01 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 4/Part 1)

CHAPTER 4
-Azura-

Dua hari kemudian, kubuka gulungan perban yang melilit di dahiku. Kupandangi lekat-lekat cermin lemari, goresan panjang tampak jelas di pelipis kanan. Aku nyengir, mencoba menahan tawa. Kulempar perban kotor tersebut ke tempat sampah. Merasa sedikit pusing, kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk. Sedikit rasa lega kurasakan karena bisa kembali ke rumah. Aku mengubah posisi tidurku, berusaha mencari posisi yang lebih baik agar dapat tertidur dengan pulas.  Kurasakan bunyi handpone-ku berdering––aku teriak kesal.
“ Halo,”
“ Hei, apa kabar? Sudah keluar dari rumah sakit?”
“ Ya, begitulah. Terima kasih sudah mau membawaku ke rumah sakit, Ed.” suara tawanya dibalik handpone terdengar keras seakan-akan mencoba memukul gendang telingaku. Begitulah Edward. Reaksinya selalu saja berlebihan.
“ Tidak apa. Awalnya, aku bingung saat sadar aku sudah terbaring di atas tanah. Begitu juga kau. Sebenarnya apa yang terjadi dua hari yang lalu? Aku tanya kepada para siswa tentang penyebab kami terbaring, namun mereka tidak tahu.”
Sedikit terkejut mendengar perkataannya. Dia sama sekali tidak ingat kejadian dua hari lalu. Matt yang berusaha membunuhku, dan Edward yang terpukul––terbaring tak berdaya. Kenapa hanya aku saja yang dapat mengingatnya? Kenapa dia tidak? Dalam hati kuberharap ini semua hanya mimpi. Termasuk burung gagak bermata merah––dan wanita itu. Wanita yang mencekik leherku. Begitu menyeramkan, terutama aura kegelapan dari dirinya. Aku menggeram, kuremas celana jeans selutut milikku. Gara-gara kejadian itu, Aria––
“ Kenapa diam? Kau tidak menjawab pertanyaanku.”
“ Ah, maaf. Aku butuh waktu istirahat sekarang.”
“ Wah, baiklah. Semoga cepat sembuh, Ron!”


Keesokan paginya aku terbangun dengan kelelahan. Tidak seperti biasanya, keadaan di rumah sangat tenang dan ketika aku memeriksa jamku, aku sadar aku bangun kesiangan. Bibi mungkin sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kami berdua.
Aku mandi dan mengenakan celana jeans serta kaus putih berbalut kemeja merah. Setelah memasukkan buku pelajaran ke dalam ransel hitam, kuamati bayanganku di cermin. Mataku berwarna hitam mengilat. Aku teringat dengan perkataan Aria ketika menatap mataku. Begitu tenang namun juga menakutkan. Bekas luka di pelipis dan leher membekas di kulit. Seperti anak berandalan saja pikirku dalam hati.
Sambil meraih jaket, aku menuju lantai bawah dan berjalan pelan ke dalam ruang keluarga. Dan tepat dugaanku, ternyata Bibi sudah menyiapkan dua piring sandwich untuk sarapan.
“ Kau tidak sarapan?”
“ Tidak, Bi. Aku sudah terlambat. Jika aku terlalu lama, aku pasti akan dimarahi guru piket. Aku pergi dulu.”
Ia tersenyum. Kusandang ransel hitamku di pundak dan pergi menuju pintu depan. Saat aku menuruni tangga depan, perasaan dingin menyapuku. Entah perasaan apa lagi ini. Aku mematung, merasakan perasaan yang begitu mengancam. Tidak menyenangkan. Apakah wanita misterius itu akan datang lagi padaku? Aku menatap berkeliling. Mencoba mencari bayangan dirinya. Namun apa yang kulihat sama sekali tidak ada. Hanya gerakan dedaunan yang melayang dan pohon yang melambai tersapu oleh angin yang dapat kulihat. Oh Tuhan, kurasa ini hanya halusinasiku.
“ Kurasa kau akan terlambat ke sekolah, Mr. Ron.”
Kepalaku refleks bergerak ke arah kanan––mencari sumber suara yang sangat familiar bagiku. Rupanya itu Aria. Ia berdiri di trotoar yang mengapit jalan, berjalan melangkah mendekatiku. Ia tidak mau menatapku––tapi, aku dapat melihat dengan jelas tatapannya. Sangat sendu. Tidak seceria yang biasanya. Sepertinya Aria masih sedikit enggan berbicara kepadaku. Mungkinkah ia masih kecewa dengan perlakuanku padanya beberapa hari lalu?
“ Aku pergi kerja dulu. Sampai nanti.”ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkanku. Hanya punggungnyalah dapat kulihat saat ini.
****
“ Kenapa kau datang terlambat, Mr. Ron? Ini sudah jam berapa, huh?”
“ Well––aku bangun kesiangan.”
Aku merutuki diriku sendiri. Kutundukkan sedikit kepalaku demi menahan rasa malu. Cekikikan tawa para siswa siswi tertangkap jelas oleh pendengaranku. Suara pukulan kecil dari tongkat yang dipegang Nyonya Britanny––guru piket yang sekarang menghukumku––membuat keringat dingin mengalir dan degupan jantung berdetak tak teratur. Ia arahkan tongkatnya dan tepat mengenai betisku. Aku sedikit merintih. Mencoba menahan rasa sakit.
“ Itu hukumanmu karena sudah terlambat lebih dari tiga jam. Ini sudah kelewatan Tapi, tidak hanya itu saja. Sepulang sekolah kau harus bersihkan toilet laki-laki yang ada di lantai dua. Paham! Aku tidak suka murid yang tidak disiplin.” perintahnya sebelum pergi meninggalkanku. Nyonya Britanny memang dijuluki guru paling killer oleh siswa siswi di sekolah. Aku jengkel. Kuhentakkan kaki kananku ke lantai––hanya dapat menghasilkan bunyi hentakkan kecil dan membuat sedikit kepuasan muncul dalam benakku. Aku tau ini bukan salahnya. Tapi kenapa harus ia yang bertugas menghukumku?
Waktu pun berlalu. Tiba saatnya diriku untuk bertempur. Setelah pelajaran usai, kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju toilet laki-laki. Kuputar gagangnya lalu kubuka perlahan. Rupanya, ini sangat gampang. Toiletnya tidak terlalu kotor, membuat beban di dalam pikiranku sedikit berkurang. Kuletakkan ransel hitam yang sedaritadi kusandang ke lantai. Kuambil kain basah dan pel, serta mengisi air ke dalam ember. Sambil menunggu penuh––
“ Brak!”
Aku terkejut, membuat bahuku sedikit ikut terangkat. Aku penasaran dan berbalik menghadap pintu. Pintunya tertutup. Aku berlari kecil––memutar gagangnya––mendorongnya, bahkan mendobrak pintunya. Kukerahkan seluruh tenaga, namun tidak ada rekasi sama sekali. Pintu itu tetap saja tertutup rapat. Lagi-lagi perasaan ini muncul. Perasaan yang seakan mengancamku. Begitu menakutkan. Sama seperti sebelumnya. Aku berteriak untuk meminta tolong dan mencoba memukul pintunya. Namun sama sekali tidak dapat mengalihkan perhatian orang lain.
Entah kenapa rasanya, perlahan-lahan cahaya yang masuk semakin meredup––menjadi gelap. Kuberbalik menghadap tempat semula. Langit tampak begitu gelap dari balik jendela yang juga tertutup rapat. Hanya sinar lampu jalan yang sedikit menyinari dan sedikit memperjelas penglihatanku. Astaga, kenapa ini bisa terjadi? Ini masih jam 2 siang. Baru beberapa menit aku berada, namun kenapa hari sudah malam?
“Akhirnya aku berhasil menemukanmu, Ron. Kau terjebak dalam perangkapku.”
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar