28 Juni 2011

DECEMBER 26th Prolog


DECEMBER 26TH
P   R   O   L   O   G   U   E

Di hutan ini, hanya ada satu rumah megah bergaya kuno. Pondasinya yang kokoh dengan tembok berlapis bata tebal. Halamannya yang luas berhiaskan beberapa kolam ikan dengan pancuran airnya. Di tempat inilah, aku tinggal bersama keluargaku dan beberapa pelayan lainnya. Hari ini, tepatnya tanggal 26 Desember adalah hari dimana umurku bertambah setahun. Mengetahui bertambahnya umurku yang ke dua belas tahun, aku berharap bisa mendapatkan hadiah istimewa dari kedua orang tuaku.
Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk sambil mengamati jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas siang. Aku menghela nafas, sedari tadi terus memikirkan kedua orang tua yang tak kunjung datang menemuiku. Apakah mereka sibuk? Mungkin. Kuputuskan untuk tidur sejenak demi menunggu kedatangan mereka. Aku begitu merindukan pelukan mereka. Sudah empat hari mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Hanya pelayan-pelayan itu yang peduli padaku. Hanya pelayan-pelayan itu yang mau mendekat padaku. Terkadang bibi Rosetta mengajakku bercanda. Mereka berbeda dengan orang tuaku. Apakah mereka lupa dengan hari ulang tahunku? Atau mereka sengaja melupakannya? Atau mereka tidak peduli lagi kepada anaknya? Aku hanya bisa diam.
Kudengar derap langkah kaki seseorang dari luar kamar. Ia mengetuk pintu kamar ini dan membuatku terbangun dari tempat tidur. Langkah kaki ini terasa berat––sangat malas untuk membuka pintu yang berjarak lima meter dari tempat tidur. Kudorong gagangnya kebawah dan mendapati seseorang dari balik pintu.
“Ibu?”
“Selamat ulang tahun anakku.” Ibu membungkuk dan memelukku erat. Sudah lama tidak kurasakan hangat pelukannya. Aku membalasnya, menghirup aroma tubuhnya, bahkan mengelus rambut hitamnya yang panjang.
“Terima kasih. Aku sangat merindukanmu, ibu. Aku juga sangat merindukan ayah. Sudah lama tidak kurasakan hangatnya pelukanmu. Kau tahu? Di musim dingin ini, aku terus merasakan kedinginan. Hanya pelayan-pelayan dan bibi yang terus menemaniku, sedangkan kalian––
“Maafkan aku, Ron. Urusanku memang belum selesai, tapi aku menyempatkan diri untuk menemuimu hari ini. Badanmu dingin dan sedikit kurus. Bibirmu juga pucat.” Digenggamnya tangan kananku dan kemudian disentuhnya kedua pipiku.
“Dimana ayah?”
“Ayahmu––sedang ada urusan. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Sebelum pergi, kenakanlah sweater agar tidak kedinginan.”
****
“Kita mau kemana, ibu? Kenapa harus ke lantai tiga? Bagaimana kalau yang lain mencari kita?”
“Tenanglah, Ron. Mereka tahu kalau aku mengajakmu ke sini. Ayahmu juga sudah kuberitahu. Kamu selalu saja berdiam di kamar. Di luar sedang hujan salju, dan ibu tidak mungkin membawamu keluar rumah. Kau tampak pucat.”
Aku hanya diam menggenggam tangannya. Sebenarnya tidak hanya aku yang terlihat seperti ini––ibu, engkau juga mengalami hal yang sama denganku. Mukamu pucat, tampangmu terlihat tidak terlalu bahagia, dan kedua matamu bengkak. Apa tadi kau menangis? Hanya pertanyaan itu yang ada di otakku. Aku tidak berani menanyakannya karena aku tahu persis jika ia menjawabnya, ia pasti akan mengatakan tidak apa. Ia pasti berbohong agar aku tidak mengkhawatirkannya.
Kemudian kami terdiam di depan pintu yang sangat besar. Jujur, baru kali ini aku datang ke tempat ini. Biasanya ia melarangku untuk bermain di lantai tiga. Ia mengatakan kalau di lantai tiga banyak ruangan yang tidak terpakai. Mayoritas pelayan bekerja di lantai satu dan lantai dua. Hanya beberapa pelayan tua yang bekerja membersihkan tempat ini. Pintu besar itu kemudian dibukanya, menampakkan ruangan kosong dengan ukuran panjang dan lebarnya berkisar antara lima meter. Yang dimiliki ruangan ini hanyalah satu jendela dan tiga ventilasi.
“Kenapa ibu membukanya? Ruangan ini begitu menyeramkan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Rasanya sangat dingin karena tidak ada penghangat di ruangan ini.”
Ibu menepuk kedua bahuku. Ia sedikit membungkuk dan tersenyum. “Aku sangat menyukaimu, Ron. Kau memiliki warna hitam pada rambut dan matamu sepertiku, hidungmu yang mancung, juga warna kulitmu yang cerah, semua itu anugrah terindah dari Tuhan yang Dia berikan kepada kami. Aku sangat bersyukur bisa melahirkanmu. Kau tampan dan pintar seperti ayahmu. Kami berdua sangat ingin melindungimu.”
“Ibu––”
“Aku ingin kau bahagia kelak, kau bisa lebih mandiri tanpa ketergantungan sama yang lain––bahkan dengan ayah dan ibu, kau bisa menjadi seorang yang lebih hebat dari sekarang. Aku juga ingin kau bisa menemukan seorang wanita yang lebih baik dariku suatu saat nanti. Terakhir, kau harus berani melawan ketakutan yang ada pada dirimu. Jika kau tidak bisa, kau tidak akan bisa terlepas dari rasa takutmu itu.”
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Maafkan aku, Ron.”
Perasaanku tidak tenang. Aku takut akan perkataannya yang seakan-akan dalam waktu yang singkat kita tidak akan bersama. Dirinya tetap tersenyum memandangku walau hal itu sangat kontras dengan tatapannya. Tatapan sendu dengan sepasang matanya yang bengkak. Aku memegang kedua pipinya––kering dan dingin bagaikan es. Aku berusaha tersenyum padanya, namun entah kenapa hal ini membuatku merasa sedih. Aku ingin menangis dan memeluknya, namun, ia menegakkan posisi berdirinya, tetap menyentuh kedua bahuku, dan tiba-tiba mendorongku ke dalam ruangan itu. Keseimbanganku tak terjaga dan membuatku harus terjatuh ke dalamnya.
Aku merintih akibat merasakan rasa sakit pada lutut yang bergesekan dengan lantai ruangan. Beberapa goresan kecil dapat kulihat dan darah yang mengalir keluar dari asalnya. Mataku melebar, terkejut melihat semua ini. Pintu itu sudah terkunci rapat oleh ibu dan aku terkurung di dalamnya. Aku berdiri, berlari menuju pintu, dan berteriak memanggil namanya, namun––tidak ada respon darinya. Berulang kali hal itu kulakukan, tapi hasilnya tetap sama. Aku terus mendorong pintu itu hingga membuat seluruh tubuh ini lemas.
Kusandarkan diriku pada pintu sambil memeluk erat tubuhku. Begitu dingin hingga kepulan asap keluar di saat aku menghembuskan nafas. Aku hanya bisa terduduk memandang keluar jendela. Butiran-butiran salju yang menumpuk pada tepiannya, dan sebuah pohon besar dengan sebagian ranting yang menyentuh kacanya yang kusam. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku hingga terhenti di depan jendela. Kudorong gagangnya yang berkarat hingga menimbulkan suara gesekan yang dapat membuat gigi ini ngilu. Perlahan jendela itu terbuka dan terlihat jelas pemandangan yang menakjubkan––ratusan pohon pinus dengan daratan yang tertutupi oleh lautan salju. Semuanya putih dan menyejukkan. Gerakan tanganku tanpa sadar menekan pada cabang batang pohon. Cabang yang begitu besar hingga dapat menyentuh ujung jendela ini.
“Mungkin, aku bisa keluar dengan merayap pada cabang batang pohon ini.”
Kugenggam cabang itu erat dengan sedikit rasa takut akan jatuh dari ketinggian yang berjarak belasan meter ke bawah. Kukulum bibirku dalam, terus memandang ke arah depan tanpa harus melihat apa yang ada di bawah. Dinginnya batang ini dapat kurasakan pada tubuhku yang merayap di atasnya. Tanpa kusadari, bagian cabangnya yang licin membuatku harus terjatuh ke bawah pada tumpukan salju. Aku berteriak, rasanya begitu sakit dimana kudapati memar pada pergelangan kaki kiriku. Jika hari ini tidak bersalju, mungkin aku akan mati di tempat ini sekarang.
Dapat kurasakan hawa buruk perlahan memasuki daerah ini. Mataku melebar, hanya dalam beberapa detik dapat kulihat sekelompok orang akan datang ke rumah ini––semuanya muncul dalam pikiranku––sama seperti dalam mimpi burukku. Tidak terlalu jelas namun empati mereka begitu kuat menusuk kepalaku. Aku tidak bisa lama berdiam di sini, ingin rasanya berbalik namun––mungkin itu bukanlah solusi yang baik bagiku. Bagaimana dengan ayah dan ibu yang ada di rumah ini? Bagaimana dengan bibi Rosetta? Bagaimana dengan yang lainnya? Jika mereka terus berada dalam bangunan megah ini, kemungkinan besar mereka akan mendapat ancaman dari sekelompok orang itu. Apa harus kuberitahu terlebih dulu agar mereka semua kabur dari tempat ini?
“...Aku harus kabur dari tempat ini.”
Inilah pilihanku, kutinggalkan mereka semua di bangunan megah ini. Aku berlari walau sedikit merasakan rasa sakit yang ada pada pergelangan kaki dan lututku. Sweater yang kukenakan tak mampu melawan dinginnya suasana ini. Sekujur tubuhku dingin, terutama pada kakiku yang hanya beralaskan pada sepatu tipis. Aku terus berlari hingga menemukan jejak kaki dengan bercak darah pada tumpukan salju.
“Astaga. darah siapa ini? Jejak kaki ini––ukurannya hampir sama dengan kakiku. Apa ada anak yang masuk ke hutan ini lebih dalam? Apa aku harus ikut ke dalam untuk mengetahui siapa si pemilik jejak ini? Tapi, jika bertemu dengan binatang buas?”
Aku terus bertanya dalam pikiranku. Rasa penasaran yang berlawanan dengan rasa takut, sangat sulit untuk menentukan jawaban yang harus kulalui saat ini. Empati mereka semakin kuat, sangat dekat dan terus menusuk kepalaku. Kupegang sisi samping kepala, kupejamkan sepasang mata––mencoba menghilangkan rasa takut yang ada pada pikiran. Aku menggeleng dan kembali membuka kedua mata. Dengan rasa penasaran yang memuncak, aku terus mengikuti jejak ini sampai akhir. Berjalan sambil memeluk erat tubuhku yang menggigil hingga kutemukan sosok si pemilik jejak.
Seorang anak perempuan terbaring di tumpukan salju. Kulitnya memucat akibat rasa dingin yang dideritanya. Aku menunduk, menyentuh tangannya yang dingin, sedikit menyibak poni yang menutup sepasang matanya yang terpejam. Gadis ini terlihat sebaya denganku. Kubenarkan posisi tidurnya hingga tanpa sengaja bagian perut yang kusentuh mengeluarkan cairan merah. Darah––begitu banyak mengalir. Mataku melebar, kulihat bekas tusukan benda tajam menembus perut. Tanganku penuh oleh cairan itu, merah dengan bau anyir menusuk hidung. Kulepaskan sweaterku untuk menghentikan pendarahan dari tubuhnya. Panik, mataku berkeliling untuk mencari siapa pun di sekitar sini, tapi hasilnya nihil.
Apa yang harus kulakukan? Empati mereka yang kuat dengan jarak yang begitu menyempit. Kegelisahanku tak menentu––takut akan kondisi seperti ini. Aku hanya bisa terdiam di antara lautan darah yang dingin. Kucoba menahan rasa dingin dengan memeluk gadis ini. Bibirku bergetar, kepulan asap semakin menebal ketika aku menghembuskan nafas. Kepalaku terasa berat dan dapat kurasakan sesuatu yang berdiri tak jauh dari belakangku. Aku takut untuk menoleh, namun rasa penasaran tak dapat kukalahkan––hingga akhirnya membuatku mengetahui siapa yang ada di belakangku. Serigala hitam.
Mata merahnya memandangku, bagaikan sebuah tarikan yang membuatku tak terlepas untuk melihat tatapannya. Aku bergetar, rasa dingin dan rasa takut bercampur menjadi satu. Besar badan yang dimilikinya melebihi serigala normal. Jantungku berdetak hebat––membuatku mengeratkan pelukan pada gadis ini. Gerakan kakinya yang terus mendekatiku, membuatku seakan terancam. Tetes demi tetes saliva keluar dari sela-sela taring yang dipamerkannya. Aku diam, tetap tidak menghindar hingga tiba saatnya ia menerkamku secara liar.
Betapa hebat sakit yang kurasakan pada lengan kananku. Aku menjerit dan memberontak. Taringnya tajam merobek kulit hingga menembus daging. Aku tak dapat menahan derai air mata yang terus mengalir keluar. Begitu juga dengan darah yang mencuat keluar dari pembuluhnya. Rambut hitamnya, badannya, dan juga yang ada padaku, semuanya bermandikan oleh darah. Aku terus menjerit, terkadang kuayunkan kedua kakiku menuju perutnya, namun, serigala ini semakin menekan badanku dalam tumpukan salju. Dingin––inilah rasa yang kurasakan pada bagian belakang badanku. Panas––inilah rasa yang kurasakan ketika beberapa taring yang ia tancapkan pada lengan kananku. Aku menoleh, melihat anak perempuan yang akhirnya terbaring tak jauh dariku. Apakah tadi dia dimakan oleh serigala ini? Ataukah ada hal lain yang menimpa dirinya? Air mataku terus mengalir melihatnya. Aku ingin terbebas dari binatang buas ini. Aku tidak mau mati secepat ini, apalagi dalam kondisi seperti ini. Aku ingin binatang ini merasakan penderitaan yang kurasakan sekarang. Semuanya harus kuselesaikan, sebelum sekelompok orang itu menemukanku.
Emosi yang kian memuncak membuat tangan kiriku mencengkram lengan serigala ini. Kukerahkan sisa tenagaku walau rasa sakit terus membanjiiri. Aku mencoba berteriak dan––
“MATI KAU SERIGALA!”––hanya kata-kata itu yang bisa kukeluarkan dari mulutku. Tanpa kusadari, perkataan tadi membuat serigala itu terdiam––masih dalam menekanku. Perlahan reaksinya berubah, tubuhnya bergetar dan ia pun memundurkan langkahnya. Aku terduduk, sambil memegang tangan kananku yang terluka. Serigala itu mengaum dan dapat kulihat tetesan air mata yang keluar dari sepasang mata merahnya. Tubuhnya bergetar hebat dan akhirnya menampakkan sesuatu yang tidak ingin kulihat. Badannya pecah, membuat darah terpancur dari segala sisi tubuhnya.
Kenapa bisa seperti ini? Padahal aku sama sekali tidak melakukan apa pun. Aku hanya berteriak dan aku sama sekali tidak membunuhnya. Serigala itu tewas di depanku dalam keadaan tak wajar. Ini semakin membuatku takut, rasanya ingin menangis di tempat ini.
“Ibu, ayah, bibi Rosetta, dan yang lainnya, kenapa kalian meninggalkanku sendiri? Aku takut. Aku ingin kembali ke rumah, tapi––”
“Itu dia anaknya! Dia seorang pembunuh!”
“Tangkap dia!”
“Bunuh anak itu! Anak sial!”
Suara itu––sekelompok orang telah datang dan mengatakanku––pembunuh? Sial? Apa maksudmu? Aku sama sekali bukan pembunuh. Aku tidak membunuh anak perempuan itu, apalagi serigala yang datang menerkamku. Sekelompok orang yang menyeramkan dengan perbekalan senjata yang ada di setiap tangannya. Mereka berlari ke tempat dimana aku masih terduduk. Aku tak dapat berlari dengan kaki yang seakan mati dan badan yang tidak mau berpindah ke lain tempat. Jarak semakin menyempit dan membuat jantungku berdetak tak menentu. Leherku seakan tercekik––sangat susah utnuk mengucapkan sepatah kata pun.
“I-ibu..t-to-tolong...a-aku....MATI KALIAN SEMUA! AKU BENCI SEMUANYA!”
Bagai sebuah mantra yang terucap keluar membuat daratan salju ini bergetar. Tanah yang retak dan kemudian membelah, membuat satu persatu di antara mereka jatuh ke dalamnya. Aku tetap menunduk sambil memegang sisi samping kepala. Menangis dalam jertian demi menahan rasa sakit yang kuderita. Kuatnya angin yang begitu menggelitik tubuh, tak mampu melawan panas tubuh akibat emosi yang sudah melampaui batas. Terkadang kulihat mereka, satu persatu tewas bermandikan darah. Mereka semua mati di depanku. Sungguh, pemandangan yang sebenarnya tak ingin kulihat.
Tak butuh waktu lama, getaran itu perlahan menghilang di tempat ini. Tempat ini telah menjadi lautan salju yang di dominasi oleh cairan berwarna merah. Tak jauh dari tempatku duduk, dapat kulihat seorang wanita dengan baju terusan biru berjalan ke arahku. Wanita dengan rambut pirang sebahu, ia, bibi Rosetta, menutup mulutnya melihat keadaan di sekelilingku.
“Ron! Akhirnya aku menemukanmu.”
“Bibi? Kenapa kau bisa di sini? Kau tidak ma––”
“Aku melarikan diri dari rumah, namun di saat aku memasuki hutan ini tiba-tiba saja gempa datang. Ini sangat aneh, aku terus berlari dan aku sangat senang bisa melihatmu disini.”
“Bibi, syukurlah kau––” tanpa sadar, tubuhku terasa berat dan membuatku terjatuh.
“Ron!”
Untunglah aku tidak sendiri di sini.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar