia mengaum tepat
di samping telingaku. Apakah dia manusia yang bisa berubah jadi seekor hewan?
Apakah dia serigala? Hanya pertanyaan itu yang tertanam di pikiranku.
Di saat itu juga beberapa taringnya masuk
menancap leherku. Mataku melebar, kaget akan hal ini. Darahku mencuat keluar
membasahi leher bahkan mengenai wajahku. Alirannya begitu deras dan sangat
hebat. Aku tak dapat memberontak akibat merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aku
hanya dapat memegang lengannya. Aku tahu ia bukan vampir––dengan sekujur
tubuhnya yang berbalut rambut-rambut panjang. Akan tetapi, ia juga menginginkan
darah atau––ia hanya ingin membunuhku? Jantungku terus berpacu, ini berdetak
begitu hebat. Kurasakan aliran darahku ditarik oleh mulutnya. Kurasakan aliran
darahku mengalir pada masing-masing pembuluh. Taringnya yang menembus dagingku
membuatku teringat akan tragedi beberapa tahun lalu––tragedi ulang tahunku. Azura tetap terdiam memandangku, hingga aku
menyadari suatu hal aneh dari diri wanita itu. Perlahan sosok wanita itu
berubah menjadi sosok yang sangat familiar bagiku. Ia begitu mungil dengan warna
karamel pada rambutnya.
“Aria? Kenapa kau––?” tanyaku dalam hati.
“Maafkan aku, Ron.”
Ia menangis. Seluruh anggota tubuhnya tiba-tiba
terputus, mengeluarkan darah. Mataku semakin melebar, adreanlinku memuncak,
semuanya penuh dengan darah––begitu juga dengan tubuhku yang masih tergigit. Semuanya
bermandikan oleh caira merah itu. Aku ingin berteriak, aku ingin bebas dari
tempat ini. Semua ini membuatku takut, semuanya mengingatkanku akan tragedi
itu. Tuhan, ibu, ayah, bibi Rosetta, kalian semua dimana? Aku membutuhkan
pertolongan kalian. Aku tidak ingin di sini sendiri, aku tidak ingin melihat gadis
mungil itu mati di depanku. Gadis itu––Aria––
“ARIA!”
“Ron! Kenapa?”
Sentuhan tangan yang lembut mengenai bahuku. Sentuhan
ini dan suara itu? Apakah suara itu Aria? Aku membenarkan posisi dudukku.
Sepasang tanganku tetap memegang sisi samping kepala. Ini membuatku bingung,
setelah kuperhatikan sekelilingku semuanya tidak berubah. Aku masih berada di Red Rose Cafe, masih terduduk di sebelah
Aria. Tidak ada ruang hitam dan genangan darah di sekelilingku, tidak ada
seorang pria yang menancapkan taringnya dari belakangku. Apakah tadi hanyalah
halusinasiku? Atau sebuah ilusi yang dibuat oleh seseorang untukku? Kupegang
leherku––sama sekali tidak ada bekas tusukan taring. Sekujur tubuhku bersih
tidak ternodai oleh darah sedikit pun. Pandanganku berbelok ke Aria, ia tetap
utuh dengan anggota tubuhnya yang lengkap. Tidak ada cairan merah yang keluar
dari tubuhnya. Ia menatapku heran dan terus bertanya apa yang terjadi padaku.
“Kenapa memanggilku, Ron? Apa barusan kau
bermimpi? Apa mimpi buruk datang menghampirimu? Wajahmu sedikit pucat, kau
sakit?”
“Aku––”
Refleks aku langsung memeluknya. Begitu erat dan
membuatku tak ingin melepasnya. Syukurlah dia masih hidup, syukurlah dia tidak
seperti dalam bayanganku sebelumnya. Aku tidak ingin melihatnya mati seperti
itu. Aku tidak ingin warna karamel pada rambut dan sepasang zamrud yang ia
miliki harus ternodai oleh warna merah. Itu begitu menakutkanku. Aku tak
melepaskan pelukanku, semakin mengeratkannya dan itu membuatnya sedikit
merintih. Kupegang rambutnya yang wangi dan lembut, untunglah aku masih dapat
merasakannya. Aku tahu ia pasti sangat malu saat ini. Dapat kurasakan degupan
jantungnya yang bergerak cepat. Ia terus memanggil namaku untuk melepaskannya
namun––aku tidak mempedulikannya. Aku tidak menyadari bahwa orang-orang di sekelilingku
memperhatikan kami berdua, hingga seseorang menyadarkanku dengan tegurannya.
“Ehm, mau sampai kapan tuan memeluk gadis itu?
Lihat! Mukanya bagaikan warna tomat saat ini. Mungkin panas dan perasaan malu
itu bercampur mejadi satu pada dirinya. Kau tahu? Dari tadi sekelilingmu terus
memperhatikan tingkahmu. Jadi kalian memanfaatkan kesempatan selagi aku nggak
ada? Benar begitu, Ron?” Edward nyengir. Ia sedikit memajukan wajahnya untuk
mengetahui pengakuanku. Aku tahu dia sedang bercanda, tapi––ini juga membuatku
malu. Aku melepaskan pelukanku pada Aria. Ia menunduk dan menutup mulutnya,
mukanya memerah––persis dengan apa yang dikatakan Ed.
“Barusan aku sudah membayar sarapan untuk
pagi ini. Tadi kuperhatikan dari jauh, ada seseorang berdiri tak jauh di
belakangmu. Apa itu temanmu?”
“Teman?”
“Kau tidak merasakannya? Aku memperhatikannya
dari jauh. Ia menggunakan jaket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya.
Ia juga mengenakan topi hitam dan celana jeans.
Ia berdiri menghadapmu.”
“Menghadapku? Aku tidak tahu, dan waktu itu
aku tidak berbalik untuk melihatnya.”
“Kau tidak melihatnya juga Aria? Kau tidak
merasakannya? Saat dia berbalik membelakangi kalian, kulihat pada kantung
jaketnya ada sebuah kacamata yang tergantung disitu.”
“Aku juga tidak melihatnya.”
“Benarkah? Padahal aku dari tadi
memperhatikannya. Apa aku salah lihat? Tidak mungkin, tapi––aku juga tidak
terlalu jelas melihat rupa wajahnya.”
“Mungkin kau melihat hantu atau kau salah
liat, Ed.”
“Hahaha, mungkin juga, Ron. Sudahlah, aku
jadi takut untuk membahasnya. Ayo kita pulang.”
Seseorang yang memperhatikanku? Ia berdiri
tidak jauh dari belakangku? Hanya Ed yang dapat melihatnya, sedangkan Aku dan
Aria––kami sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Apakah dia pelaku pembuat
ilusi barusan? Entahlah, semoga apa yang dikatakan Ed itu tidak benar.
****
04 Desember 2012
BROKEN
30 November 2012
A Knight and His Princess
http://khansadk.deviantart.com/#/d5mp0tx
BONUS :
![]() |
Satu
lagi gambar yang kudapatkan dari deviantart. aku kembali berimajinasi
"Apakah Azura akan seperti ini? Namun rambutnya kurang panjang" hahaha. i
love these pics |
27 November 2012
24 November 2012
22 November 2012
Rencana Chapter Awal
Ini masih sebuah rencana, tapi entahalah ini bisa terjadi apa tidak. Mungkin, aku akan merenovasi cerita December26th pada chapter awal. Mengingat sebenarnya cerita pada chapter awal itu ialah untuk tugas bahasa Indonesia kelas sepuluh, dan kurasa mungkin tidak terlalu nyambung dengan cerita yang sekarang (jika kulanjutkan ke chapter-chapter berikutnya yang lebih mendalam). Jika ada waktu luang, aku akan mengubahnya (khusus untuk bagian awal).
Sebenarnya juga ada rencana untuk membuat komiknya, tapi.. Entah kenapa aku lebih suka membuat ilustrasinya ketimbang komiknya, hehehe. Kuharap, jika ada waktu lebih sedikit demi sedikit aku dapat membuatnya. Di lain itu, aku masih perlu mengembangkan teknik gambarku.
Mungkin nanti di blog ini, aku akan membuat entri baru tentang gambar disertai biodata tokoh (versi baru).
Sorry and Thank You ^_^.
Sebenarnya juga ada rencana untuk membuat komiknya, tapi.. Entah kenapa aku lebih suka membuat ilustrasinya ketimbang komiknya, hehehe. Kuharap, jika ada waktu lebih sedikit demi sedikit aku dapat membuatnya. Di lain itu, aku masih perlu mengembangkan teknik gambarku.
Mungkin nanti di blog ini, aku akan membuat entri baru tentang gambar disertai biodata tokoh (versi baru).
Sorry and Thank You ^_^.
30 Oktober 2012
DECEMBER 26TH (Chapter 7/Part 1)
CHAPTER
7
-The Black-
Begitu panas namun
juga dingin. Hawa dingin bersaing dengan panasnya sebuah rasa yang dirasakan
sekarang. Perbedaan yang begitu kontras antara luar dan dari dalam badan ini.
Tenggorokan terasa kering, mata yang tiada henti-hentinya mengeluarkan cairan
beningnya. Bulir-bulir keringat yang merupakan hasil ekskresi kulit terus
muncul dan mengalir dari area pelipis. Tangan dingin yang mencengkram area di
sekitarnya demi menahan rasa
sakit. Ingin rasanya berteriak namun tidak bisa. Debaran jantung yang begitu
hebat, perkataan-perkataan yang tak sanggup untuk dikeluarkan––bagaikan leher
yang tercekik. Bagaikan suatu roh yang masuk dalam tubuh namun sebenarnya tidak
sama sekali. Derita inilah yang sekarang dirasakan oleh gadis mungil yang sedang
terbaring di kasur, Aria.
Perlahan-lahan dirinya membuka mata,
rintihan suaranya sedikit demi sedikit terdengar jelas. Aku mencoba menenangkan
dengan menggenggam tangan mungilnya. Pandangan awalnya yang tertuju ke
langit-langit kamar, berpindah kepadaku. Ia menatapku dan mengeluh, “Rasanya
panas, sangat panas”. Deritanya inilah kemungkinan besar efek dari ramuan
pemberian Azura. Ramuan itu kucampurkan pada minuman hangat sebelum diberikan
kepada Aria. Aku sejenak teringat akan perkataan wanita itu, “Ramuan ini sangat cepat reaksinya, namun mungkin awalnya kau bisa
melihat sesuatu yang tidak enak.”
Rupanya memang benar. Aria begitu
gelisah, menderita menahan rasa sakit yang dirasakan badannya. Nafasnya yang
sediki terputus, dengan warna merah muda menghiasi kedua pipinya. Genggamanku
perlahan mengendur, memberikan ruang bagi tangannya agar dapat bergerak bebas.
Ekspresiku tetap datar memandangnya walau dalam hati terus bertanya akan
kemanjuran dari efek ramuan tersebut. Entah ramuan itu dapat dipercaya atau
tidak, tapi aku terus bersabar melihat perkembangan kesehatan Aria. Kubersihkan
dahinya menggunakan sapu tangan. Mencoba mengetahui kondisinya dengan menempelkan
punggung tangan ini pada dahi, turun ke pipi hingga leher putihnya. Panasnya
tidak seperti sebelumnya. Nafasnya yang mulanya sedikit terputus,
perlahan-lahan dapat berhembus teratur. Syukurlah, kondisinya sudah lebih baik
dari sebelumnya.
Kembali dipejamkan sepasang matanya yang
terbuka. Kepalanya bergerak menghadapku yang duduk di sebelah kasurnya. Ia tak
mengucapkan kata-kata lagi setelah
mengeluh. Mungkinkah dia tidur kembali? Mungkin saja pikirku. Aku sedikit
membenarkan posisi tidurnya serta selimut yang semula berantakan akibat
kegelisahan darinya. Akan tetapi, muncul sebuah niat dariku––entahlah ini niat buruk atau tidak namun
aku hanya sekedar ingin tahu kondisi kakinya setelah digigit serigala hitam
itu. Selimut yang menutupnya perlahan kubuka, celana panjang yang membungkus
kaki sedikit kutarik ke atas. “Untunglah bajunya sudah diganti Azura sebelum ia
pergi meninggalkan kami”.
Bekas taring yang menancap betis kanannya
terlihat jelas. Aku hanya dapat berdecih kesal. Seandainya saat itu aku tak
melepas genggamannya, mungkin dia tidak akan mengalami ini. Dirinya selalu saja
terluka jika di sampingku. Aku tak dapat melindunginya––mungkin, belum bisa.
****
“Apa? Bibi tidak pulang hari ini?”
“Ya, begitulah. Bibi ada urusan dengan teman
bibi. Jadi, bibi terpaksa menginap di rumahnya selama satu hari. Jaga rumah
baik-baik. Jangan lupa untuk selalu mengunci pintu rapat-rapat. Jika ada tamu
yang tidak dikenal, lebih baik jangan dibuka karena bibi tidak ada di rumah.
Jangan lupa membuat makan malam untukmu dan Aria. Jaga kebersihan rumah––dan
yang terakhir..”
“Terakhir?”
“Sebelum menikah, jangan mengambil kesempatan
untuk menodai Aria selagi bibi tidak ada.”
Telepon pun terputus. Mendengar perkataan
bibi barusan, membuatku tak dapat berkomentar apa-apa. Aku tetap diam dan
menaruh telepon itu pada tempatnya. Bukannya aku tidak peduli dengan perkataan
bibi––hanya saja, aku bisa menjaga diriku dan aku tidak akan melakukan hal-hal
yang sangat mempermalukan diriku sebagai seorang lelaki.
Dentangan jam telah menandakan pukul delapan
malam. Hawa sejuk yang berasal dari luar masuk menyelimuti suasana rumah. Sedari
tadi Aria tidak beranjak meninggalkan kamarnya––yang sebenarnya merupakan kamar
bibi Rosetta. Aku tetap menunggunya di meja makan. Makanan hangat yang
sebelumnya telah kusiapkan untuk berdua perlahan menjadi dingin. Suasana begitu
sepi, hanya terdengar bunyi dentangan jam dinding. Tiada bibi Rosetta membuat suasana
rumah seakan mati apalagi dengan hawa dingin yang begitu mendukung. Aku
bertopang sambil memperhatikan putaran jarum panjang yang menunjukkan menit. Sudah
menit yang kelima, tapi tetap saja tidak ada bunyi pintu terbuka dari tempat
gadis mungil itu berada. Apakah dirinya masih tertidur? Entahlah. Kugaruk kepalaku
yang sebenarnya tidak gatal. Berdiri dari kursi yang telah kududuki, dan pergi
beranjak meninggalkan meja makan. Tujuanku sekarang adalah ke kamarnya
sekaligus ingin mengetahui perkembangan kesehatannya. Apakah dia masih sakit? Semoga
saja tidak pikirku. Kuketuk dinding pintu kamarnya beberapa kali, namun tak ada
respon yang kudapat dari dirinya. Perlahan kudorong gagang pintunya, mendapati
sosok Aria terduduk di tempat tidur––membelakangi pintu yang menjadi tempatku berdiri sekarang. Ia
tetap tidak merespon kedatanganku––sama sekali tidak menoleh ke arah belakang. Rambut
karamelnya tergerai berantakan dan sedikit menampakkan leher putihnya. Tangannya
tidak bergerak namun terus memeluk sebuah bantal dengan erat. Aku berjalan
mendekatinya, menepuk bahunya, dan alhasil dia menoleh kepadaku.
“Kau tidak mau makan menemaniku?”
Ia hanya menatapku namun tidak mau membalas
pertanyaan lawan bicaranya barusan. Ekspresinya tidak menunjukkan dirinya sedang
sedih atau gelisah. Ia tetap seperti biasa, kecuali rona merah yang selalu ia
tampakkan tidak terlihat. Ia tenang, masih dalam posisi terduduk dengan dirinya
yang tetap memeluk bantal. Ia terus menatapku yang berdiri di sampingnya tanpa
berkomentar.
“Mukamu masih pucat. Apa kau tidak mau
berbicara padaku demi menahan rasa sakitmu, bukankah begitu?”
Tidak ada respon darinya.
“Aria.
Aku tak mau kau menatapku dengan tatapan seperti itu. Kau seakan-akan sedang
mengetesku. Kau biasanya menatap orang-orang dengan lembut, tidak seperti
sekarang ini. Jika kau ingin sesuatu, katakan itu. Aku pasti akan membantumu.”
Kembali tidak ada respon darinya.
“Aria! Tolong balas perkataan lawan bicaramu!”
sedikit berteriak agar dapat menerima respon––tapi tetap tidak ada respon darinya
sedikit pun.
“Aria! Dengarkan! Aku hanya ingin bicara
padamu!”
Kesal. Aku pun meraih kedua tangannya, namun pelukan
pada bantal itu semakin dieratkannya. Ia tak mau melepasnya. Aku terus
memanggil namanya berulang kali, tapi tetap saja ia tidak mau membalas
panggilanku. Tatapannya yang semula bertemu pandang dengan tatapanku, kemudian
sengaja dipejamkannya. Aku mengkerut, terus berusaha untuk meraih kedua
tangannya agar ia mau menjawab. Badanku yang sebelumnya berdiri tegak terpaksa sedikit
membungkuk hingga refleks duduk di atas tempat tidurnya. Ia hanya dapat mengeluarkan rintihan
kecil saat kedua tangannya sedikit kutarik paksa––yang juga membuatnya
tersandar pada tembok. Aku senang bisa melepaskan kedua tangan yang telah
memeluk erat bantal itu, tapi matanya
tetap terpejam dengan kepala menunduk yang membuat poni rambutnya sedikit
menyembunyikan wajah cantiknya. Mau tidak mau, segera kupegang kedua pipinya,
sedikit menarik wajahnya ke atas agar ia mau melihatku. Ia langsung memegang
kedua tanganku untuk menarik dari pipinya. Akan tetapi, tetap saja tenaganya
tak dapat menandingi tenagaku.
“Aku hanya ingin berbicara padamu baik-baik. Bukan
untuk menyakitimu. Apa yang membuatmu seperti ini? Kau tidak mau membalas
perkataanku––bahkan kau sengaja memejamkan matamu untuk tidak melihat lawan
bicaramu.”
Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan
kembali zamrud indah yang sempat disembunyikannya. Tanpa sadar wajah kami
begitu dekat, hanya memisahkan jarak beberapa senti dari hidung kami. Hembusan nafas
kami saling bertemu seakan sedang beradu. Hangat hembusan nafas dari
masing-masing sumber begitu menggelitik wajah. Mataku terus terfokus untuk
melihat indah warna matanya. Damai dan sangat berbeda dengan warna hitam bola
mataku. Ini seperti menghipnotisku.
“..Ron.”
“Ya?”
“Aku takut akan kejadian tadi. Kejadian dimana
aku merasakan kedamaian pada awalnya, merasakan keindahan alam yang begitu
tenang, berjalan sambil menghirup udara segar bersamamu, namun––tiba-tiba saja
berubah menjadi suatu hal yang begitu kontras dibanding sebelumnya. Tragedi yang
mengerikan. Suasana sejuk yang seakan tak begitu bersahabat. Hujan deras yang
kemudian menyelimuti indahnya alam hutan pinus itu. Semuanya––membuatku takut.”
“Lalu, kenapa kau tadi menghindariku di saat
aku ingin berbicara denganmu?”
Aria terdiam sejenak. Ia seperti sedang
memikirkan serangkaian kata yang akan dilontarkan dari mulutnya. Posisi kami
tetap tidak berubah––masih dalam jarak yang begitu dekat. Sedari tadi tangan
ini tetap saja tidak terlepas memegang kedua pipi lembutnya.
“Awalnya aku takut memandangmu. Tatapanmu begitu
tajam, beda dengan laki-laki lain yang pernah kutemui. Warna hitam dari rambut
dan matamu sedikit mengingatkanku pada serigala tadi. Sangat persis––tapi,
bukan berarti aku membencimu! Aku tidak membencimu hanya karena warna yang kau
miliki. Memang aku sedikit trauma dengan serigala yang tadi mengejar bahkan
menggigitku. Tatapannya tajam, namun membunuh. Akan tetapi, setelah itu aku
sadar bahwa kau berbeda dengannya. Tatapan tajammu justru menghangatkanku. Aku sangat
menyukainya.”
“Aku dapat melihatnya dari tatapanmu, tatapan kekhawatiran yang dapat
menghangatkan hati.”
Mendadak
terlintas dalam otakku perkataan Azura sebelumnya. Jadi inikah yang disukai
dari mereka? Sebuah “kehangatan”
––dariku? Diriku seakan terjepit oleh sepasang wanita yang selalu menghantui
pikiran ini. Aku heran dengan apa yang mereka sukai dari diriku.
Kutarik
kembali kedua tanganku dari pipinya. Sedikit memberikan jarak di antara kami berdua
untuk bisa bernafas dengan lega. Akhirnya aku dapat melihat kembali rona merah
yang menjalar di pipi Aria. Aria tampak keringatan––mungkin akibat dari diriku yang sudah mempersempit ruangnya.
Kubenarkan poni rambutnya, serta kubersihkan bulir-bulir keringat yang telah membasahi
wajahnya.
“Aku juga tidak membencimu. Terima kasih,
akhirnya kau mau merespon perkataanku––dan maaf jika aku berlaku kasar padamu,”
kataku datar.
Kami hanya saling berpandangan. Hening. Tak
ada satupun gerakan dari tubuh kami setelah itu. Tak lama kemudian, sebuah
deringan telpon genggam menghancurkan keheningan ini. Kuraih benda itu dari
saku celana, membuka kuncinya dan
melihat pesan dari dalamnya.
Besok pagi maukah menemaniku sarapan di Red Rose Cafe? Aku harap kau
bisa menemaniku. Aku akan menjemputmu jam 7 pagi. Thanks!
-Edward-
Langganan:
Postingan (Atom)