30 Juni 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 1/Part 2)

“ Hari ini aku akan membuat salad spesial kesukaanmu.”
“ Benarkah? Untuk apa?”
“ Aku ingin merayakan kepulanganmu dari rumah sakit.”
Aku gembira mendengarnya. Salad adalah makanan kesukaanku. Awalnya aku bukanlah seorang vegetarian, namun Bibi Rosetta selalu membujukku untuk memakan sayuran. Ia senang sekali dengan sayuran. Mungkin karena itulah mukanya selalu terlihat cerah dan berseri. Waktu kecil aku sering sekali dibujuknya untuk memakan sayuran, tapi aku selalu menolaknya. Pada akhirnya, dia hanya bisa membuatkanku semangkuk salad. Aku terus dipaksa untuk memakannya hingga aku pasrah dibuatnya. Aku pun memakannya dan ternyata rasanya sangat enak dan segar.
Lamunanku buyar setelah Bibi Rosetta melambaikan tangan kanannya tepat di depan mukaku. Ia mengambil sesuatu dari saku roknya dan memberikannya kepadaku.
“ Tolong berikan ini ke tetangga sebelah kita.” katanya setelah memberikan dua buah uang kertas padaku.
“ Tetangga sebelah mana?” tanyaku kebingungan.
“ Disini tetangga kita cuma satu. Berikan uang ini padanya dan jangan lupa perkenalkan dirimu terlebih dahulu, dan bilang saja kalau kau ingin mengambil pesanan dariku.”
Aku melangkah menuju pintu ruang tamu dan keluar dari rumah. Kulihat ke arah kanan, tampaklah sebuah rumah bergaya Eropa yang modelnya hampir mirip dengan model rumah baruku ini. Kuberjalan dengan agak gontai, merasakan sedikit rasa sakit akibat kecelakaan yang menimpaku beberapa hari yang lalu. Kupandangi sebentar langit di atas sana, tampak mendung dan entah kenapa matahari menyembunyikan dirinya saat ini. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan yang sangat deras.
“ Tok! Tok! Tok!”
“ Iya, tunggu sebentar.”
Akibat dari ketukan pintu yang kubuat, muncullah suara lembut seorang wanita yang berasal dari rumah kunjunganku ini. Suara langkah kakinya dapat kudengar dari luar. Mendekat, mendekat, dan terasa semakin mendekat. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, kulihat knop pintunya berputar dan pintu tersebut pun terbuka. Menampakkan sosok seorang gadis yang tampaknya––mungkin lebih muda dariku.
“Ah!” ia terkejut setelah melihatku. Ia pun refleks memundurkan langkahnya beberapa langkah. Aneh sekali rasanya, Padahal aku sama sekali tidak berniat untuk mengejutkannya. Aku tetap bertahan, mencoba untuk tetap tenang dan sedikit tersenyum agar gadis ini bisa berpikir positif terhadapku. Kulihat  rambutnya berwarna coklat, lurus dan panjangnya sebahu. Matanya berwarna hijau dan tinggi badannya hanya sebahuku. Kulitnya putih dan badannya kurus.
“ Maaf, Anda siapa?” tanyanya takut-takut kepadaku.
“ Namaku, Ron. Keponakan dari Rosetta Digby. Aku ke sini hanya ingin mengambil pesanannya.”
“ Oh, iya tunggu sebentar. Ron, masuklah dulu ke dalam.”
“ Tidak, terima kasih. Aku tunggu di luar saja.”
Gerakannya sangat terburu-buru. Ia berjalan menuju lemari yang berada di ruang tamu. Dari luar kulihat ia sedang memilah-milah botol yang entah apa itu isinya––aku sama sekali tidak tahu. Setelah menemukannya, ditutupnya kembali pintu lemari tersebut rapat-rapat dan langsung berlari kecil menuju dimana aku berdiri sekarang. Ia pun memberikan sebuah botol kepadaku yang ternyata isinya adalah mayonaise.
“ Aku kerja part time di sebuah supermarket. Kemarin Nyonya Rosetta ingin dititipkan satu botol mayonaise dari tempat kerjaku.” katanya sambil berusaha tersenyum kepadaku. Tampaknya ia masih sedikit takut untuk memandangku.
“ Maaf telah merepotkanmu.” aku menerima botol tersebut darinya, dan merogoh saku celana untuk mengambil dua buah uang kertas yang diberikan bibi tadi. “ Ambillah ini.”
“ Ah, tidak usah. Aku memberikan ini secara sukarela.”
“ Jangan-...”
“ Tidak apa-apa, kok. Ambillah. Anggap saja ini sebagai hadiah untukmu  dariku karena kau sudah pulang dari rumah sakit. Lagipula kudengar kau menyukai  salad, jadi mayonaisse ini gratis untukmu, Ron.” tolaknya secara halus. Sudah kuduga, ternyata Bibi Rosetta telah bercerita banyak tentang diriku padanya. Aku hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Lama-kelamaan kuperhatikan akhirnya dia mau juga tersenyum kepadaku.
“ Terima kasih. Ng, Siapa namamu?” tanyaku pelan.
“ Aku Aria, umurku enam belas tahun. Maaf, tadi aku lupa memperkenalkan diri terlebih dahulu.”
“ Tidak apa. Lalu, kenapa tadi kau terkejut? Apa kau takut padaku?”
“ B-bukan! I-itu hanya refleks saja! Soalnya aku jarang sekali melihat orang yang rambutnya bewarna hitam mengkilap dan matanya pun juga. Seperti orang Asia, namun kau tidak sama sekali.”
Aku sedikit tertegun mendengarnya. Entah itu hanyalah sebuah alasan darinya atau justru sebaliknya. Sudah lama aku berdiri disini dan aku tidak mau terlalu banyak berbasa-basi dengannya. Kusudahi saja kegiatanku ini dan beranjak pergi menuju rumahku berada. Setelah berpamitan dengan gadis yang bernama Aria, kaki kiriku mendadak terasa sangat sakit, ngilu dan bergetar––bahkan kepalaku ikut terbawa suasana, seperti mau pecah rasanya . Aria refleks memegangi kedua lenganku karena diriku yang hampir saja tumbang tepat di depannya.
“ Kau tidak apa-apa?” ia mencoba menahanku dengan badan mungilnya. Sedikit kekhawatiran tersirat dari wajahnya. Merasa tidak tega dengannya, aku pun mencoba berdiri dan berusaha tenang. Mencoba menutup mata dan mengatur nafasku pelan-pelan.
“ Aku tidak apa.”
“ Syukurlah. Kurasa kau belum sembuh total. Sebaiknya kau istirahat di rumah sekarang juga.”
“ Baiklah. Maaf telah merepotkanmu.”
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar