30 Juni 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 1/Part 1)

CHAPTER 1
-Aria-

Itu hanyalah mimpi burukku. Mimpi dimana aku berada pada kejadian enam tahun yang lalu. Sungguh, itu merupakan kejadian yang tidak ingin kuingat.
Aku terbangun dari mimpiku, kuperjapkan kedua mataku ini dan mengusapnya guna menghilangkan setetes air yang tidak sengaja keluar dari asalnya. Perlahan-lahan tanganku berpindah, kupegang kedua pipi ini dan semakin lama pergerakan tanganku semakin ke atas.
“ Aw..!” rintihku pelan karena tanpa sengaja kedua tanganku mengenai dahi yang masih terbalut dengan gulungan perban. Aku lupa kalau lima hari yang lalu aku mendapatkan musibah kecelakaan dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit sampai saat ini juga. Pergelangan tangan kiri dan betis kiriku juga masih ikut tergulung oleh perban seperti halnya pada dahiku. Tak berapa lama, pintu kamarku terbuka dan datanglah seorang wanita dewasa yang tepatnya ialah Bibi Rosetta––tanteku.
“ Syukurlah, kau sudah sadar dari tidur siangmu. Ini kubawakan oleh-oleh untukmu.”
“ .... Apa itu?”
Bibi Rosetta memajukan langkahnya menuju meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurku. Ia pun mengeluarkan isi tas belanjaannya satu persatu ke atas meja. Aku yang masih terbaring di kasur empuk milik rumah sakit ini hanya bisa melihatnya tanpa ekspresi. “ Ini buah-buahan yang kubeli untukmu tadi di toko buah. Ada apel, mangga, dan jeruk. Apa kau mau?”
“ Boleh, tapi aku hanya ingin makan apel sekarang.”
“ Baiklah, kubersihkan dulu, ya? Lalu kukupas dan kupotong kecil-kecil agar kau bisa makan.”
Aku mengangguk. Bibi Rosetta pun mulai membersihkan sebuah apel di wastafel yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tidur. Kuperhatikan terus gerak-geriknya dari tahap awal hingga tahap akhir.
“ Ini apelnya, masih segar dan manis loh. Barusan bibi cicipin satu.”
“ Wah, bibi berani mencuri kesempatan rupanya.”
“ Ahahaha, nggak apa-apa dong. Sekali-sekali.”
Setelah memberikan piring yang berisi apel kepadaku, ia kembali ke wastafel untuk membuat teh. Diambilnya secangkir teh berwarna putih dan teko yang sudah berisi air panas dari dalam lemari kecil milik rumah sakit ini. Satu buah teh celup diambil dari dalam kotaknya dan dicelupkan ke dalam cangkir yang sudah terisi oleh air panas. Demi menjaga kesehatan, Bibi Rosetta tidak ingin membuat warna teh tersebut menjadi pekat.
“ Oh, ya. Tadi pagi dokter memberitahuku, melihat kondisimu yang sudah membaik katanya kau boleh pulang besok pagi.”
“ Benarkah itu?” tanyaku kepada Bibi Rosetta penasaran.
“ Ya. Aku senang akhirnya kau diperbolehkan pulang juga. Jadinya aku tidak kesepian lagi tinggal di rumah baru.” Jawab Bibi Rosetta sembari mengaduk air teh yang ada di cangkir putih.
“ Rumah baru? Maksud Bibi?”
“ Ya, rumah baru yang pernah aku ceritakan kepadamu minggu lalu. Wah, sepertinya Ron melupakannya.”
“ Maksudmu rumah kakek?”
“ Ya, begitulah. Bulan lalu, kakek sudah meninggal, jadi rumahnya itu beliau berikan kepadaku.”
Ia pun meletakkan secangkir teh buatannya di meja kecil sebelah tempat tidur. Ia mengecup keningku, mengusap lembut kepalaku dan bahkan mencubit kedua pipiku. Sungguh aku malu dibuatnya. Saat ini aku diperlakukannya seperti anak kecil. Untunglah tidak ada siapa-siapa disini selain kami berdua. Tak butuh waktu lama, ia mengambil tas hitam kecilnya dan meninggalkan ruangan ini. Waktu sudah menunjukkan pukul dua tepat, sepertinya ia harus pergi melanjutkan pekerjaannya di perusahaan swasta.
Esok harinya, Bibi Rosetta menjemputku dari rumah sakit menggunakan mobil sedan merah kesayangannya. Aku pun menarik pegangan pintu mobil tersebut ke atas dan membukanya.“ Maaf telah membuatmu menunggu, Tuan.” sahutnya dengan cengiran khasnya. Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman. Tak butuh waktu lama, aku pun menduduki jok mobil yang ada di sebelahnya dan menutup pintu mobil tersebut.
Setengah jam berlalu, akhirnya sampai juga kami di rumah baru. Bibi Rosetta memarkirkan sedan merahnya di halaman sebelah rumah kami. Ia keluar dari mobilnya sambil membawa tas ransel hitam milikku yang tak lain isinya  ialah berbagai macam kebutuhanku saat di rumah sakit. Sedangkan aku, aku hanya memandang  diam rumah baru kami yang bergaya khas Eropa. Tidak terlalu besar namun terlihat sangat asri. Catnya berwarna putih dan terlihat sedikit agak kusam. Di terasnya terdapat dua kursi kayu untuk tempat bersitirahat, dan juga taman kecil yang terletak di depan rumah. Setelah selesai memandang semuanya, aku keluar dari mobil dan berjalan memasuki rumah.
“ Kalau mau beristirahat, naiklah ke atas. Kamarmu ada di atas, Ron.”
“ Kamar bibi?”
“ Kamarku di bawah, tepatnya disana.” Bibi Rosetta menunjuk kamar barunya yang terletak di sebelah tangga. Aku mengangguk dan berjalan menaiki tangga. Tak henti-hentinya kupandangi seluruh isi yang ada di rumah ini. Di lantai atas hanya terdapat satu kamar, mungkin itulah kamar baruku. Kupegang gagang pintunya dan  kemudian mendorongnya. Pandanganku tetap datar. “ Tidak ada yang berubah dari kamar ini,” pikirku. Sudah empat tahun tidak kesini, namun apa yang kulihat sama sekali tidak berubah. Aku pun mengelilingi kamar demi mencari suatu hal yang baru, tapi hasilnya sama saja. Setelah merasa cukup bosan, aku langsung membuka kancing kemejaku dan menggantinya dengan t-shirt merah yang masih tersimpan di dalam koper hitam.
“ Rupanya Bibi tidak mau menaruh semua pakaianku di dalam lemari.” kataku datar tanpa ekspresi. Sebelum kulapisi tubuhku dengan t-shirt merah, aku berjalan mendekati lemari dan memandangi cermin yang terletak di depan pintunya. Terlihat dengan jelas bekas jahitan di lengan kananku akibat kejadian enam tahun lalu. Kejadian dimana waktu aku terbaring tak berdaya dan seekor anjing buas yang menyerangku secara brutal. Aku mendecih, mencoba melupakan kejadian buruk yang pernah aku alami––namun, sangat susah rasanya untuk kulupakan. Aku frustasi, dan hanya bisa meremas rambutku untuk saat ini.





****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar