09 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 5/Part 1)

CHAPTER 5
-Found You-

“ Bibi, istirahatlah. Hari sudah semakin larut. Mungkin Ron sedang berada di rumah temannya.”
“ Aku tidak akan tidur sebelum Ron menghubungiku.”
Aria menghela nafas. Sudah satu jam ia membujuk Bibi Rosetta, tapi  usahanya tidak berhasil. Coklat hangat buatannya ia taruh di atas meja. Muka Bibi Rosetta memucat––masih memikirkan keponakannya. Kegelisahan terus saja menyelimuti suasana. Perasaan sedih, khawatir, dan marah bercampur menjadi satu. Aria terus membelai punggung wanita di sebelahnya. Ia rasakan dinginnya kulit putih susu milik wanita tersebut. Ia eratkan selimut tebal padanya.
“ Bibi, kumohon bersabarlah. Ron pasti pulang. Kalau bibi tidak istirahat, aku yakin ia pasti sedih melihatmu begini terus.”
“ Tapi, tetap saja aku tidak bisa tenang––“
“ Baiklah, aku akan mencarinya.”
Matanya melebar. Bibi terkejut mendengar pernyataan Aria. Kegelisahan pada dirinya semakin menjadi-jadi. Aria berdiri, dikenakannya sepatu sandal kulit dan pergi menuju pintu depan. Malam semakin larut. Dinginnya suasana seakan-akan menusuk tulang. Hangatnya cahaya rembulan tak dapat menandingi dinginnya malam. Satu hal telah dilupakan oleh Aria. Tanpa sadar ia hanya mengenakan pakaian terusan selutut. Ingin sekali berbalik kembali ke rumah untuk mengambil baju hangat––namun, ditepisnya keinginan tersebut. Ia terus berlari ke tempat Ron berada. Ia dapat merasakan keberadaan pemuda tersebut, pemuda yang sangat disayanginya––walaupun pemuda tersebut pernah menyakiti hatinya.
“ Aku tidak peduli dengan dinginnya malam ini. Aku akan tetap pergi untuk menemuimu. Tunggu aku, Ron.”
****
Masih terperangkap dalam jurang ilusi––merasakan pedihnya siksaan yang melampaui batas kemanusiaan. Kurasakan tajamnya pedang menembus perut. Cairan merah kental terus mengalir. Kugenggam erat masing-masing rantai di tangan guna menahan perihnya luka ini. Aku tahu, ini tidak kenyataan. Ini hanyalah permainan ilusi buatan Azura. Ditarik pedangnya dari perutku dan melemparnya ke belakang. Suara teriakan dariku menggema dalam ruangan ilusi. Sakit sekali rasanya. Ia melangkah maju, dicondongkan badannya ke hadapanku yang masih terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya. Pandangan kami bertemu. Matanya bagaikan gumpalan darah, begitu indah namun juga menakutkan. Tangannya kembali menyentuh pipiku. Sedikit tarikan darinya membuatku mendongak ke atas.
“ Ternyata aku tidak salah memilih. Kau sangat tampan. Rambut hitammu sama sepertiku. Kulitmu putih dan matamu hitam mengkilat. Aku suka memandangmu. Kau adalah pangeran yang kuimpikan selama ini. Aku terus mengejarmu dan akhirnya aku bisa mendapatkanmu. Senang rasanya bisa menyentuhmu.”
“ Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Kekuatankah atau––
“ Aku menginginkan semuanya darimu.” biskinya. Dahi kami saling bersentuhan. Ia menyapukan bibirnya pada bibirku dan itu membuatku terkejut. Jantungku berdetak tak menentu. Aku ingin melepaskan dan mendorongnya. Namun, pergerakanku terhambat oleh rantai ini––yang sengaja dibuatnya untuk menahan kekuatanku. Nafasku sengal, dan emosiku ikut bergejolak. Begitu panas dan perih.
Dapat kurasakan ruangan ilusi perlahan menghilang––bagaikan cat hitam yang meluntur. Azura menarik diri melepaskanku dari ciumannya. Ia gemetar dan memeluk dirinya sendiri. Aku terdiam dan menunduk. Sakit kepala yang kurasakan sepuluh kali lebih parah daripada ketika aku emosi tadi. Ingin kuusap pelipisku, tapi tanganku masih tercekal oleh rantai ini. Rupanya rantai ini bukanlah ilusi.
Seperti suara derap langkah kaki seseorang menuju tempat kami. Azura membalikkan badannya ke arah pintu. Ia merasa was-was dengan langkah misterius itu. Baru kali ini aku dapat melihat ekspresi ketakutan dari wajahnya. Dan tak lama, pintu itu terbuka––menampakkan sosok gadis mungil bermata hijau. Tak kusangka itu adalah Aria.
“ Ron? Kaukah itu?”
“Aria.”
Terdengar nada cemas dari suaranya. Aku mendongak untuk memusatkan perhatianku pada gadis itu. Malam semakin dingin, tapi kenapa ia hanya menggunakan pakaian terusan selutut? Bibirnya sedikit memucat akibat dinginnya cuaca. Sedaritadi aku terus memberontak––berusaha lepas dari rantai yang masih mecekalku. Ingin sekali kuhangatkan dirinya dengan jaket yang kukenakan. Azura menatap kami satu per satu hingga tatapannya berhenti pada Aria. Aria sedikit tersentak begitu melihat warna merah darah dari matanya. Langkahnya maju menuju Aria yang masih diam berdiri di ambang pintu. Pikiranku mulai tak menentu. Aku merasa takut bila terjadi sesuatu diantara mereka––terutama Aria.
“ Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa membuka pintu ini? Kau tahu, aku sudah memberi mantra pada pintu ini agar orang lain tidak dapat membukanya.” tanyanya pada Aria.
“ Mantra apa maksudmu? Aku Aria, teman Ron. Aku ingin menjemputnya. Ia sama sekali tidak menghubungi bibi yang begitu mencemaskannya, karena itu aku nekat menjemputnya seorang diri untuk bibinya.”
Azura tersenyum lebar dan berubah menjadi ledakan tawa. Ia tetap memeluk dirinya sendiri. Kami berdua terkejut, entah apa yang ada di pikiran gilanya sekarang. Diusapnya sedikit air yang mengumpul di matanya. Tatapannya kembali tegas tertuju pada Aria. “ Berani juga mau menjemputnya sendirian––tapi, kau salah. Ia tidak akan bisa lepas dariku.”
Entah darimana asalnya, angin bertiup kencang menyapu seisi ruangan––membuat rambut hitamnya berkibar. Ia membelakangiku namun aku dapat merasakan gejolak emosi dirinya. “ Hasrat membunuh,” begitulah pikirku. Tubuhku dijalari getaran hebat. Detak jantungku memukul dadaku begitu kuat, sampai-sampai aku tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Ingin kuteriakkan pada Aria untuk menghindarinya, tapi bibirku seperti terkunci.
“ Tamatlah riwayatmu gadis kecil.”
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar