30 Juni 2011

DECEMBER 26TH (Chapter 2/Part 1)

CHAPTER 2
-The Crow-

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Sang senja telah berganti dengan sang malam. Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah timur ke arah barat. Hujan turun dengan sangat deras tanpa kenal lelah. Alangkah sejuknya suasana malam ini membuat perasaan tentram nan damai. Walau begitu, malam akan terasa sepi tanpa adanya cahaya dari sang rembulan.
Aku masih berkutat pada novel misteri yang sudah kubaca sejak setengah jam yang lalu. Novel misteri merupakan buku favoritku. Aku sama sekali tidak suka dengan love story atau  hal-hal yang berbau romantis. Mungkin gara-gara sifatku inilah, banyak orang mengataiku sebagai orang yang tidak romantis dan tidak bisa memahami perasaan seorang wanita––bahkan Bibi Rosetta juga mengataiku seperti itu. Dua minggu yang lalu ada seorang gadis yang––mungkin memang satu sekolah denganku, menyatakan pernyataan cintanya secara terang-terangan di depan kelas kepadaku. Namun, aku menolaknya dan hanya menatap angkuh padanya. Sungguh tidak berperasaannya diriku ini. Alhasil, gadis itu menangis di depanku dan berlari menjauh. Sungguh, itu hal yang sangat konyol bagiku.
Pendiam, angkuh, tidak mau memperdulikan orang yang diajak bicara,  terlalu dingin, dan tidak mau mengerti perasaan orang di sekitarnya––itu semua pendapat orang-orang mengenai diriku. Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan mereka semua, yang penting aku mencintai diriku yang sekarang ini. “ Jadilah dan cintailah dirimu sendiri” itulah motto hidupku.
Kusudahi saja kegiatanku, menutup novel yang sedari tadi kubaca dan menaruhnya di atas meja. Merasa sedikit mengantuk, aku pun merebahkan diri di atas sofa ruang keluarga. Kulihat Bibi Rosetta yang tiada henti-hentinya menelpon rekan kerjanya di ruang makan. Aku lelah di rumah, ingin sekali berjalan ke luar, namun cuaca malam ini sangat tidak bersahabat.
Satu jam pun berlalu, kubuka kedua mataku ini dan perlahan aku pun terduduk di sofa. Aku terbangun akibat suara kicauan para burung yang berasal dari luar rumah. Kesal sekali rasanya karena mereka telah membangunkanku dari mimpi indahku.
“ Ron, syukurlah kau sudah bangun. Bisakah kau mengecek ke luar.”
“ Kenapa? Apa bibi takut dengan suara burung?”
“ Bukan, siapa tahu burung itu kelaparan atau ada kenapa-kenapa. Mungkin kalau kelaparan, kita kan bisa memberikannya sedikit makanan.”
Setelah menyuruhku, Bibi Rosetta pergi menuju dapur. Aku diam, dan tak lama kuregangkan kedua tanganku ini. Setelah merasa tenang, aku pun beranjak pergi menuju pintu ruang tamu dan mendorong pintu tersebut perlahan.
“ Untunglah hujan sudah reda.” kataku dalam hati.
Kutelusuri teras kecil depan rumah. Sedikit menggigil dan geli karena angin sepoi-sepoi berhembus mengenai leherku. Kueratkan jaket hitamku dan kuturuni tiga buah anak tangga menuju taman depan rumah. Kutemukan segerombolan gagak hitam sedang memperebutkan makanannya di depan rumahku. Pandanganku tetap datar, namun sedikit terkesima saat memandangi kumpulan gagak tersebut. Anehnya, hanya satu ekor gagak saja yang tidak ikut  memperebutkan makanannya. Ia terdiam, kedua matanya pun tertutup.
“ Kenapa kau tidak berkumpul dengan kawan-kawanmu?” tanyaku pada burung gagak itu. Seperti orang bodoh saja berbicara dengan hewan. Aku pun mendekat, mencoba untuk menangkapnya. Aku berhasil mengambil gagak tersebut dan menggenggamnya dengan kedua tanganku. “ Lucu sekali burung gagak ini,” pikirku dalam hati. Ia sama sekali tidak berkutik dihadapanku. Namun anehnya, matanya tetap tertutup seakan-akan tertidur. Aku suka dengan warna hitam pada bulunya. Warna hitam adalah warna favoritku. Kubelai lembut bulu yang ada pada sayapnya serta kukecup lembut pada kening burung gagak tersebut.
Kutatap lekat-lekat burung gagak itu, dan tak lama kemudian matanya perlahan-lahan terbuka. Aku sedikit gembira, akhirnya ia mau membuka matanya juga––namun, refleks aku melepaskannya dari genggamanku.
Ini bukanlah halusinasi semata. Matanya berwarna merah. Ia  berbeda dari burung gagak lainnya. Sangat menyeramkan. Matanya seperti ingin menghipnotisku. Tatapannya yang tajam seakan-akan menyedotku masuk ke dalam dunianya.
Sedikit merasa ketakutan, aku pun memundurkan diriku beberapa langkah. Ia tetap diam, namun suara yang dikeluarkannya membuat telingaku berdengung. Ia terus memandangku, tatapannya tajam seakan-akan menusukku. Tidak tahan dengan semua ini, aku pun berlari memasuki rumah. Kututup pintu ruang tamu rapat-rapat dan menguncinya. Akhirnya aku hanya bisa terduduk diam di depan pintu. Kurasa ini agak berlebihan, tapi entah kenapa pernafasanku sama sekali tidak teratur. Kenapa hanya dengan burung gagak itu aku merasa ketakutan? Apakah karena aku terlalu banyak membaca novel misteri?

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar