12 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 5/Part 2)


Suara teriakannya begitu keras memekakkan telinga. Sudah lebih dari tiga kali lemparan pada tubuhnya yang ia rasakan. Sekali lagi kaca kembali retak––hancur menjadi serpihan-serpihan. Aku berteriak memperingatkannya untuk menghindari Azura. Aku tidak tega melihatnya terluka demi diriku. Kulit putih mulusnya ternodai oleh begitu banyak cairan merah kental. Azura terkekeh, ia termakan oleh nafsu pembunuh yang ia ciptakan. Hatiku gelisah, entah apa yang akan dilakukannya kembali pada Aria. Aria terus tersenyum, ia sangat berani dan tidak terlihat darinya rasa ketakutan pada Azura. “Aku tidak peduli kau mau membunuhku atau tidak––tapi, tolong lepaskan Ron sekarang juga.” sedikit tawa ejekan dari Aria.
“ Kau tidak sepantasnya memerintahku."
Azura kembali berkutik dan menerjang tubuh Aria––membuatnya jatuh tersungkur di lantai dengan serpihan-serpihan kaca bertaburan di sekitar. Kukunya yang panjang menggores lehernya. Aria berteriak, dan berusaha meloloskan diri dari tubuh yang menimpanya. Aria hanya manusia biasa dan kekuatannya tidak dapat menandingi Azura. Aku memberontak untuk melepaskan diri dari rantai yang mencekal kedua pergelangan tangan. “ Aku ingin menolongnya,” batinku berkata. Terdengar suara geraman milik Azura. Mata merahnya begitu bercahaya bagaikan vampir. Senyumnya melebar menciptakan sebuah cengiran. Dikeluarkannya pisau kecil dibalik jubah hitamnya. Dan aku tahu apa yang akan dilakukannya setelah itu.
“ Hentikan Azura!” teriakku memerintah.
Untunglah lebih cepat beberapa detik sebelum pisau itu menancap di jantung Aria. Pandangannya berbalik dan tertuju padaku. Matanya kembali normal tak bercahaya. Ia mengangkat tubuhnya dan berjalan mendekatiku, sementara Aria membetulkan posisinya, duduk dengan punggung bersandar pada tembok. Jantungku berdegup kencang dang keringat tak hentinya keluar melalui pelipis. Sekarang ia dihadapanku, terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya. Dipegangnya kedua pipiku dan tatapannya begitu sendu. Ia menunduk. Isak tangisnya dapat tertangkap dengan jelas oleh pendengaranku, dan tubuhnya bergetar begitu hebat.
“ Kenapa tiba-tiba kau menangis?”
Ia menggeleng. “ Aku tidak tahu. Aku tak mengerti apa yang baru saja kulakukan. Maafkan aku, sepertinya aku begitu mengecewakanmu. Hampir saja aku membunuh temanmu. Aku memang liar.”
Untuk pertama kalinya aku dapat mendengar suara lembut darinya. Tangannya berjalan di sekitar leherku dan memelukku erat. Ia menangis dan itu tidak dapat membuatku menolak dirinya. Ia benamkan wajahnya dan dapat kurasakan air matanya menggelitik tengkukku. Aku terdiam––tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku hanya bisa memikirkan ide gila agar dia tenang, karena inilah satu-satunya cara agar ia tidak melukai seseorang yang sangat dekat denganku, seperti Aria. “ Tidak ada gunanya kau menangis. Tenanglah, aku sudah membulatkan pikiranku. Aku akan menerimamu, Azura.” bisikku tepat di telinganya.
“ Benarkah? Kau serius?” ia menarik diri dari pelukannya, memegang kedua pipiku kembali dan menatapku lekat-lekat untuk mendapatkan sebuah kepastian. “ Aku serius. Dengan begini kau tidak perlu sedih. Aku terima kau apa adanya. Namun, ada hal yang harus kau terima dariku.”
“ Apa itu?”
“ Tolong, jangan lukai orang-orang yang sangat berharga bagiku untuk kedua kalinya. Aku tidak tega melihatnya. Aku kasihan. Karena itu, terimalah persyaratanku ini.” Sekali lagi ia memelukku erat. Tangisannya berubah menjadi tawa kecil. “ Aku senang kau menerimaku. Baiklah, dengan persyaratanmu itu, aku tidak akan melukai orang yang dekat denganmu sekali lagi.”
Perlahan-lahan rantai di kedua pergelangan tanganku memudar dan menghilang––begitu juga dengan dirinya. Sebelumnya, kepalaku sedikit tertarik oleh tangan mungilnya dan dikecupnya bibirku dengan lembut. Ia tersenyum tulus seperti gadis umumnya. Suasana kembali hening dan aku tetap diam. Tak lama aku tersadar, aku telah melupakan sesuatu yaitu Aria. Dengan cepat kubergegas keluar toilet dan berlari kecil ke tempat dimana dirinya terduduk. Aku meraih dan meremas tangannya yang begitu dingin bagaikan es. Kusapukan jariku ke telapak tangannya, mencoba memberinya kehangatan. Serpihan kaca––yang begitu banyak merobek kulitnya––bertaburan disekitarnya. Semuanya ternodai oleh darah yang mungkin itu adalah darah Aria. Ia begitu terluka.
Hatiku menyerah. Aku kembali meremas kedua tangannya. Sedikit kutundukkan kepalaku agar aku dapat melihat jelas warna matanya. Hijau seperti batu zambrud. Kulepaskan jaketku untuk menyelimuti dirinya dan menariknya ke dalam pelukanku. Ia tetap diam, tidak ada satupun kata yang keluar mengalir dari mulutnya. Nafasnya sedikit terputus dan dapat kurasakan degupan jantungnya yang seakan-akan memukul dada. “ Kalau kau berpikir untuk melakukan hal bodoh seperti ini lagi, aku pasti akan menemukanmu, Ron.”
“ Aku tidak akan melarikan diri lagi. Maafkan aku.”
Ia diam––tidak membalasnya. Aku mengerti bahwa hatinya masih terasa sakit atas perlakuan Azura padanya. Sambil menyusupkan jari-jemariku ke rambut coklatnya yang lembut, kukecup keningnya dengan penuh perasaan. Entah apa yang telah kulakukan padanya sekarang. Aku tak mengerti, ini semua berada di luar jangkauan pikiranku. Aku memperlakukannya sebagai seorang adik––atau sebagai kekasih?
****
Pukul dua pagi. Masih dalam keadaan terbaring di sofa ruang keluarga. Rasa kantuk tak kunjung datang menemuiku. Ingin sekali aku tidur, namun selalu saja ada satu pikiran yang muncul menggangguku. Aku masih memikirkan Azura, memikirkan pelukan darinya, bahkan ciumannya. Kutepis bayangan wajahnya yang seakan-akan muncul tepat di depan wajah untuk menciumku kembali. Bibi Rosetta turun dari tangga bersama seorang dokter wanita––yang juga merupakan sahabatnya. Mendadak aku berdiri, merapikan sedikit pakaianku yang terlihat kusut. Dokter itu mengalihkan perhatiannya dan berjalan ke arahku. “ Tenanglah, Ron. Pacarmu sudah tertidur pulas di kamar. Dia harus istirahat total. Serpihan kacanya juga sudah kuambil dari kulitnya.”
“ Maaf, dia bukan pacarku.”
“ Wah, anak muda zaman sekarang nggak mau mengakui orang yang disayanginya, ya. Betul kan, Rose?”
Mereka berdua tertawa melihat tampangku yang mendadak berubah seperti anak kecil. Aku sedikit marah karena itu semua memanglah faktanya. Aria bukanlah pacarku, dia hanyalah teman. Dokter itu kemudian pamit kepada kami dan pergi menuju pintu depan yang disusul oleh bibi. Diam-diam aku pergi menaiki tangga, memasuki kamarku. Kudapati Aria yang masih tertidur di kasur empuk dengan pulasnya. Aku terduduk di pinggiran kasur, mengamati balutan perban yang membungkus lengan putihnya. Lehernya tertutupi plester kecil sama sepertiku. Sedikit goresan kecil membekas di sekitar pipi dan pelipisnya. Aku menunduk. Merasakan rasa salahku pada dirinya karena semua luka itu ia peroleh demi melindungi diriku.
Tiba-tiba dapat kurasakan sentuhan lembut mengenai lenganku. Aku sedikit tersentak saat tahu bahwa Aria-lah yang menyentuhku. Senyumannya yang lembut membuatku sedikit tersanjung. Ia sangat cantik saat tersenyum. Sedikit remasan darinya membuatku tertawa geli akan sikap manjanya. “ Jangan sedih ya, Ron. Ini bukan salahmu, aku tidak apa.”
“ Kau baca pikiranku?” tanyaku sedikit tertawa.
“ Tidak. Aku dapat mengetahuinya dari tampangmu. Aku barusan tidak tidur. Aku hanya merilekskan pikiranku sejenak sambil memejamkan mata. Saat ada bunyi berisik terdengar, aku langsung membuka mata dan ternyata itu adalah kau.”
Warna kulitnya yang terang membuat rona merah terlihat jelas saat menjalar di pipinya. Aku tidak mengerti kenapa ia begitu malu menatapku.
“ Maafkan aku yang sudah dua kali menyakitimu. Awalnya aku tak sengaja mendorongmu saat di rumah sakit. Kedua aku tidak bisa menolongmu beberapa jam yang lalu. Aku tahu hatimu begitu terluka. Pasti sakit sekali rasanya.”
“ Berhentilah untuk merasa bersalah. Ini semua bukan salahmu––“
“ Ini salahku.” kataku tegas. “ Maafkan aku. Aku tau kata maaf tidak bisa merubah masa lalu, tapi mungkin bisa memperindah masa depan. Aku memang bodoh. Aku selalu bertindak seenaknya dan tidak berpikir lebih dewasa. Aku hanya ingin kau jujur. Mungkin kau sekarang sudah membenciku.”
Ia kembali meremas lenganku. Ia tetap tersenyum walau rona merah terlihat jelas masih menjalar di pipinya, “ Aku tidak membencimu. Itu kejujuran dariku.”
Mendengar perkataannya seakan-akan menembus jantungku. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kubalas padanya. Ini sangat menyenangkan sampai-sampai aku tidak dapat menyangkal emosiku. Tangannya berjalan menyusuri tanganku dan berhenti tepat di telapak tangan. Digenggamnya jari jemariku erat dan itu membuatku ikut mengeratkannya. Dapat kurasakan rasa kasih sayang darinya padaku. “ Aku ingin tanya, sebenarnya siapa wanita yang menyerangku waktu itu?”
Refleks, tatapanku kembali datar. “ Tenanglah. Dia bukan siapa-siapa.”
“ Namun kenapa dia begitu menginginkanmu?”
Kulepaskan genggamanku dari genggamannya, dan berusaha tersenyum padanya. “ Dia hanya temanku. Mungkin dia cemburu karena kau datang menolongku. Sebaiknya sekarang istirahatlah. Besok pagi kita bicarakan lebih rinci. Ini hanya rahasia diantara kita.”
Ia mengangguk, “ Selamat tidur, Ron.”
“ Selamat tidur, Aria.”
****

3 komentar: