02 Agustus 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 4/Part 2)

Tepat di samping tengkukku. Suaranya begitu menggelitik dan bulu kudukku ikut berdiri. Ini begitu menakutkan, sama sekali tidak menyenangkan. Aku menggenggam tanganku erat dan berbalik untuk menatap si pemilik suara. Keringat dingin tiada hentinya mengalir melalui pelipis dan membasahi wajah. Tidak terlalu jelas, namun samar-samar aku dapat melihatnya. Terdengar derap langkah mundur dari sepatunya. Ia tertawa kecil sambil menyilangkan kedua tangannya. Perlahan-lahan ia tegakkan kepalanya dan tampaklah sepasang mata merah bercahaya.
Kilauan cahaya bulan bersinar menembus jendela. Sedikit rasa syukur terlintas di pikiranku karena aku dapat melihat sosok misterius tersebut. Kuhilangkan rasa takut di pikiranku dan fokus padanya. Aku ingin tahu lebih jelas sosoknya. Ia seorang perempuan––dapat kuketahui dari kakinya yang mungil. Rambutnya hitam mengilat melebihi pinggul. Dikenakannya jubah hitam panjang berbahan kulit. Kulitnya putih bersih––tak ada satupun luka yang tampak dari tubuhnya. Dan tak lupa pada mata merahnya yang bercahaya. Sosoknya bagaikan seorang vampir.
“ Siapa kau?” tanyaku. Meski dihantui rasa takut––namun rasa penasaran juga terlintas dalam pikiranku.
“ Ternyata kau melupakanku. Dasar Tega.”
“ Tega? Huh? Aku tidak mengerti. Lagipula, selama ini aku tidak pernah bertemu denganmu. Mungkin kau salah––”
Suara hantaman keras memotong pembicaraanku. Tangan mungilnya bergerak menghancurkan wastafel. Aku terdiam. Satu langkah, dua langkah, dan tiga langkah––ia berdiri tepat di depanku. Tangannya bergerak, menari-nari di depan mata. Tak lama gerakannya terhenti. Dipegangnya daguku––membuatku  mendongak ke atas––mengamati langit-langit ruangan. Tangan lainnya ia gunakan untuk memegang leherku. Kurasakan tajam  kukunya menyentuh luka. Apa yang ingin dia lakukan?
“ Padahal dulu kita pernah bertemu. Namaku, Azura. Kau pasti heran ‘kan saat melihat ke luar? Aku-lah yang telah mempercepat waktu. Apa kau tidak menyadari keberadaanku selama ini? Kemanapun kau pergi, aku selalu mengikutimu. Lagipula, kau-lah yang pertama menyapaku. Rasanya begitu romantis ketika kau menyapaku.”
“ Hei! Jangan bodoh. Aku sama sekali tidak pernah bertemu, apalagi bertatap muka denganmu. Untuk apa aku menyapamu? Kurasa kau salah orang––argh!”
Kuku jarinya dengan pelan merobek luka lama di leher. Sangat berperasaan namun juga terasa sangat sakit. Anehnya, aku sama sekali tidak bisa bergerak––seperti terkenai mantra olehnya. Dapat sedikit kulihat raut wajahnya, ia tetap tenang seakan tidak ada dosa yang datang setelah merobeknya. Aku mengerang––bahkan berteriak keras merasakan pedihnya luka ini. Emosiku bergejolak namun masih bisa terkendali. Rasanya begitu panas ketika darah begitu banyak mengalir dari pembuluhnya. Ia tertawa. Kedua tangannya berpindah menyentuh pipiku.
“ Suaramu kalau berteriak merdu juga. Aku suka mendengarnya. Kuberitahu saja. Akulah burung gagak bermata merah itu. Kau takut padaku kan? Aku dapat mengetahuinya dari sorot matamu. Menyedihkan. Kau pengecut.”
“ Jangan seenaknya––,”
“ Itu kenyataan,” bisiknya. “ aku senang kau mengecup keningku dan membelai sayapku untuk pertama kalinya. Begitu romantis. Tapi, aku sedih saat kau menghindariku. Sebegitu menakutkan-kah diriku ini? Dan aku juga ada pada saat kau di rumah sakit kemarin––dan kau berkelahi di sekolah. Kau lihat, kan? Waktu itu aku mengepakkan sayapku tepat di depanmu. Saat itu juga angin tiba-tiba berhembus, dan hujan pun mulai turun. Apa kau sadar? Itu semua berasal dari kekuatanmu sendiri.”
“ Kekuatanku? Tidak masuk akal. Aku bukan anak kecil yang gampang dibohongi.”
“ Aku tidak bohong. Itu semua memang di luar jangkauan manusia. Namun kau sendiri yang membuktikannya. Itu kekuatanmu, bukan kekuatanku. Aku sangat tahu itu. Jika emosimu bergejolak, pasti kekuatanmu itu akan keluar. Itu juga berasal dari keinginanmu. Hasrat membunuhmu sangat kuat––seperti pyscho saja. Sayangnya, kekuatan yang ada padamu hanyalah kegelapan. Kita berdua ini sama––sama-sama memiliki hati yang sudah ternodai oleh kegelapan. Aku tahu dirimu sejak kau masih berusia dua belas tahun. Gempa dahsyat waktu itu juga ulahmu. Kau merusak bahkan melenyapkan semuanya.”
“ Jadi, sampai selama itu kau mengikutiku?” nada bicaraku berubah. Getaran menjalar di tubuhku, aku menggeram kesal. Segala emosi bercampur aduk menjadi satu. Aku sama sekali tidak suka hal ini. Perkataannya membuatku bernostalgia akan buruknya pada masa itu. Seperti sebuah layar yang besar––dimana dapat kulihat diriku yang tak berdaya. Darah membanjiri sekeliling. Bayangan anjing hitam besar menghampiri dan menggigitku, serta sosok wanita paruh baya––meneriaki dengan perkataan pedas. Keseimbanganku hilang, aku terduduk dengan lutut bertumpu pada lantai. Dapat kurasakan secara perlahan bayangan itu memburam, dan menghilang. Mataku terbelalak. Ternyata yang tadi itu hanyalah ilusi buatan Azura.
“ Sudah kukatakan, daridulu aku telah mengikutimu. Aku turut simpati atas kejadian itu.”
“ Aku tak butuh belas kasihan darimu.”
“ Kau butuh puluhan ya? Hm?” aku diam, tidak menanggapinya. “ Aku punya satu permintaan darimu. Aku ingin sekali di dekatmu, bersamamu,  serta melayanimu. Jika kau menerimaku, aku tidak akan keras padamu.” sorot matanya tetap tenang. Tidak berubah. Sang merah bertemu pandang dengan sang hitam. Kami diam, tak berkutik. Ia mendudukkan dirinya untuk menyajarkanku. Kembali dipegangnya kedua pipi ini. Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku merasakan lututku lemas. Tangannya bergerak dengan anggun dan luwes, hingga menyentuh bibirku. Aku terkejut. Ingin sekali menarik diri––namun, tetap tidak bisa. Bisa kutebak apa yang akan ia lakukan setelah ini.
Badannya condong ke depan. Kelopak matanya tertutup menyembunyikan sang merah. Tangannya tetap bertahan di pipi. Dapat sedikit kurasakan nafasnya mengenai hidungku. Jarak kami semakin merapat. Aku kesal, aku tidak ingin hal ini terjadi. Niat buruk muncul di pikiranku. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk mendorongnya. Keseimbangannya menghilang dan akhirnya tersungkur. Aku memang tega karena ini semua menyangkut dengan harga diriku. Aku tidak ingin melakukan ciuman pertama terhadap orang yang tidak kusayang––bahkan yang tidak kukenal sama sekali. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Namun, sepintas dapat kulihat cengiran dari bibirnya.
“ Berani juga kau terhadapku. Tapi, kau salah memilih lawan.”
Entah berasal darimana, aku terkunci oleh empat buah rantai. Rantai itu menahan kedua tangan dan kedua kaki. Aku memberontak dan ia pun tertawa. Aku terjebak dalam jurang ilusi. Sekelilingku berwarna hitam berhias cairan darah. Azura berdiri dan melangkah maju ke depan. Rambutnya yang berantakan tidak mampu menghilangkan kharismanya. Dapat kurasakan emosinya meledak,  membajiri pikiranku bagaikan ribuan paku yang menghantam tubuh. Aku tidak memiliki kekuatan empati, tapi aku dapat merasakannya.
“ Lancang sekali terhadap seorang wanita. Aku akan tunjukkan sesuatu yang bagus untukmu––sebagai pembalasan atas perlakuanmu tadi.”
Apa yang sebenarnya ingin dia lakukan padaku?
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar